"Akankah Singapura masih menjadi tempat favorit untuk pelarian, untuk menghindari, untuk menyelamatkan diri sebagai pelaku tersangka kasus suap-menyuap, kasus koruspsi?"
Indonesia, semakin kesini makin terasa pula getirnya. Frekuensi problem mencuat kepermukaan membuat publik makin pening dan meraba makna ekseistensi Keterwakilan yang mereka pilih untuk menjalankan amanat menyampaikan aspirasi mereka.Â
Problem-problem di Indonesia dari tahun ke tahun tidak luput dari institusi yang mewakili rakyat, bahkan baru-baru ini hampir diseluruh media dihiasi berbagai kasus yang menyeret puluhan nama wakil rakyat. Ada apa dengan wakik rakyat?Â
Rakyat dibuat putus asa dan kembali meluapkan mosi ketidakpercayaan kepada pejabat publik "Wakil" yang duduk manis di kursi parlemen. Teaktrikal dan drama yang dilakukan oleh para "Wakil" tidak lebih sebagai implikasi minimnya Etika dan moral dalam diri sebagai pejabat Publik.Â
Respon publik "Rakyat" terhadap dinamika demikian pun bermacam-macam, ada yang mendukung, ada juga yang menyulut pertentangan saling melempar argumen kritis demi melindungi ke-Toko-han sang wakil. Sehinga respon yang demikian berubah wujud menjadi pembiaran.Â
Pembiaran di lakukan oleh publik "Rakyat" dapat dinilai sebagai represntasi mosi kepercayaan dan itu masih biasa. Hal berbeda jika pembiaran dilakukan oleh institusi hukum, KPK dan Kepolisian Republik Indonesia, jika demikian dilakukan oleh kedua institusi tersebut maka Indonesia, negara kita ini sudah berada pada Titik Rawan Etika dan Moral Wakil Rakyat di diragukan dan dipertanyakan?Â
Pertanyaannya, perilaku menghindari hukum, dan menampilkan banyak alasan kepermukaan publik bukankah itu merupakan minim moral dan etika dari wakil rakyat? Perilaku seperti ini hanya ditampilkan oleh orang yang tidak melewati bangku pendidikan? Tetapi orang yang tidak berpendidikan pun masih ada etika dan moralnya.Â
Sebagai wakil rakyat, sakit dan sekarang kecelakaan adalah bukan merupakan alasan rasional dari pejabat publik/pejabat negara yang di tunjukan. Orang tipikal ini, adalah mereka yang sudah rawan etika dan moralnya.Â
Ini merupakan contoh paling buruk dari seorang wakil rakyat kepada publik "rakyatnya". Teatrikal dan semua yang di tampilkan adalah pelarian hukum yang di dramatisasikan. Mengana tidak?Â
Secara pribadi,jadinya sangat heran, kok hukum di negeri ini kenapa bisa di mainkan? Apalagi yang bermain dengan hukum negara adalah pejabat negara/pejabat publik (wakil rakyat) yang dia sendiri telah menelorkan banyak regulasi "hukum dan UU" itu sendiri.Â
Pertunjukan pejabat publik sebenarnya menggiring asumsi ini lebih kepada iktikad tidak ikhlas duduk berpangku tangan atas nama jabatan publik. Semestinya pertunjukan yang di tampilkam ke publik mencerminkan bahwa mereka adalah orang yang mewakili rakyat, bukan orang mengotori nilai-nilai amanat yang diberikan
Pelanggaran, meski dalam banyak asumsi harus melalui prosedur dan sebagainya. Kenyataannya Ketua DPR-RI sejauh ini menghindari hukum negara. Artinya, sebagai wakil yang telah banyak memproduksi aturan hukum ternyata masih mengelak kalau dirinya telah melanggar.Â
Mereka adalah orang terpilih, bukan orang-orang kecil atau biasa. Kenegaraan kita ini, kekuasaan berlaku begitu absurd kepada hukum dan publik. Apakah Problem dan segala kesalahan akan dianggap sebagai kekhilafan?
Rakyat mengangkat mereka karena percaya, toh, sekarang nilai kepercayaan itu semacam telah di perkosa habis-habisan. Tidak ada lagi yang bisa dibilang baik dan konsisten terhadap amanat rakyat.Â
Orang seperti ini, alih-alih menjalankan tugas negara. Di publik, dimata rakyat selalu berbuat ulah. Belum lagi korupsi dan kasus sejenis menyeret para wakil ke meja hijau. Negara ini mau jadi negera apa kalau yang urusinya adalah pembual dan kurang hampir sama seperti tindakan kaum absurd.Â
Bukan hanya beberapa hari ini ketua DPR-RI menjadi trending di semua media, jauh sebelum itu. Banyak sekali problem dan kasus mendikte nama-nama anggota Dewan dari pusat sampai ke daerah telah terlibat kasus. Bahkan setiap hari, layar kaca dan media cetak maupun online mewartakan keburukan dan kebobrokan para wakil yang rakus. Artinya, selain pemberitaan sebagai penyaluran informasi pada rakyat disatu sisi. Kerusakan dan moral bangsa ini dipertaruhkan disisi lainnya.Â
Hal ini dianggap biasa, seakan negara ini bukan lagi negara hukum. Semena-mena melakukan pelanggaran, setelah itu menghindari dengan ribuan alasan. Pantas saja negara ini sedikit lagi akan menuju kehancuran besar di karenakan mereka yang dipercayakan sebagai wakil bukan bekerja mengurusi publik dan negara. Malahan kembali saling melirik siapa yang lebih kaya. Meminjam kata Tomo Magnis-Suseno "Kekacauan wawasan" terjadi.Â
Apalagi kalau bukan bohongi publik? Khianati rakyat? Rusaki moral dan etika negara? Ini pejabat publik loh, bukan para pembangkang yang rajin berulah setelah itu berlindung di bawah meja kekuasaan alasan ini itu.Â
Kabar tarik menarik KPK dan Ketua DPR-RI memperkeruh keadaan hukum. Negara ini darurat hukum, sehingga pejabat pembuat hukum pun memilih abaikan hukum yang mereka buat sendiri.Â
Jangan bilang kalau wakil rakyat yang demikian, otak dan isi kepalanya adalah kekuasaan, uang, dan berbohong adalah sebagai jalan menuju puncak lebih tinggi.
Orang yang mewakili rakyat, semoga masih ada dan memang masih ada. Mereka yang tetap menjaga amanat rakyat, kepercayaan rakyat, jati diri negara dan menghargai hukum negara. Tetapi mereka ini bagian kecil dan tidak terlihat.Â
Tetapi kerusakan tatanan instansi akan ternoda dengan yang sedikit sering berulah. Nama baik negara ini mau di jaga atau mau dirusaki? Publik dinegara ini saja melotot. Bagaimana dengan publik dari Negar luar, melihat kondisi negara ini di permainkan oleh segelintir orang yang statusnya wakil rakyat?
Di batas inilah kita kenal sebagai krisis moral dan etika, sehingga negara harus awas terhadap problem demikian. Negara bukan menuju kebaikannya, tetapi berjalan melaju ke titik rawan etika dan moral makin menipis.
Indonesia dengan pejabat publik yang membangkang dan menyangkal adalah disorientasi nilai dan norma yang akan membahayakan kehidupan negara. Mereka ini mestinya diberikan sanksi hukum, bukan hanya rakyat kecil saja yang kenyang dengan proses hukum yang sebenarnya adalah memiliki hak perlindungan karena ketidkmampuan.Â
Mana ada seorang nenek dengan kasus kakaonya dapat merusaki keadaan negara? Mana ada pencuri sendal akan mengganggu stabilitas hukum? Lalu yang merugikan Negara, ratusan juta, miliaran. Mereka bahkan mendapat perlindungan, mendapat kemudahan proses hukum dan sejenis yang pada akhirnya bersih tidak sebagai tersangka.Â
Jangan sampai asumsi rakyat kita adalah penjiblak itu menjadi benar adanya. Sebab ulah orang besar akan menjadi cermin orang kecil. Artinya kalau pejabat negara membangkan, maka rakyat akan membenarkan dan mengkituti pola tindak dan pola laku yang dilakukan pejabar negara/publikÂ
Karena apapun yang dilakukan oleh pejabat negara/publik adalah contoh rill yang patut diikuti oleh rakyatnya. Siapa yang nantinya disalahkan kalau negara ini menjadi negara yang rusak moral dan etika berbangsanya?Â
Kita telah Menemui suatu solusi baru, bahwa untuk menyelesaikan masalah. Jalannya adalah sakit atau celakakan diri. Urusan berakhir atau tertunda, intinya adalah semua akan baik-baik saja. Bukankah itu adalah kemuan mereka orang yang suka nafikkan kenyataan?Â
Mengabdi kepada negara dan mengabaikan budi pekerti sebagai bangsa timur. Hal ini menjadi sangat tidak wajar. Orang timur, saling menghormati antar sesama, budi pekerti tertanam didasar hati.Â
Bagaimana bangsa yang ramah, santun dan kuat dengan toleransi tinggi ini sudah di lucuti harga dirinya? Ulah siapa? Kemauan siapa?Â
Terlalu banyak problem di bangsa ini dengan sendiri menggerogoti martabat. Dan hampir sebagian besar problem di buat oleh pejabat dari daerah sampai pusat. Kekacauan wawasan terjadi, yang duduk sebagai pejabat publik kita adalah orang terpelajar atau rimba yang tidak mengelak a, b, dan c.Â
Bagaimana pembuktian KPK, DPR-RI dan lembaga negara lainnya menjelaskan kepada rakyat tentang produk hukum yang ada di Negara ini? Membuktikan produk hukum jelasnya, pejabat pembuat hukum harus lebih dahulu tunduk pada hukum bukan?Â
Negara kita ini, sekarang. Bukan lagi soal ekonomi dan usaha bisnis memperkuat kehidupan negara, mengisi perut rakyat saja. Produk hukum mengalami krisis tata pelaksanaannya.Â
Ini bukan soal pencitraan, soal menuduh siapa atau siapa, bukan pula soal berapa rupiah ludes diterkam buaya. Tetapi ini perkara nama baik negara. Dari itu, peran pelaksana amanat negara, mereka yang dipilih sebagai penanggungjawab menjalankan kehidupan negara ini harus turut serta menyelesaikan problem yang terjadi. Apakah itu sebuah keharusan?Â
Titik rawan etika dan moral, mendekati batas matinya harga diri bangsa besar ini. Solusi demi solusi tak pelak lagi sudah menjadi bumerang digunakan segelintir orang tuk gerogoti antar sesama, melukai wajah hukum.Â
Jalan tengah yang di ambil untuk solusi problem yang tengah terjadi ini bukan dengan kekuasaan yang inkonstitusional tetapi dengan menghargai hukum yang sudah di produksi,dibuat oleh pejabat pembuat hukum dalam menjaga tatanan hidup negara ini.Â
Wakil-wakil rakyat yang terlibat kasus suap dan korupsi harus diseret dengan hukum, sepenuhnya tanpa terkecuali jika kita benar-benar menghargai hukum negara kita.Â
Orang baik dan bijak akan menyelesaikan masalah dengan kepala dingin, lapang dada, berani tegas dan pada akhirnya niat baik akan tercapainya Indonesia yang sejahtera, Â adil dan makmur.Â
Belum terlambat, negara kita masih banyak orang baik yang mau dengan sepenuh hati menyelesaikan problem yang tengah terjadi. Kita juga tidak perlu menunggu siapa atau siapa akan menjadi penengah dari problem yang kita alami, intinya adalah segera sudahi agar tidak melahirkan fitnah apalagi mencoreng keramahan bangsa.Â
Hari ini. Kita baru bisa sadar akan kerusakan negara ini bukanlah ulah kaum minority, bukan pengemis, bukan pengangguran, bukan petani atau buruh. Sebenarnya yang merusak negara ini adalah segelintir elit yang sengaja mengorek asas kedamain dan merugikan negara.Â
Kenyataan ini bahkan jadi sangat miris, bagaimana seorang ketua DPR-RI sebagai panduan rakyat bicara tentang hak rakyat dan menghargai hukum yang di lahirkan menjadi dikejar-kejar KPK untuk di mintai keterangan pada pemeriksaan. Benar, jika menghindar bukan alasannya tetapi kenyataannya bahwa secara prosedural untuk menjadi tersangka ada langkah-langkah dan tahapan hukumnya. Tetapi Rakyat jadi muak.Â
Jabatan publik adalah milik rakyat bukan mikik individu pelaksana aspirasi rakyat. Kita lihat Detik News, Â 21/10/15. Setelah anggota PDIP Adriansyah dan Patrice Rio Capella dari Partai NasDem, kini anggota DPR Dewie Yasin Limpo dari Partai Hanura berurusan dengan penegak hukum.Â
Mereka adalah orang-orang wakil bukan? Mereka ditugaskan untuk melaksanakan aspirasi atau berulah? Negara ini mengapa masih ada orang berkepala kecil tidak bertanggungjawab atas amanat yang di berikan.Â
Melihat hal ini, Ketua DPR Setya Novanto mengingatkan agar anggotanya tak menuruti pihak-pihak berkepentingan untuk melakukan perbuatan melawan hukum. Konteksnya, soal pembahasan proyek di DPR.
