Alunan takbir nan khidmat bersahutan dengan indah memenuhi cakrawala sekitar basecamp pada senja jelang Magrib kemarin (26/5). Menghantar de javu malam takbiran Idul Fitri yang belum lama berlalu, apalagi bertepatan dengan khatamnya puasa Syawal salah seorang dari kami. Sempurnalah asa Lebaran itu baginya.
Siklus rotasi dan revolusi Bulan semalam yang bertepatan dengan 14 Syawal 1442 H telah menghantar fenomena Super Blood Moon alias gerhana Bulan total itu memang menghadirkan nuansa perenungan tersendiri.
Tentang monster gigantik yang dimitoskan akan menelan rembulan nun di antariksa sana dan harus diusir dengan kebisingan berbagai bebunyian tingkat ekstrim dari bawah sini agar dia takut lalu mengurungkan niat .
Padahal jarak Bumi ke Bulan membentang sejauh 384.400 km dan faktanya gelombang suara takkan mampu menembus ruang angkasa tanpa piranti canggih. Pasti mustahil segala keriuhan yang ditimbulkan dengan menabuh kaleng rombeng atau pantat ember bisa menjangkau pendengaran, apalagi mengusir monster itu.
Tentang ibu-ibu hamil yang harus bersiap-siap masuk angin akibat kedinginan diguyur air dari kepala dan sekujur tubuh saat prosesi gerhana Bulan berlangsung karena suami atau tetua keluarganya kuatir jabang bayi dalam kandungan terlahir dengan muka belang bila ritual itu tak dilaksanakan.
Padahal area menghitam di wajah bayi dengan bagian tengah menyerupai memar dan sedikit bersisik di tepiannya bisa saja merupakan gejala yang di dunia kedokteran biasa disebut Pityriasis Alba pigmenting. Bisa juga muncul bercak-bercak penyebab belang pada kulit bayi yang diakibatkan oleh infeksi jamur atau vitiligo.
Kalau kedua jenis kepercayaan di atas yang konon bukan hanya melanda Indonesia semata namun juga berbagai belahan dunia lainnya dengan versi masing-masing tersebut berakar pada mitos, lantas potensi bencana nyata seperti apa sebenarnya yang harus diwaspadai dari gerhana Bulan?
Sejauh ini, berdasarkan pengamatan umum pada rilis berbagai media saat terjadi gerhana Bulan, dari tahun ke tahun para pakar umumnya mewanti-wanti kemungkinan terjadinya banjir di area pesisir pantai Indonesia. Sementara di benua lain, gerhana Bulan ditengarai memicu terjadinya gempa bumi berskala besar.
Kepercayaan dan pengetahuan manusia terhadap berbagai dampak akibat berlangsungnya gerhana Bulan sepertinya akan terus berkembang dengan segenap variasi seiring dinamika perjalanan peradaban. Tapi fondasi hakikinya tetap akan sama sampai kapan pun.
Tetap sama seperti berabad lalu telah disampaikan oleh Aisyah Radiyallahu'anha yang mengutip ucapan suami beliau Muhammad Shalallahu'alaihi Wassalam, sebagaimana tertulis dalam Hadist Riwayat Bukhari no 1044, bahwa, "Sesungguhnya matahari dan bulan adalah dua di antara tanda-tanda kekuasaan Allah. Gerhana ini tidak terjadi karena kematian seseorang atau lahirnya seseorang. Jika melihat hal tersebut maka berdo'alah kepada Allah, bertakbirlah, kerjakanlah shalat, dan bersedekahlah. "
Bencana dari skala personal sampai global sekalipun takkan terjadi tanpa seiijin Sang Khalik, maka merapat sedekat mungkin padaNya sesuai dengan prosedur yang telah diajarkan utusanNya adalah pilihan terbaik untuk bisa membentengi diri beserta segenap yang dicintai agar terlindungi dari musibah terbesar yang mungkin menimpa.
Kehilangan harta masih bisa dicari, cedera bisa dipulihkan, sakit bisa diobati, dan segala ketidaknyamanan yang dialami karena semua itu dengan seijinNya bisa menjadi penggugur dosa yang sudah ditimbun sejak awal fase akil baligh. Bahkan matipun akan jadi luar biasa kalau jatuhnya jadi syahid bila jadi korban bencana alam atau husnul khatimah dalam kondisi normal.
Lantunan takbir kian lezat merasuki pikir dan hati, sesekali bibir bergetar mengikuti, sampai tiba kumandang adzan Isya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H