PSK juga dijumpai di lokasi pertunjukan musik hidup di satu lantai di bawahnya, yang sekaligus menyediakan kamar-kamar layanan kencan singkat.
Wajah baru
Ada wajah-wajah baru. Mereka kikuk mengenakan pakaian serba mini dan agak canggung menemani tamu. Salah satunya adalah Claudia, bukan nama sebenarnya, gadis belia yang baru berusia 15 tahun.
Tidak seperti gadis-gadis yang sudah mahir melayani tamu di dunia malam, Claudia kikuk, malu, dan tampak takut-takut. Dia berbicara seperlunya dan itu pun kalau diajak bicara. “Saya mulai kerja di sini sebulan lalu, tepat sebelum puasa,” katanya.
Gadis asal Bandung itu mengaku masih takut melayani tamu. Sebenarnya dia diajak oleh seorang mami yang menawarkan untuk bekerja sebagai pelayan minuman, bukan pekerja seks. Namun, dia kini sudah mulai mengerti tentang “dunia lain” itu meski tetap canggung.
Semua PSK yang menemani tamu di ruang musik hidup ini siap melayani laki-laki hidung belang. Mereka yang sudah biasa bekerja seperti itu lebih aktif mendatangi pengunjung yang duduk di bangku-bangku sambil mendengarkan musik.
“Kalau mau ngamar tarifnya Rp 285.000 hingga Rp 300.000 per jam. Boleh juga dibawa keluar,” kata Claudia dengan wajah tertunduk.
Pada Jumat malam itu “kehidupan malam” tidak hanya terdapat di dalam gedung. Sejumlah PSK pun secara terang- terangan menawarkan jasa di tepi Jalan Hayam Wuruk. Setiap pengendara mobil yang memperlambat gerak kendaraan langsung didekati.
Terdapat puluhan gadis muda berdiri antara Olimo hingga menjelang halte bus transjakarta di kawaan Harmoni.
“Untuk short time Rp 350.000, sudah termasuk dengan kamar hotel. Tetapi, kalau masuk diajak hotel lain juga bisa, tarifnya tetap,” ucap seorang PSK yang mengenakan celana pendek ketat.
“Apa yang kita dapat dari kehidupan malam seperti ini?” tanya seorang rekan seusai mengunjungi tempat-tempat hiburan itu. Saat itu jarum jam menunjuk pukul 03.00, Sabtu (1/8). Bagi penikmat hiburan malam, jawabannya pasti berbeda dengan yang tidak biasa.