Begini kata Ketua DPR-RI "Banggar dan Komisi-komisi harus lebih berhati-hati, jangan sampai tergiur dengan permintaan-permintaan siapapun. Dihindari supaya tidak terjadi janji-janji menyesatkan kepada anggota itu sendiri,"
Ini kata ketua DPR-RI di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Rabu (21/10/2015) menurut laporan Detik News. berarti pepatah "Senjata makan tuan" terbukti realitanya.Â
Dewie anggota Komisi VII DPR itu ditangkap KPK saat tengah menerima uang suap sebesar Rp 1,77 miliar. Uang suap itu diduga untuk pengamanan proyek pembangkit listrik di Papua. Artinya soal kebutuhan segenting apapun, seorang tidak bisa melakukan hal sekeji ini sendiri-sendiri. Melakukan hal ini membutuhkan kawan, lalu siapa kawan-kawannya? Entahlah.Â
Proses hukum untuk anggota DPR-RI, menurut keterangan ketuanya diserahkan kepada pihak berwajib KPK. Ketua DPR-RI sebenarnya tau bagaimana proses hukum berjalan, tau segalanya. Kenyataanya sekarang?Â
Sakit dan kecelakaan Sebenarnya kita tidak bisa menuduh atau jadikan sebagai bahan guyonan apalagi sampai suudzon. Biarlah Tuhan yang mengatur dan menentukan siapa yang berhak salah dan disalahkan!
Masih kata ketua DPR-RI "Kita serahkan kebijaksanaan kepada KPK untuk mengusut lebih jauh, kita mendukung supremasi hukum," menurut pemberitaan Detik News.
Maksudnya, dirinya pun tau bagaimana menyerahkan proses hukum terkait anggotanya itu kepada KPK dan mendukung KPK memberantas korupsi, sejauh ini kita lihat telah ada semangat dan komitmen menegakkan antikorupsi datang dari seorang ketua. Nanti, padankan dengan realita sekarang yang baru terjadi dan sangat ramai-ramainya di bicarakan tentang "Tiang listrik".Â
Sebagai seorang ketua, pastinya dia sangat dan menginginkan anggotanya, masyarakatnya dan siapa saja berhati-hati berurusan dengan tindakan yang mengarah pada tindak korupsi.
Ini masih kata Ketua DPR-RI "Tadi kita sudah rapat, anggota supaya lebih berhati-hati kepada hal-hal yang berkaitan dengan masalah yang berbau korupsi"Â
Sekali lagi, sang ketua memang tau, dan mengajak sesama keluarga besar anggotanya agar jangan dan tidak menyentuh hal berbau korupsi, lalu kenyataan sekarang membuktikan kata sang ketua itu benar adanya, atau?Â
Dari apa yang disampaikan oleh sang Ketua diatas, kita abaikan saja cerita tiang listrik yang mendunia. Sekarang kita lihat beberapa data dibawah ini sebagai pembuktian bahwa yang merugikan negara ini sebenarnya bukan orang kecil, miskin, atau melarat. Tetapi yang rusaki dan rugikan negara ini adalah segelintir elit yang sudah pusing berpikir jernih sebagai sang wakil.Â
Dari Beitagar.id, rabu 7 oktober 2015:-Berdasarkan data KPK, pada periode 2004-2015 total ada 39 orang anggota DPR RI yang terjerat komisi antirasuah itu. Angka itu keempat terbanyak setelah kasus yang melibatkan pejabat di lingkungan Kementerian/Lembaga (139 kasus), pejabat di tingkat Pemkot/Pemkab (101), dan di tingkat pemerintah provinsi (59).
Dari data tersebut diatas, hanya sebagai informasi pelengkap bahwa negara ini dirusaki oleh mereka yang jumlahnya terdata itu, jumlah-jumlah itu yang membuat negara ini makin miskin dan rusak, rusak moral dan etikanya. Data dibawah ini sekedar perkuat hal diatas.Â
Dari REPUBLIKA.CO.ID, Sejak dihelat pemilukada pada 2004, hampir 3.000 anggota DPRD provinsi serta kota/kabupaten di seluruh Indonesia terjerat hukum. Tindak pidana korupsi mendominasi kasus hukum yang menjerat anggota DPRD.
Pada berita tersebut, sebanyak 431 anggota DPRD provinsi terjerat kasus hukum. Berdasarkan surat izin pemeriksaan yang dikeluarkan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) pada akhir 2012, sebanyak 137 (35,49 persen) orang diperiksa kepolisian dan 294 orang (64,51 persen) diperiksa kejaksaan. Â Dari 431 kasus, sebanyak 83,76 persen terjerat kasus korupsi, dan lainnya kasus pidana, pemerasan, dan perzinahan.
Data tersebut bermaksud mendata jumlah anggota DPRD kabupaten/kota yang terseret kasus hukum lebih besar lagi mencapai 2.545 orang. Namun, hingga kini aparat kepolisian dan kejaksaan baru memeriksa 994 orang saja.Â
Dari 2.545 anggota dewan, terdapat 1.050 orang (40,07 persen) teridentifikasi kasusnya adalah korupsi. Dengan kata lain, selama delapan tahun terakhir, setidaknya 2.976 anggota dewan terjerat kasus hukum yang didominasi kasus korupsi
Maksudnya, sejauh berita ini diturunkan, sebagai publik. Kita mengetahui berapa banyak kerugian negara ini ulah dari mereka yang jumlah makin bertambah dari tahun ke tahun.Â
Sadar atau tidak sebagai Wakil rakyat yang telah secara jelas-jelas melecehkan aturan yang dibuatnya sendiri seharusnya tidak punya otoritas moral lagi sebagai garda depan pemberantasan korupsi. Kata bung Karno, mereka "Keblinger"
Pertanyaannya bagaimana dengan identitas Law Maker (Pembuat Hukum) DPR yang sejatinya mendapat mosi tidak percaya dari publik? Bagaimana dengan posisi hukum yang otonom tidak pandang bulu itu?
Darurat hukum, titik rawan etika dan moral para wakil yang terjerat kasus, negara ini mengalami urgen proses penyelesaian kasus hukum yang demikian. Jawabannya nanti kita lihat ada perubahan dihari-hari mendatang.Â
Atau, haruskah rakyat kecil yang melarat lebih dahulu mematuhi hukum, harus lebih dahulu tunduk pada UU yang pembuat hukum produksikan? Jangan aneh menjawab hal ini. Karena sekarang bukan zaman batu.Â
Proses mengoreksi diri hanya sampai pada omongan semata, penghias panggung sandiwara. Kelakuan orang-orang merugikan negara seperti ini, sepantasnya dibiarkan atau menjadi cermin untuk publik ikuti?Â
Sepanjang perjalanan sejarah negara ini, publik disuguhi dengan hal menakjubkan. Beberapa peristiwa kasus korupsi dan suap menyuap adalah bagian kecil dari banyak masalah yang kita lihat. Hanya bagian kecil saja.Â
Jangan pula menganggap ini adalah intrik atau muslihat, negara ini hidup dan tempatnya jutaan rakyat yang punya moral dan etika yang dipegang sebagai bangsa timur yang ramah. Olehnya itu, junjung tinggi etika dan moral adalah sebuah keharusan. Tanpa nanti, tanpa ba bi atau bu.Â
Saya mengajak kita mengkritisi dengan bijak, bukan hanya pelaku yang melanggar hukum saja, tetapi juga kritisi pada negara ini bahwa jangan lengah menaruh sangka kepada Mereka yang sejauh ini sudah melucuti harga diri bangsa, harga diri negara kesatuan republik indonesia (NKRI)Â
KPK dan Kepolisian RI, bertindak cepat dan tegas, artinya kalau hanya kedua institusi itu yang bergerak tanpa dukungan publik. Berdua pasti ada titik kelemahannya yang sengaja di korek oleh pihak atau kelompok tertentu agar keduanya menjadi lemah.Â
Artinya, mengkritisi baik negara dan kedua institusi ini bukan berarti kita adalah penjahat hukum. Kritik dan dukungan sangat penting untuk mendukung segenab tugas-tugas yang mereka jalankan.adalah tanggungjawab kedua institusi.Â
Dalam perspektif paling sederhana, mari kita kembali kepada kesadaran kolektif sehingga problem yang merugikan rakyat, merugikan negara bukan sebagai pembenaran dan pembiaran. Tetapi lebih kepada ketegasan mengacu kepada UU dan hukum yang dipegang oleh negara ini.Â
Lupakan tiang listrik, karena tidak selamanya seorang harus bersalah tanpa alasan. Apalagi sampai salahkan tiang listrik. Maka, hukum manapun tidak dapat mengadili tiang listrik yang bertugas menjaga siang dan malam sebagai penyangga penerang untuk rakyat, untuk KPK, untuk POLRI dan untuk hukum di negara ini. Â
Jawaban mengapa singapura menjadi tempat favorit orang indonesia berwisata, berobat dan sekedar jalan-jalan biasa. Sebab karena Indonesia belum memiliki perjanjian ekstradisi dengan negara itu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H