Mohon tunggu...
Sadana Felix
Sadana Felix Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa

Mahasiswa program studi Sosiologi

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Setahun Belajar dari Rumah dalam Perspektif Bourdieu

9 Juli 2021   16:31 Diperbarui: 9 Juli 2021   16:44 188
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Di sabtu sore yang mendung, penulis yang tengah menjaga toko kelontong milik orang tua kedatangan seorang anak kecil, kira-kira masih kelas 2 Sekolah Dasar, dengan masker yang menutupi hidung hingga mulutnya dan rambut yang terhitung gondrong untuk anak seusianya. Penulis kenal dengan anak kecil ini, rumahnya dekat, paling 200 meter jauhnya. Anak itu lalu membuka kulkas dan mengambil dua buah yoghurt rasa blueberry. Ia lalu mengeluarkan uang dari celananya sambil mengoceh, "Aku baru ngeliat matahari! Dibolehin keluar, tapi cuma buat jajan ke warung".

 Penulis melihat lekat-lekat anak itu, apa benar ia melihat ke atas sana? Atau ia hanya mencari topik obrolan ketika tak ia temui satu pun anak seusianya yang bermain dan berlarian di jalanan gang? Ketika ia pergi, penulis baru mengerti. Sial, mengapa kesialan juga menimpa seorang anak kecil yang tidak pernah benar-benar tahu apa yang terjadi sekarang ini. Maret 2020 yang lalu, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) menerbitkan Surat Edaran Nomor 15 Tahun 2020 tentang Pedoman Penyelenggaraan Belajar dari Rumah dalam Masa Darurat Penyebaran Covid-19. Maret 2020 juga mungkin terakhir kalinya untuk pelajar bertemu dengan teman sebayanya, guru, pesuruh sekolah, hingga pedagang kantin secara aktual dalam perjumpaan tatap muka. 

Sejak itu, Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) diterapkan, dan baik tenaga pendidik maupun peserta didik "terpaksa" beradaptasi dengan model belajar yang mungkin baru pertama kali dirasakan oleh mayoritas pelajar dan pengajar. Keterpaksaan itu bukan tanpa sebab, Severe Acute Respiratory Syndrome Coronavirus 2 (SARS-Cov-2) yang lebih dikenal dengan virus corona, atau covid ini adalah virus yang menyerang sistem pernapasan, dan tak hanya menyebabkan gangguan sistem pernapasan ringan, tetapi juga infeksi paru-paru yang berat, hingga menyebabkan kematian. 

Dengan karakteristik transmisi atau cara penularan yang cepat dan beragam seperti melalui kontak, droplet atau percikan, melalui udara (airbone), hingga melalui darah (baik ibu ke anak, juga binatang ke manusia), virus ini adalah penebar ancaman yang sudah seharusnya diwaspadai oleh tiap individu tanpa terkecuali. Kembali pada PJJ, menurut Moore, Dickson-Deane, & Galyen (Firdaus, 2020:222) pembelajaran daring adalah sebuah proses pembelajaran jarak jauh dengan bantuan akses media internet yang di dalamnya mencakup konektivitas, aksesibilitas, fleksibilitas, dan memungkinkan terjadinya beragam interaksi dalam proses belajar. 

Zhang et al. (Firdaus, 2020:222) mengungkapkan dengan melalui jaringan internet dan pemanfaatan teknologi digital dapat mengubah cara pemberian materi dan menyampaikan pengetahuan serta menjadi salah satu solusi lain dalam pembelajaran yang dilakukan secara konvensional. Pada pembelajaran daring (online) ini papan tulis berganti jadi layar penuh aplikasi. Zoom, Google Classroom dan Meet, hingga WhatsApp merupakan media atau aplikasi paling umum yang digunakan saat belajar dari rumah. 

PJJ bukan tanpa kendala, tak semua pelajar memiliki gawai, baik telepon seluler ataupun laptop, akses internet atau kuota, juga tak semua sumber daya manusianya memiliki literasi digital yang baik. Sumber daya manusia yang penulis maksud ialah para pengajar, baik guru maupun dosen, para pelajar, juga orang tua yang mungkin ingin membantu pembelajaran sang anak, tapi tak mengerti cara mengoperasikan teknologi dan aplikasi. Bahkan, menurut survei KPAI, di Papua sendiri, 54% pelajar sama sekali tidak melakukan pembelajaran sejak kebijakan belajar dari rumah diterapkan. Senada dengan pengakuan Anggi, faktor minimnya infrastruktur menjadi alasan utama. 

"Tidak ada listrik, tidak memiliki handphone, jarak rumahnya jauh-jauh, gurunya tidak bisa kemudian melakukan proses ini semua. Guru kunjung tak ada. Papua tidak terjadi pembelajaran selama hampir 2 bulan," kata Komisioner KPAI Bidang Pendidikan, Retno Listyarti, dalam artikel VOA Indonesia, 21/05/2020. Penulis akan mencoba mengurai apa yang terjadi terkait bejalar dari rumah atau PJJ dengan menggunakan perspektif Pierre-Felix Bourdieu, seorang Sosiolog strukturalis-konstruktif asal Prancis.

Habitus, Arena, dan Modal

Ya, tiga istilah di atas adalah konsep kunci Bourdieu yang akan penulis gunakan untuk menguraikan permasalahan belajar dari rumah. Habitus merupakan produk sejarah yang terbentuk setelah manusia lahir dan berinteraksi dengan masyarakat dalam ruang dan waktu tertentu. Habitus bukan bawaan alamiah atau kodrat tetapi merupakan hasil pembelajaran lewat pengasuhan dan bersosialisasi dalam masyarakat. 

Proses pembelajarannya sangat halus, tak disadari dan tampil sebagai hal yang wajar. Habitus yang bermuatan pengalaman masa lalu, disimpan dalam bentuk persepsi, pemikiran, dan tindakan (Maliki, 2010:234). Menurut Bourdieu, habitus juga bisa dibayangkan sebagai struktur sosial yang diinternalisasikan, di mana habitus dibentuk oleh posisi seseorang di berbagai bidang atau struktur kelas, seperti jenis kelamin, umur, kelompok dan kelas sosial. Jadi, habitus tiap orang dapat berbeda-beda, tergantung posisinya dalam kehidupan sosial.

 Tetapi, habitus dapat pula menjadi fenomena kolektif. Di mana habitus memungkinkan orang memahami dunia sosial, tetapi dengan adanya banyak habitus berarti kehidupan sosial dan strukturnya tak dapat dipaksakan seragam kepada seluruh aktor. Habitus yang ada pada waktu tertentu merupakan hasil ciptaan kehidupan kolektif yang berlangsung selama periode historis relatif panjang (Krisdinanto, 2014: 199-200). Selama setahun bahkan lebih kita belajar dari rumah, habitus baru muncul, dan pembelajaran daring (online) dapat dikatakan sebagai habitus baru. Meski belum optimal dan memiliki beragam sisi negatif, PJJ yang setahun ini diterapkan mengharuskan stakeholders pendidikan beradaptasi dengan model pembelajaran, beragam aplikasi, hingga kultur baru yang hadir sekarang ini. Guru dan dosen, bak kembali duduk di bangku sekolah. 

Mereka harus beradaptasi dengan habitus baru ini dengan memperbanyak literasi digital, bertanya kepada sesama guru bahkan anaknya untuk membantu perkembangan kemampuan digitalnya. Pelajar pun kini harus menyiasati kerinduan dengan teman sebayanya dengan interaksi virtual, entah via zoom, skype, dll. Kultur baru pun lahir, seperti pengenalan kampus dan sekolah berbasis online, rapat organisasi via zoom atau gmeet, hingga sidang dan wisuda online. Jika habitus telah diwujudkan menjadi persepsi, pemikiran, dan tindakan nyata, maka ia menjadi obyektif, dan inilah yang disebut dengan arena, lapangan (field), atau yang sering disebut Bourdieu sebagai champ. 

Dalam perspektif Bourdieu, agen-agen tidak bertindak dalam ruang hampa, melainkan dalam situasi-situasi sosial yang konkret yang diatur oleh seperangkat relasi sosial yang objektif. Menurut Lubis (dalam Fatmawaty. dkk,2018: 202), arena dapat dimaknai sebagai dunia sosial yang terus menerus berada dalam proses diferensiasi progresif, di mana arena merupakan arena perjuangan para anggotanya, dalam hal ini adalah para aktor yang bersaing. Para aktor berjuang untuk mendapatkan sumber daya material, ataupun kekuatan (power) simbolis. 

Menurut Bourdieu, pada dasarnya hal ini dilakukan dengan tujuan utama untuk memastikan "perbedaan" yang akan menjamin status aktor sosial dan dapat berfungsi sebagai sumber kekuasaan simbolik, yang kemudian dapat digunakan untuk mencapai keberhasilan lebih lanjut (Fatmawaty. dkk, 2018: 202). 

Sekolah atau institusi pendidikan lainnya dapat dikatakan sebagai arena, terdapat interaksi antar para aktor, juga penuh persaingan para aktor. Persaingan terjadi karena melalui pendidikan, atau bersekolah, mobilitas sosial dapat tercapai bagi siswa dari kelas kurang beruntung, dan bagi kelompok dominan, pendidikan melindungi privilage sosial mereka dari generasi ke generasi. Konsep kunci terakhir adalah modal, di mana kepemilikan modal menentukan posisi agen dalam ranah atau arena. 

Modal sendiri terbagi ke dalam, (1) modal ekonomi, meliputi alat-alat produksi (tenaga kerja, mesin, tanah), materi (pendapatan, benda-benda), dan uang, (2) modal kultural, meliputi informasi, pengetahuan, atau keseluruhan kualifikasi intelektual yang diperoleh melalui pendidikan dan warisan keluarga, (3) modal sosial, yaitu koneksi atau keanggotaan dalam kelompok tertentu, (4) modal simbolik, yaitu segala bentuk prestise, ketersohoran, status, juga otoritas. Tetapi, setiap arena memiliki kebutuhan modal spesifik yang berbeda. Menurut penulis, dalam konsep belajar dari rumah yang membutuhkan gawai juga literasi digital yang baik untuk menggunakannya, para murid dan mahasiswa memerlukan modal ekonomi, dan modal kultural. 

Akan tetapi, seperti yang penulis kemukakan di atas, tak semua pelajar memiliki modal ekonomi, yakni gawai, dan kuota internet yang cukup untuk menunjang model belajar dari rumah ini. Akhirnya, arena pendidikan dengan model belajar dari rumah sekarang ini didominasi oleh kelompok yang memiliki modal ekonomi dan kultural, yakni kelas menengah ke atas. 

Sementara, itu Pemerintah (dalam artikel https://vokasi.kemdikbud.go.id// 30 Maret 2021) melalui SKB 4 Menteri mengumumkan bahwa pembelajaran tatap muka terbatas akan kembali diberlakukan Juli 2021 ini, dengan syarat tenaga pendidik dan kependidikan telah divaksinasi setidaknya dosis pertama, protokol kesehatan ketat, dan persetujuan orang tua. Akan tetapi, bukankah kebijakan tersebut cukup riskan untuk dilaksanakan? Mengingat saat ini, sedang terjadi lonjakan kasus Corona di berbagai daerah, juga masuknya berbagai varian baru seperti Delta, yang dimasukkan ke dalam variant of concern (varian yang mengkhawatirkan) oleh WHO, karena bertransmisi atau menular lebih cepat dibanding varian lain. Lagi-lagi, anak kecil itu akan lebih sering merindukan matahari.

Daftar Pustaka

Dwiastono, R. 2020. Sudah Efektifkah Metode Belajar dari Rumah di Tengah Pandemi di Indonesia? https://www.voaindonesia.com/a/sudah-efektifkah-metode-belajar-dari-rumah-di-tengah-pandemi-di-indonesia-/5428393.html Diakses pada 8 Juli 2021, pukul 10.55

Fatmawaty, dkk. 2018. Pola Interelasi Eksistensi Lengger Lanang Langgeng Sari dalam Pertunjukan Seni di Banyumas: Perspektif Bourdieu. JENTERA Vol. 7, No.2

Firdaus. 2020. Implementasi dan Hambatan pada Pembelajaran Daring di Masa Pandemi Covid-19. Jurnal Utile Vol. VI, No. 2

Krisdinanto, Nanang. 2014. Pierre Bourdieu, Sang Juru Damai. Jurnal KANAL Vol.2, No. 2

Maliki, Zainuddin. 2010. Sosiologi Pendidikan. (Cetakan ke-2). Yogyakarta: Gajah Mada University Press

Siregar, Mangihut. 2016. Teori "Gado-gado" Pierre-Felix Bourdieu. Jurnal Studi Kultural, Vol.1, No.2.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun