Mohon tunggu...
Sadam Syarif
Sadam Syarif Mohon Tunggu... Administrasi - Aktivis jalanan

Suka ngopi

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Omnibus Law Vs Keadilan Ekonomi

19 Januari 2020   17:52 Diperbarui: 19 Januari 2020   18:59 696
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

"Tanpa keadilan, negara tidak lain hanya gerombolan perampok yang terorganisir" (St. Agustinus)

Di periode lalu, Presiden RI Joko Widodo secara meyakinkan mendemonstrasikan setidaknya 16 Paket kebijakan Ekonomi. Dengan penuh optimisme paket demi paket ekonomi tersebut diartikulasikan ke hadapan publik dan pasar dengan penuh harapan yang mencemaskan. Dan tentu saja, dampaknya dari sebuah kebijakan yang basis kajian datanya adalah pasar selalu akan berhadapan dengan ketidakpastian yang ambiguistis. 

Ibarat pemain atau spekulan saham, begitu kira-kira analognya. Tapi kebijakan publik strategis tidak seharusnya terpapar pragmatisme mimpi. Ya.. mimpi meroketkan angka pertumbuhan ekonomi.

Dan kini. Setumpuk roket, eh paket ekonomi tersebut entah ke mana dampak peluncurannya. Entah di titik-titik strategis ekonomi mikro ataukah bisa jadi di pangkalan ekonomi makro Nasional. Publik sejatinya tidak pernah terbuai dengan mimpi-mimpi manis itu dulu. Variable pertumbuhan Ekonomi nasional justru stagnan. Terjadi defisit anggaran dan defisit neraca dagang tertinggi dalam sejarah ekonomi Indonesia. Pengangguran para sarjana meluas. Utang luar negeri menumpuk.

Habis paket tibalah bus omni. "Omnibus Law" demikian terminologi hukumnya. Singkatnya, barang ini seperti Sebuah angkutan umum hukum (Undang-Undang) yang akan ditumpangi oleh beberapa jenis UU yang kira-kira memiliki kesamaan tujuan. Pada konteks ini, tujuan atau maksud baik UU omnibus law ini adalah pertumbuhan ekonomi. 

Misinya adalah dengan menyiapkan lingkungan investasi yang nyaman dan membentangkan karpet merah bagi investor asing. Dan misi yang terakhir adalah menciptakan lapangan kerja. Untuk misi yg terakhir, tenaga kerja yang dimaksudkan adalah tenaga kerja Indonesia dan juga tenaga kerja asing.

Pada kluster UU omnibus law pertama, pemerintah dilaporkan tengah menyiapkan 4 jenis UU untuk ditumpangi dalam satu kluster tersebut. Mereka adalah UU ketenagakerjaan, UU Perizinan Usaha, UU Perpajakan dan UU pemindahan ibukota negara. Untuk menyempurnakan proses penyusunan UU jamaah ini, pemerintah telah menyiapkan satu personil khusus dengan nama Satgas UU omnibus Law. 

Isi struktur satgasnya bisa dicek sendiri. Adapun Tugasnya adalah memulihkan kembali kondusifitas dan kenyamanan usaha bagi investor. Dengan menciptakan kepastian hukum, melalui kemudahan perizinan dan lain-lain.

Lantas, apakah UU omnibus law ini akan efektif dan efisien bagi pemertaan ekonomi? Atau setidaknya mampu mengurangi kesenjangan ekonomi dan sosial masyarkat? Siapakah yang paling diuntungkan? Setidaknya, pemerintah bertanggung jawab untuk menjawab pertanyaan terakhir di atas. Karena Esensi daripada pertanyaan tersebut adalah tentang "keadilan", maka publik setidaknya harus sadar, pada poin mana saja yang kira-kira akan berdampak langsung bagi rakyat banyak yang notabene tidak memiliki aset apalagi perusahaaan. Mari kita kaji!

Soal UU perpajakan. Praktis akan berpengaruh langsung pada subsidi negara pada hajat rakyat pada kesehatan, listrik, bahan bakar dan lain-lain. Karena kebijakan pajak yang semakin longgar dan memungkinkan tingkat kepatuhan membayar pajak semakin rendah. Meskipun objek pajaknya diperbanyak, yakni pajak digital dan pajak biasa. Mengingat pencapaian pajak yang selalu lebih rendah dari targetnya selama ini, spekulasi kebijakan pajak yang tidak hati-hati ini patut untuk dipertanyakan.

Yang kedua soal UU ketenagakerjaan. Akibat UU ini, puluhan organisasi buruh tengah menyiapkan ribuan anggotanya untuk melakukan aksi protes dalam beberapa hari ke depan. Indikator ketidakadilan omnibus law pada UU ketenagakerjaan adalah bagian yang paling terang dan jelas. Meski harus diakui bahwa rendahnya produktivitas dan tingginya upah tenaga kerja Indonesia merupakan alasan di balik dievaluasinya UU ini. 

Namun jutaan jumlah tenaga kerja Indonesia adalah aset bangsa yang harus dibayar secara layak oleh siapapun. Soal skill dan kualitas sumber daya manusia yang kurang kompetitif, adalah hal lain yang perlu diselesaikan bersama.

Ketiga, adalah Omnibus Law UU pemidahan Ibukota negara. Adalah proyek nasional paling strategis dan tentu sangat mahal untuk diselesaikan sendiri oleh pemerintah Indonesia. Presiden Jokowi bahkan tanpa sungkan menawarkan tiga figur asing untuk dijadikan sebagai brand ambasador pembangunan ibukota baru RI. 

Presiden juga terlihat sangat percaya diri mengungkapkan bahwa tidak akan menjadikan utang luar negeri sebagai operasional pembangunan ibukota baru negara. Untuk UU borjuis ini, saya kira tidak perlu dibahas apa efeknya bagi rakyat.

Yang terakhir, inilah UU omnibus Law yang setidaknya memberikan setitik harapan bagi rakyat kecil-menengah. Dengan tagline memudahkan perizinan pendirian usaha. Targetnya adalah memperbanyak UMKM. Namun apakah hambatan perkembangan UMKM Indonesia selama ini adalah terletak pada proses perizinan?

Setahu presiden Jokowi, tidak. Hambatan UMKM Indonesia terletak pada akses modal dan daya saing produk (packaging dan marketing). Tapi bagi pemerhati dan pecinta lingkungan, dampak ekologis akibat dipermudahkannya UU ini menjadi hal yang tragis dan sangat menyakitkan. Eksplorasi batu bara yang sempat dihentikan kini siap-siap gas pol. Riwayat AMDAL kini tamat.

Adakah kita jumpai secuil keadilan dalam konteks perundang-undangan ini? Bahwa benar setiap warga negara berkewajiban mendukung setiap kebijakaan pembangunan ekonomi  pemerintah. 

Namun apalah arti sebuah rerorika pembangunan ekonomi Nasional, jika yang menikmati hanyalah sekelompok kecil elit. Sebegitu mahalnya kah keadilan? Sementara di saat yang menteri koordinator kemaritiman dan investasi justru berwacana akan mengurangi subsidi bagi rakyat kecil-menengah.

Tampaknya jenis negara kesejahteraan demokratis modern tidak mampu mengejahwantakan mimpi kesejahteraan bagi mereka yang kurang beruntung. Mimpi warga negara yang selalu dijanjikan keadilan distributif. 

Meminjam teori keadilan utilitarianisme Jhon Rawls bahwa, "ketidaksetaraan sosial dan ekonomi, akan menjadi adil jika menghasilkan pengkompensasian keutungan bagi setiap orang, khususnya bagi angota masyarakat yang kurang mampu". Dalam konteks ini, libelarisasi ekonomi Nasional melalui UU omnibus Law tidak seharusnya diperparah dengan rencana pengurangan subsidi bagi rakyat kecil-menengah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun