Setiap orang punya cara, pola dan gaya tersendiri yang dia miliki sebagai bekal atau dasar pegangan untuk melakukan suatu aktivitas agar dapat bertahan hidup.Â
Banyak juga orang merasa hidup sendiri, apalagi jauh dari daerah/kota kelahirannya adalah hal yang paling menakutkan bagi mereka. Untuk hidup di kota lain, kita mungkin sudah harus pertimbang seluruh bentuk resiko yang akan kita hadapi.Â
Untuk mengatur hidup, merupakan suatu sistem secara mandiri yang harus dilakukan setiap orang, baik itu di tempat tinggalnya sendiri atau di luar lingkungan yang jauh dari jangkauan keluarganya.Â
Aktivitas kita di luar, di kota besar memicu kekhawatiran pada lingkangan keluarga, utamanya para orang tua. Mereka berfikir satu demi satu cara yang nantinya kita lalukan diluar.Â
Meskipun pada awalnya seorang melalukan aktivitas dengan cara bersosialisasi, belajar pada budaya, adat, kebiasaan kota dan suasana lainnya. Hal itu pun sudah saya lalukan jauh sebelum sampai di kota besar yang satu ini (Jakarta).
Semenjak 2006, pasca kelulusan SMA, saya sudah mulai membiasakan diri dengan keluar dan hidup dilingkungan luar di kota seberang itu pun alasan menimba ilmu. Hal umum dan biasa yang dilakukan orang-orang yang berada didesa untuk masa depan anak-anaknya.Â
Kita bisa bayangkan kekhawatiran orang tua terhadap anak-anak yang hidup di kota atau lingkungan yang jauh dari mereka. Itu pun resiko buat mereka.Â
Tentunya, hidup di kota luar sebagai perantau, kita membutuhkan keberanian yang besar pula. Apalagi pada saat kita sedang tidak bekerja atau belum dapat tempat kerja, yang itu sendiri dapat mendukung hidup kita. Cara lain yang kita gunakan dengan sebaik mungkin memanfaatkan akal sehat agar tetap dan dapat bertahan dalam waktu yang lama.Â
Saya, melakukan cara bertahan hidup di  yang bisa jadi berbeda, atau bahkan sama persis seperti yang dilakukan oleh orang lain pada umumnya sebagai orang perantau, dikota sebelumnya dekat kota kelahiran saya dan kota saat ini saya menyelesaikan tahapan studi lanjut.
Adakalanya banyak hal yang membuat kita, membuat saya atau siapa saja merasa lelah dan kalah menghadapi gaya hidup di kota. Tuntutannya harus sama, sementara kita dengan keadaan masih dalam posisi belum atau tidak sama sekali melakukan sesuatu yang mendatangkan uang sebagai jaminan kebaikan hidup sama seperti perantau lainnya. Bisa jadi hidup dikota dengan tangan kosong adalah hal mustahil dan gila yang kita lakukan.Â
Di kota besar dengan macam-macam pengaruh positif dan negatifnya mengalir sama-sama deras menghantui setiap manusia yang berdatangan, siang malam semakin terlihat keramaian dengan pesona kota.Â
Dibalik dari kelap kelip bak hiasan berlian mahkota sang raja, lampu kota menjadi tren kekinian pemandangan malam. Tetapi, disamping kehidupan malam kota masih terselip dinamika hidup yang miris dan menyayangkan, banyak juga orang di kota bertemu dangan masalah-masalah baru.Â
Penjambretan, begal, pembunuhan, tawuran, narkoba, kecelakaan dan banyak lagi yang terjadi. Kota ini sudah terbiasa dengan dinamika seperti demikian. Pergaulan bebas tidak dapat dibendung oleh orang-orang lemah.Â
Saya sendiri semenjak awal 2015 menginjakkan kaki di tanah Jawa, kota Jakarta dengan banyak masalah pun saya ikut melihat, membaca dan mendengarnya dari segala sumber. Sosialisasi diri, jalan-jalan dan banyak sudak kota di Jawa barat saya jejaki.Â
Sampai saat ini sudah hampir tiga tahun, saya masih di kota ini dan berdomisili di bilangan Jakarta Timur. Tujuannya mencari dinamika beru dan alasan pendidikan intinya.Â
Oktober 2017 masih sekitar 25% tujuan saya datang ke kota ini belum juga tercapai, artinya masih butuh beberapa bulan bahkan bisa sampai setahun atau dua tahun lebih di Kota yang besar dan keras dinamika lehidupannya agar bisa menyelesaikan 25% tujuan yang masih tertunda.
Alasan mengapa seorang sebagai mahluk sosial harus dengan caranya sendiri dapat bertahan dan dapat hidup selayaknya manusia-manusia yang lain? Itu sebuah keharusan juga tuntutan, kalau tidak begitu, manusia tidak akan bisa hidup dilingkungan baru yang bebas dan keras.Â
Dari situlah saya mukai mengakumulasi beberapa cara yang sejauh ini masih saya lalukan sebagai sistem bertahan hidup di kota besar, disini beberapa hal ini sifatnya saya berbagi pada pembaca yang budiman.Â
Kelak, sebelum merantau atau sekedar melancong apalagi dalam waktu yang terbilang lama, sudah harus disiapkan atau di R-e-n-c-a-n-a-k-a-n. Agar hidup di kota tidak membuat kita lemah, takut atau tendensius pada lingkungan dan aktivitasnya.Â
Hal ini yang saya lakukam sampai pada sekarang. Berdoa, komunikasi intens pada keluarga dengan cara apapun, menyadari solusi dan resiko dari masalah yang kita hadadapi, berkomitmen, tetap semangat dan berusaha melakukan hal positif yang dapat mengurangi beban berfikir negatif.Â
Cara ini dilakukan setiap hari, sebagai media atau pun sistem kita bertahan hidup dan melakukan kerja kita yang menjadi tujuan utama memilih jakarta sebagai tempat tercapainya cita-cita yang kita inginkan, realisasi mimpi itu susah, sama seperti halnya seorang ingin tidur malam ini dengan bermimpi Tuhan menemukan dia dengan bidadari.Â
Begitu pun harapan orang dilingkungan keluarga, apapun bentuk kendalanya dirantau, komunikasi prinsipnya memberitakan pada mereka bahwa keadaan kita masih baik-baik saja.Â
Berfikir positif adalah kunci agar bisa bertahan hidup di kota besar seperti Jakarta, artinya masalah apapun memikili resiko dan solusi. Saya sendiri, cara ini selalu digunakan, dengan demikian semua problem apapun kita melihatnya sebagai tantangan yang harus dihadapi dengan lapang dada dan fikiran dingin yang positif.Â
Positif itu sangat penting. Megapa sistem bertahan hidup harus disetting sebagus mungkin buat kita yang suka atau sering berjalan dan memilih merantau sebagai jalan mengasah nasib? Tetapi banyak juga cara lain yang digunakan, intinya setiap orang punya cara tersendiri menghadapi sesuatu.Â
Hikmahnya pun berbeda-beda. Sebab hidup ini bergulir, kadang bertemu intens arus begitu deras, kadang juga hidup hanya begitu saja. Lurus tanpa ada kendala apapun.Â
Namun bagaimana, seorang tanpa kerja, dan uang dapat bertahan hidup di Jakarta dengan melakukan sistem bertahan hidup? Sistem bertahan hidup ini dilakukan dengan hati-hati, perlahan dan sangat tenang. Tidak dengan ragu-ragu atau takut. Karena itu sangat hal yang P-e-n-t-i-n-g.
Hal terpenting untuk dapat bersaing dan bisa hidup sama seperti orang lain adalah kembali pada pribadi kita memanfaatkan waktu, materi dan enegri kita agar tidak terbuang sia-sia.Â
Biasanya di kota, waktu 3-4 jam terbuang sia-sia dilakukan orang-orang ditempat hiburan, meski hanya sekedar ngobrol atau kongkow dengan teman lama.Â
Mengatur alur pergaulan yang baik dan relevan dengan standar hidup kita, tidak ikut-ikutan happy saja. Cara-cara diatas saya sebut sebagai sebuah sistem karena harus terprogram secara matang. Artinya, jauh sebelum memilih menjadi perantau, segalanya sudah disiapkan.Â
Itulah sekedar bagaimana kita berbagi, tentang cara terbaik yang bisa bermanfaat untuk siapa saja. Berbagi hal baik tidak merugikan kita atau orang lain, tidak pula mendatangkan kerugian. Sebab prinsipnya hidup itu cara kita mengakumulasi semua bentuk kemungkinan menjadi sebuah potensi baik dan bermanfaat. Untuk diri sendiri, teman, siapa saja atau untuk lingkungan. Semoga!Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H