Mohon tunggu...
Sadam Syarif
Sadam Syarif Mohon Tunggu... Administrasi - Aktivis jalanan

Suka ngopi

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Rethinking of Indonesian Democracy

5 Juli 2021   11:25 Diperbarui: 5 Juli 2021   12:04 204
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Fenomena aksi kritik mahasiswa melalui media sosial yang dilakukan oleh Badan Eksekutif Mahasiswa yang dipelopori oleh BEM Universitas Indonesia menjadi trading topic di media mainstream nasional. Parodi yang mengasosiasikan PresidenJoko Widodo dengan berbagai label tersebut menandai puPusnya public trust kepada presiden hingga pada titik nadir. 

Wajar saja Presiden dua periode hasil pemilu langsung tahun 2014 dan 2019 ini memang terkenal dengan pernyataannya yang jauh dari kenyataan. Sistem presidensial yang didukung oleh lebih dari dua pertiga kekuatan politik parlemen menjadikan Indonesia seperti sedang melampaui batas-batas demokrasi yang wajar. 

Realitas baru politik ini semakin menegaskan bahwa sistem presidensial yang dianut bangsa ini, justru memunculkan problem terhadap keseimbangan politik  yang sudah tentu akan berujung pada kesenjangan demokrasi di negeri ini. 

Presiden yang tendesius dan potensial menyalahgunakan kekuasaan akan menjadi tesis yang sulit untuk dibantah kebenarannya jika kepincangan fungsi parlemen yang sejatinya adalah oposan tulen dalam presidensialisme.

 Dalam perspektif sosialogis-politik, guyubnya para elit politik yang juga merupakan elit oligarki ini dalam satu kubangan kekuasaan yang sama, pada titik tertentu akan menimbulkan kepekatan kekuasaan absolut yang sangat menjijikan. 

Maka pada saatnya, secara pasti rakyat akan muak dengan dagelan pongah penguasa yang hanya berorientasi pada politik, yang esensinya adalah tentang persaingan dalam meraih dan mempertahankan kekuasaan ini. 

Meski politik, kata Kuntowijoyo," hanya memikirkan masalah-masalah jangka pendek. Orientasi bahwa kekuasaan akan menyelesaikan banyak hal, ternyata hanya benar dalam jangak pendek". Praktik demokrasi yang cenderung absolut dikuasai oleh presiden, mengingatkan kita pada sejarah demokrasi terpimpin di era 1959-1965. Di mana presiden Soekarno kala itu mendapatkan kewenangan yang terlampau besar dan sebalik DPR nyaris dibubarkan akibat terbatasnya peran partai politik.

Biasnya praktik berdemokrasi secara brutal oleh sekolompok minoritas elit ini, tercermin pada semakin eratnya hubungan gelap antara demokrasi dengan kapitalisme (oligarki ). 

Peranan elit dan kartel partai, fenomena dinasti politik dan munculnya neo-oligarki di tingkat nasional dan di beberapa daerah adalah bukti jika demokrasi sedang tersandera oleh segelintir elit oleh karena terlanjur bebasnya demokrasi menampakan kelamahan dan aibnya. Dalam hal ini, proses pemilihan umun langsung, dengan kualitas one man one vote adalah penyesatan yang tidak seharusnya dipraktekkan. 

Akhirnya, kehormatan demokrasi justru dilabeli dengan demokrasi korporasi atau demokrasi kapitalistik. Maka tidak heran, jika kita mendapati adanya pemimpin bertabiat petruk bahkan berwatak setan gundul di masa demokrasi liberal ini. Adalah mantan Perdana menteri Singapura Kuan Yew yang secara tegas mengatakan, "secara intelektual, saya tidak yakin bahwa satu orang satu suara adalah yang terbaik".

Dalam pandangan yang lebih luhur, demokrasi sejatinya adalah sistem moral yang diterjemahkan dalam proses bernegara dengan berlandaskan pada prinsip kemerdekaan, kesetaraan (equility) serta kemanusiaan. 

Abraham Lincoln mantan Presiden Amerika Serikat berpendapat bahwa demokrasi merupakan sistem pemerintahan yang dirancang dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Sedangkan menurut Charles Costello, demokrasi termasuk sistem sosial dan politik, yang membatasi kekuasaan pemerintah dengan hukum. 

Demi melindungi hak seluruh warga negara. Jika disederhanakan, secara eksplisit demokrasi yang basis dan orientasinya adalah rakyat, rakyat dengan segala kedaulatannya mewakilkan segala urusannya kepada pemimpin atau wakilnya, sekaligus merupakan hukum yang membatasi dan mengontrol jalannya kekuasaan beserta kebijakan-kebijakannya.

Dalam konteks ini, konsepsi demokrasi yang utuh dan adil setidaknya mensyaratkan beberapa hal. Pertama, terdapat kemerdekaan absolut dari sebuah bangsa. Baik secara kolektif maupun secara individual. Sehingga individu diberikan kebebasan untuk berekspresi, berpendapat dan berserikat, tentu dalam batasan-batasan tertentu dan tidak melanggar hak dan kehormatan orang dan atau kelompok lainnya. Kedua, tingkat pendidikan atau indeks pembangunan manusia yang mumpuni. 

Karena pengambilan keputusan dan kesempatan memilih warga negara saat berpartisipasi pada momentum politik harus didasarkan pada suasana intelegensia yang adil dan cermat. 

Sejak ratusan tahun sebelum masehi, para filsuf yunani telah mewanti-wanti soal watak demokrasi yang memberikan hak politik yang sama kepada seluruh warga negara. One man one vote, itulah ciri yang dianggap mereduksi sisi keadilan secara intelektual. Socrates, adalah filsuf yang secara tegas menolak sisi krusial yang diremehkan demokrasi ini. 

"Karena tidak semua orang bisa memilih secara baik dan benar", demikian logika Socrates. Maka sebagai solusi, socrates merekomendasikan agar dalam memenuhi kebutuhan penyelenggaraan negara, hanya dipercayakan kepada orang-orang bijak saja. Karena arah kebijakan dan pembangunan negara mesti ditentukan dari dan oleh kapasitas intelektual penyelenggaranya. 

Ketiga, prinsip kesetaraan yang adil dan masif. Kesataraan di depan hukum dan mendapatkan pelayanan publik menjadi hal yang penting dalam konteks ini, tidak terkecuali kesetaraan ekonomi bangsa. Maka keadilan sosial dan keadilan ekonomi terhadap seluruh rakyat menjadi mutlak adanya.

Demokrasi yang utuh akan terefleksi pada sumber daya manusia yang unggul dan terjalin eratnya elemen dan simpul-simpul pemersatu bangsa. Negara bangsa yang menjadi identitas suatu negara mestinya memberikan kekhasan tersendiri sesuai dengan cita rasa  mazhab pembangunan ekonomi, rekayasa sosial, jati diri budaya dan bahkan agama terhadap demokrasi. 

Maka, dalam rangka me-review dan mengevaluasi lanskap demokrasi Indonesia, Australia National university (ANU) menyoroti dan mengevaluasi kemunduran demokrasi Indonesia. Menurut konferensi yang mengangkat tema "From Stagnation to Regression" menyimpulkan bahwa, "Political illiberalism, weakining party foundations and escalating sectarian polarization have significantly undermined Indonesia's democracy quality. 

This trend, which began in the early 2010s, extended into 2019 election and was accelerated by them" (the JP, 21/09). Meski dinilai berlebihan karena temanya yang mendeskreditkan Indonesia, bahwa demokrasi Indonesia yang lebih mengarah pada slow moving of Democracy jika tidak bisa disebut sebagai demokrasi yang cenderung pada praktik otoritarianisme. Sementara Prof. Paige Jhonson Tan mendeskripsikan demokrasi Indonesia seperti "the only game in town" pada Kyoto Review, 2018 lalu.

Jika boleh meminjam pendekatan Linz & Alfred Stepan, Jonson menguraikan 6 konsolidasi demokrasi, yakni 1) stateness, 2) civil society, 3) political society, 4) role of law, 5) state bureaucracy, dan 6) economic society. Pada titik ini, bisa kita simpulkan bahwa etos demokrasi yang ideal belum seutuhnya kita nikamati di negara yang sudah 20 tahun berlepas diri dari sabotase semangat diktatorship ini. Maka sudah saatnya bangsa ini merefleksikan kembali jejak langkah demokrasi secara mendasar dan substansial. Pikiran serta konsepsi demokrasi yang luhur mesti dikaji kembali (Rethinking of Democracy) secara jernih yang berbasis pada nilai-nilai Pancasila. Wasalam

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun