Mohon tunggu...
Hr. Hairil
Hr. Hairil Mohon Tunggu... Administrasi - Menulis itu kebutuhan, bukan hiburan.

Institut Tinta Manuru

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Event WIFT atau Penghabisan Keadaban?

31 Oktober 2017   21:43 Diperbarui: 6 November 2017   13:29 1575
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Puncak Event WIFT (Widi International Fishing Tornament) usai diselenggarakan di Kabupaten Halsel (Halmahera Selatan) Maluku Utara (Malut) tanggal 29/10/17.

Event yang dilaksanakan semenjak 25-29 Oktober 2017 di salah satu Kabupaten Provinsi Maluku Utara ini menyita perhatian publik, khusunya masyarakat Maluku Utara di Pulau Gane, Kabupaten Halsel.

Pasalnya, pada pelaksanaan Event tersebut ada beberapa hal yang kemudian membuat generasi muda dan masyarakat setempat mengecam Gubernur Maluku Utara dan Panitia Pelaksana Event sebagai penanggungjawab.

Sebelumnya, Event dalam perencanaannya akan melibatkan masyarakat setempat. Sontak pada hari pelaksanaan rencana diikutsertakan masyarakat setempat pun hanyalah sebuah ilusi dan pemanis yang menghiasi pernyataan oleh beberapa pimpinan publik pada media pemberitaan di Maluku Utara. 

Dirilis Brindonews.com, pernyataan untuk melibatkan masyarakat pada Event yang di laksanakan di Pulau Gane tersebut disampaikan oleh Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Maluku Utara, Buyung Rajiloan. 

Katanya "Akan melibatkan masyarakat lokal khusunya warga Gene Luar dalam ajang mancing mania yang di pusatkan di Pulau Widi"

Penyataan ini jelas mendapat sambutan meriah untuk masyarakat setempat. Namun pada hari pelaksanaannya pernyataan tersebut nyatanya tidak dipenuhi/tidak terbukti.

Paska pelaksanaan Event, menjadi perkara miris yang bukan hanya di wacanakan warga setempat, publik Maluku Utara dan sejumlah generasi muda yang terhimpun dalam beberapa organisasi sebagai simbol pengontrolan jalannya program pemerintah pun turut menyuarakan perkara ini. 

Harapnya, masyarakat setempat dengan Event tersebut. Selain sebagai salah satu Event terbesar yang pernah ada dan untuk pertama kalinya akan melibatkan masyarakat setempat dapat memberikan dampak positif terhadap kecintaan lingunkungan laut dan utamanya para nelayan. 

Harapan itu berakhir tragis, masyarakat tidak dilibatkan menambah rumitnya perkara ini. Belum lagi, perkara pembongkaran 15 unit rumah nelayan di Pulau Widi tempatnya Event ini berlangsung menjadikan semakin riwet dan riskan dalam sejarah Event di Maluku Utara pada khususnya dan Indonesia pada umumnya. 

Foto Kieraha.com : Tampak rumah masyarakat nelayan di Pulau Widi.
Foto Kieraha.com : Tampak rumah masyarakat nelayan di Pulau Widi.
Hal pertama yang perlu menjadi perhatian kita pada Rencana melibatkan masyarakat tersebut dalam Event yang di laksanakan tidak terbutki sebagai mana tutur satu kepala dinas adalah bukti bahwa Kepala Dinas tersebut, melakukan pembohongan Publik. 

Sebagai masyarakat Maluku Utara, generasi muda maluku utara. Saya melihat perkara ini sebagai mata rantai yang tidak terpisahkan. Hal semacam ini, perlu disoroti, perlu di kritisi. Sebab jabatan publik bukan alat untuk mengelabui atau tepatnya sebagai alat pembohongan kepada publik, kepada masyarakatnya. 

Kalaupun, mata rantai seperti ini tidak di putuskan oleh kita sebagai generasi muda. Yakin jelas, hal ini berimbas pada pimpinan publik lainnya dan melakukan hal yang sama pada akhirnya masyarakat sebagai korban. 

Disamping tidak dilibatkan masyarakat setempat pada Event tersebut. Kita mengkaji sisi Lain yang bagi saya sebenarnya adalah keji dan sangat narsis di mata publik. 

Kita mungkin lupa, bahwa sekumuh apapun, separah apapun, sereot apapun bentuk suatu bangunan rumah yang sederhana. Didalamnya ada sejuta cinta, sejuta kedamaian, sejuta keadaban dan kearifan.

Toh, hari ini kita lihat kenyataanya yang terjadi dengan dalih Event berkelas yang tengah diselenggarakan ternyata hanya sebagai penggusuran serta penghabisan budaya lokal, penghabisan suatu keadaban yang telah lama dibanguan. 

Semacam ini, kita dapat melihat siapa yang paling keji sikapnya dan siapa yang paling nasris perlakuannya. Sehingga budaya lokal, budaya tanah lahir sendiri. Budaya masyarakatnya sendiri yang pada itu pula keadaban dibangun dengan kokoh diatas fondasi keberagaman, kuat seperti karang, jernih seperti air lautnya telah dipreteli dan gusur dalam Hitungan detik. 

Hanya di tanah Maluku Utara lah hal seperti ini terjadi. Orang-orang menduduki jabatan publik ternyata jauh lebih khilafnya dari pada masyarakatnya sendiri. 

Melakukan penggusuran 15 rumah warga nelayan di pulau widi ini adalah bukti nyata ternyata tidak semua pemimpin publik memiliki moral baik, tidak memiliki iktikad baik, tidak memiliki jiwa kemanusiaan, nasib masyarakat nelayan dipertaruhkan. Coba koreksi kembali, betapa jauh sebelum Event berlangsung, jauh sebelum elit memimpin pemerintahan. 

Masyarakat, terutama pelaut dan nelayan bertaruh nasib membangun sebuah keadaban diatas pulau kecil. Membangun keluarga harmoni, masyarakat yang dengan cinta dan kerukunan. Lalu, sekarang segalanya itu diusik, digusur. Kejahatan seperti mana yang dihitung jahat?

Desa-desa di Gane Kabupaten Halsel Malut ini secara kasat mata memang benar kalau kita melihat hanya dengan cara pandang politis, memang tidak ada sesuatu apapun yang mewah disana. 

Tetapi sekali lagi, mari kita melihat masyarakat, melihat kehidupan masyarakat dari beberapa puluh tahun silam hingga kini, kita lihat dengan cara pandang sebagai maunusia yang arif terhadap Lingkungan. Maka,  yang kita temukan adalah keadaban besar yang itu sendiri bahkan dapat menyaingi peradaban pemerintahan di tanah Maluku. 

Sedikit feedback pada perkara Event WIFT diatas, ada dua hal substansial menjadi sangat miris. Entah apa kata mereka, apa kata publik, apa kata Indonesia. Hari ini, jelas adanya kita melihat satu dari rentetan kehidupan masyarakat dijadikan sebagai korban alih-alih pelaksanaan Event. 

Hal pertama adalah ketidak terlibatannya masyarakat pada event, padahal awalnya ada pernyataan dan bahkan ada rencana 300 orang dilibatkan. Buah manis sebuah pernyataan sudah kita dapati paska Event. 

Kedua, perkara penggusuran 15 rumah yang katanya digantikan per unit 10 juta juga sudah kita lihat dengan jelas siapa yang paling rakus. Seharusnya sebagai Gubernur Maluku Utara pimpinan publik, dalam mengambil sebuah kebijakan tidak hanya menggunakan asumsi secara politis yang porsinya dapat berpengaruh dan berefek jauh lebih besar dari Suksenya Event tersebut. 

Pemimpin publik di Maluku Utara sekarang buta dengan keadaan nyata yang masyarakat hadapi. Maksudnya, bukan perkara penggusuran yang dengan dalih demi kelancaran sebuah Event. Hal yang saya maksud adalah keadaban, karifan dan lingkungan sosial yang damai itu tidak bisa digantikan dengan 10 juta. 

Pertanyaannya, apakah 10 juta dapat membangun sebuah peradaban hidup suatu lingkungan? Apakah 10 juta dapat membangun keadaban dan cinta dirumah nelayan yang dibangun dengan keringat mereka? 

Sejauh ini, bukan hanya perkara publik pada Event ini saja. Dibeberapa tempat di Wilayah kita tercinta Maluku Utara semacam terjadi pembongkaran besar-besaran terhadap keadaban ditengah kehidupan masyarakat. Kita lihat di kecamatan Oba, Tidore Kepulauan beberapa waktu lalu. 

Kehadiran sebuah perusahaan yang ditandatangi izin ekplorasinya mungkin oleh pemerintah kota sendiri sebagai langka taktis mendorong pendapatan belanja daerah, atau PAD, hal ini hanya dinpandang dengan pandangan politis sehingga kebijakan yang diambil lebih pada kebijakan politis yang tentunya akan merugikan masyarakat. 

Banyak lagi perkara yang akhir-akhir ini berpaut dengan pimpinan publik di daerah maluku utara. Sebenarnya, dilihat dari sisi pemanfaatan ada porsi tertentu yang itu kemudian mendorong laju perkembangan sebuah daerah. Tatapi disisi lain, tanpa melihat akibatnya dilingkungan sosial. 

Satu hal lagi yang paling miris tidak luput dari buah kebijakan bedalih kelancaran sebuah Event yang hari ini hanyalah tinggal jejak menyakitkan, hanya tinggal tangisan dan nasib berserakan diatas puing penggusuran dan rumah yang dibakar. 

Proses ini, seperti kita mendapat problem yang perkaranya tidak bisa dan tidak mungkin usai kalau hanya dilihat dari sisi politis yang orang-orangnya sudah hilang rasa kemanusian.

Masih ada pertanyaan sebagai buah dari kritisi yang kita tujukan kepada Pemerintah utamanya Gubernur Maluku Utara. 

Mengapa nasib masyarakat harus dipertaruhkan demi kemulusan sebuah sandiwara dalam memimpin? 

Mengapa, air mata dan tangis didalam gubuk-gubuk masyarakat yang rumahnya dibakar dan digusur oleh pemerintah belum juga usai? 

Mengapa, 10 juta rupiah dan dalih sebuah Event dapat dengan cepat membongkar ketentraman dan keadaban mereka yang sudah lama dan menua diatas pulau widi? 

Mengapa, mengapa dan mengapa lainnya akan terus mengalir mencari jawaban dari pemerintahan yang sudah mati nurani dan rasa kemanusiaannya. 

Orang yang sudah hilang kemanusiaanya adalah mereka yang rela dan ridha kepada tangis, kepada kehidupan sanak keluarga masyarakatnya diatas gubuk beralaskan terpal dan papan. 

Mereka yang hilang nuraninya akan ridha dan rela kepada putusnya sebuah mata pencaharian, mereka yang anggap biasa dengan kehidupan digubuk selama kurang lebih satu minggu lamanya. 

Foto kieraha.com : Tampak gubuk-gubuk masyarakat nelayan yang rumahnya digusur. Mereka membuat gubung seperti ini dan tinggal selama kurang lebih sampai waktu janji pemerintah menggantikan 10 juta untuk rumah mereka.
Foto kieraha.com : Tampak gubuk-gubuk masyarakat nelayan yang rumahnya digusur. Mereka membuat gubung seperti ini dan tinggal selama kurang lebih sampai waktu janji pemerintah menggantikan 10 juta untuk rumah mereka.
Dan mereka yang demikian hanya ada ditanah leluhur Maluku Utara, yang berdiri sebagai pemimpin publik tetapi sengaja menelantarkan serta membiarkan nasib masyarakat ikut raib oleh tangan mereka sendiri. 

Satu hal lagi menjadi penekanan untuk Pemerintah Maluku Utara bahwa 10 juta rupiah bukan solusi menggantikan sebuah keadaban besar yang di gusur lalu dibakar dan biarkan terlantar digubuk-gubuk kecil tanpa perhatian sama sekali. 

Bukan perkara rumah masyarakat dibangun karena hanya sekedar datang mencari ikan disana, pulau Widi. Sudah berpuluh tahun lamanya. 

Bukan pula perkara tidak layak dihuni, ini perkara kenyaman. Ini perkara ketentraman dan sebuah kehidupan yang serat dengan nilai lokal di Pulau itu yang 10 juta tidak dapat mengembalikan sebuah kearifan lokal tersebut. 

Semoga nurani kita tak sama!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun