Mohon tunggu...
Sadam Syarif
Sadam Syarif Mohon Tunggu... Administrasi - Aktivis jalanan

Suka ngopi

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Krisis Kepemimpinan dan Ekses Darurat Sipil

8 April 2020   14:14 Diperbarui: 8 April 2020   14:15 71
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Karenanya, status darurat sipil hanya menjadi pilihan terakhir dan baru diterapkan ketika terjadi kekacauan dan pembangkangan publik secara masif setelah di saat pelaksanaan PSBB", demikian ungkap plt Deputi IV Kantor Staf Kepresidenan Bidang Komunikasi Politik Juri Ardiantono setelah wacana yang dihembuskan langsung oleh presiden Jokowi ini menuai kritikan tajam dari para ahli hukum dan masyarakat sipil. 

Keberadaan seseorang, bagaimana dia berpikir dan bertingkah laku akan dipengaruhi oleh keanggotaannya dalam suatu kelompok, jelas George Simmel dalam "conflict and the Web Of Group Affiliantions". 

Sayangnya presiden dan jajaran pembantunya bahkan tidak mampu mendefinisikan secara tepat dan tetap tentang terminologi pandemik covid-19 yang terlanjur meluas, karena sejak awal para abdi dalem istana tidak benar-benar serius membangun kesamaan pikiran dan narasi komunikasi publik terhadap problem kemanusiaan ini. 

Sehingga tidak jarang banyak pihak yang menilai bahwa, krisis kepemimpinan adalah awal dari setiap lahirnya pola pikir dan pola laku presiden beserta para pembisik dan pembantunya. 

Sampai rezim ini merasa krisis kemanusiaan ini sebagai ancaman serius bagi keberlangsungan kekuasaannya, dan dengan penuh kepanikan, presiden harus mengancam psikologi publik dengan kosa kata yang keliru yang serba ekses.

Maka sulit rasanya jika publik berharap lebih agar pemerintah bisa menemukan alat ukur yang valid tentang jumlah korban positif apalagi sampai mengetahui kapan akan berakhirnya masa-masa kegelapan peradaban manusia modern tersebut.

Jacob Sumahardjo dalam "Mencari Sukma Indonesia" memberikan sebuah wejangan yang penting bagi Bangsa ini tentang pentingnya karakter dan wibawa seorang pemimpin dengan menyatakan bahwa, krisis besar mebutuhkan orang kuat. Bukan kuat secara fisikal tetapi kuat secara karakter dan mental. 

Orang kuat ini akan menjadi orang besar, setelah krisis diatasinya. Orang kuat ini berkualitas transenden, menemnus dan mengatasi karakter-karakter pemimpin yang selama ini kita kenal. Jenis orang kuat ini harus " Jodoh" dengan impian masyarakat Indonesia sekarang. 

Krisis kemanusiaan (covid 19) merupakan alat ukur seberapa kuat karakter kepemimpin presiden Jokowi, apakah sejarah akan mencatatnya sebagai pemimpin yang sesungguhnya ataukah hanya sebagai biang dari segala krisis yang terjadi di bangsa ini.  

Krisis pandemik yang kini mulai menjalar menuju krisis ekonomi dan sosial diperkirakan akan secara pasti akan menganggu eksistensi kekuasan rezim ini. Menurut Bank Dunia, pandemi virus corona akan menambah jumlah penduduk miskin di kawasan Asia Timur dan Pasifik, termasuk Indonesia, hingga 11 juta orang. 

Sementara itu, Organisasi Buruh Dunia memperkirakan pandemi global ini mengakibatkan hilangnya 5 sampai 25 juta lapangan pekerjaan, dan pendapatan warga dunia akan berkurang sampai 3,4 triliun dolar AS. Di Jakarta, dinas tenaga kerja dan transmigrasi membuka link pelaporan data pekerja /buruh yang sudah di-PHK dan dirumahkan tanpa menerima upah (unpaid leave) karena wabah Covid-19. Per 3 April terdata laporan 21.797 pekerja yang dirumah kan dan 3.611 pekerja yang di-PHK.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun