Fenomena aksi kritik mahasiswa melalui media sosial yang dilakukan oleh Badan Eksekutif Mahasiswa yang dipelopori oleh BEM Universitas Indonesia menjadi trading topic di media mainstream nasional. Parodi yang mengasosiasikan PresidenJoko Widodo dengan berbagai label tersebut menandai puPusnya public trust kepada presiden hingga pada titik nadir.Â
Wajar saja Presiden dua periode hasil pemilu langsung tahun 2014 dan 2019 ini memang terkenal dengan pernyataannya yang jauh dari kenyataan. Sistem presidensial yang didukung oleh lebih dari dua pertiga kekuatan politik parlemen menjadikan Indonesia seperti sedang melampaui batas-batas demokrasi yang wajar.Â
Realitas baru politik ini semakin menegaskan bahwa sistem presidensial yang dianut bangsa ini, justru memunculkan problem terhadap keseimbangan politik  yang sudah tentu akan berujung pada kesenjangan demokrasi di negeri ini.Â
Presiden yang tendesius dan potensial menyalahgunakan kekuasaan akan menjadi tesis yang sulit untuk dibantah kebenarannya jika kepincangan fungsi parlemen yang sejatinya adalah oposan tulen dalam presidensialisme.
 Dalam perspektif sosialogis-politik, guyubnya para elit politik yang juga merupakan elit oligarki ini dalam satu kubangan kekuasaan yang sama, pada titik tertentu akan menimbulkan kepekatan kekuasaan absolut yang sangat menjijikan.Â
Maka pada saatnya, secara pasti rakyat akan muak dengan dagelan pongah penguasa yang hanya berorientasi pada politik, yang esensinya adalah tentang persaingan dalam meraih dan mempertahankan kekuasaan ini.Â
Meski politik, kata Kuntowijoyo," hanya memikirkan masalah-masalah jangka pendek. Orientasi bahwa kekuasaan akan menyelesaikan banyak hal, ternyata hanya benar dalam jangak pendek". Praktik demokrasi yang cenderung absolut dikuasai oleh presiden, mengingatkan kita pada sejarah demokrasi terpimpin di era 1959-1965. Di mana presiden Soekarno kala itu mendapatkan kewenangan yang terlampau besar dan sebalik DPR nyaris dibubarkan akibat terbatasnya peran partai politik.
Biasnya praktik berdemokrasi secara brutal oleh sekolompok minoritas elit ini, tercermin pada semakin eratnya hubungan gelap antara demokrasi dengan kapitalisme (oligarki ).Â
Peranan elit dan kartel partai, fenomena dinasti politik dan munculnya neo-oligarki di tingkat nasional dan di beberapa daerah adalah bukti jika demokrasi sedang tersandera oleh segelintir elit oleh karena terlanjur bebasnya demokrasi menampakan kelamahan dan aibnya. Dalam hal ini, proses pemilihan umun langsung, dengan kualitas one man one vote adalah penyesatan yang tidak seharusnya dipraktekkan.Â
Akhirnya, kehormatan demokrasi justru dilabeli dengan demokrasi korporasi atau demokrasi kapitalistik. Maka tidak heran, jika kita mendapati adanya pemimpin bertabiat petruk bahkan berwatak setan gundul di masa demokrasi liberal ini. Adalah mantan Perdana menteri Singapura Kuan Yew yang secara tegas mengatakan, "secara intelektual, saya tidak yakin bahwa satu orang satu suara adalah yang terbaik".
Dalam pandangan yang lebih luhur, demokrasi sejatinya adalah sistem moral yang diterjemahkan dalam proses bernegara dengan berlandaskan pada prinsip kemerdekaan, kesetaraan (equility) serta kemanusiaan.Â