Nominal tambahan yang tertera di saldo rekening digital-ku menunjukan bahwa Dazal memang menepati janji membayarku dengan jumlah fantastis untuk sebuah artikel pendek di media daring yang disokong oleh majikannya.
Bukan sembarang artikel, bahkan beberapa kali aku sempat mereject tawaran lelaki elegan dan ramah itu. Tentu saja bukan masalah teknis penulisan yang bersembunyi di balik penolakanku karena bukan baru seumur jagung aku menekuni profesi ini. Aku betul-betul keberatan dengan pikiran utama dan tujuan penulisan artikel itu.
"Mas bisa minta penulis lain ..., "kataku pada Dazal sembari menyebut beberapa nama teman-temanku yang siap menulis berita apapun sesuai permintaan klien asal bayarannya cocok," Viewer mereka bisa ratusan ribu setiap posting dan Mas bisa pilih yang style beritanya cocok, nanti kukirim linknya deh. "
Dia tersenyum sebelum mengutarakan bahwa aku hanya harus fokus pada menulis konten sebagus mungkin sesuai arahan editor yang nanti akan mendampingiku, tentu saja tetap dengan gaya penulisanku selama ini.
" Soal rating dan jumlah pembaca, biar aku yang urus, "dia mengedipkan sebelah matanya," Minimal sejuta orang akan membaca tulisanmu, aku janji."
Sejuta. Wow. Seribu-duaribu adalah rata-rata flash viewerku yang segera membaca begitu tulisanku tayang. Seiring perjalanan hari, jumlahnya akan meningkat barang 2-3 kali lipat tergantung ketepatanku membagi ulang link di jejaring medsos.
Sejuta views. Kira-kira butuh berapa lama tulisanku bisa mencapainya, ya? Dan itu ... minimal, dia bilang.
Dazal menepuk bahuku. Dari mimik senyumnya, aku paham kalau dia sudah membaca pergulatan dalam benakku.
"Boleh tanya sesuatu? " selaku.
" Sure, " dia manggut sembari menghadap ke arahku sepenuhnya, siap menyimak dan merespon.
" Kenapa dia?"aku membahas sosok entah siapa yang nantinya harus 'dibunuh' dengan artikel, "Apa yang sudah dia lakukan sebenarnya?"
Dazal tertawa, "Nothing personal, just business as usual ... aku tidak kenal dia secara pribadi, yang jelas dia harus dihentikan karena proyeknya mengganggu kepentingan klien."
Saat aku mencoba mencari detail 'proyek' yang dikatakannya, Dazal cuma bilang, "Nanti kuberikan bahan mentah penulisan begitu kita deal, pokoknya kau cukup bikin artikel pendek dan publish pakai akunmu seperti biasa."
"Setidaknya aku boleh tahu namanya, kan? "
" Begitu kau terima DP, kukasih tahu deh," katanya sambil menyiapkan hape, "Wapri no rekeningmu, biar langsung kutransfer."
What the.... ? Pasti bukan baik-baik, kalau pekerjaan macam kucing dalam karung begini. Maka dengan memajang wajah semanis mungkin akupun menegaskan penolakanku. Dazal tersenyum dengan wajah sabar, mengganti topik percakapan. Lalu setelah beberapa saat mengobrol, diapun berpamitan.
Akupun bisa kembali ke habitat hidupku seperti semula dengan melupakan sejuta views dan rekor bayaran menulis yang dijanjikan teman sepermainanku saat bocah yang kini tajir itu.
Sudah beranjak tengah malam, tapi aku masih belum menemukan rangkaian kata yang pas untuk posting besok pagi-pagi sekali. Mendadak hape melengking membuyar konsentrasi. Istriku. Dia bukan perempuan yang hobi mengusik lelakinya untuk sekedar merengek atau melepas cemburu tak jelas. Semoga bukan sesuatu yang sangat gawat.
Suara cerianya menepis kecemasanku,"Terima kasih, Kang, alhamdulillah uang kuliah Ranti semester ini sudah dilunasi dan sisanya kutransfer langsung ke dia untuk pegangan biaya sehari-hari di sana."
Uang? Bulan ini aku belum transfer karena masih menunggu agar jumlah nominalnya cukup untuk biaya harian istri dan putri kami. Maklum keluarga kecilku harus tercerai-berai karena tuntutan hidup. Aku di kota ini, putriku kuliah di provinsi tetangga, dan istriku jadi penjaga gawang rumah kecil kami yang terletak nun di dusun sana.
"Uang darimana, Neng? Kayaknya lumayan banget tuh."
Kudengar tawa manis istriku,"Kura-kuranya masih dalam perahu,ya?."Oloknya mengira aku cuma berpura-pura,"Mas Dazal ..." tetiba suara istriku menghilang dari pendengaran karena yang mampu kutangkap sesaat hanya nama itu. Dazal.
Sampai teguran berulang istriku membuat pendengaranku on kembali untuk mendengar kisahnya tentang kedatangan Dazal bersama istrinya ke rumah kami selepas Magrib. Setahuku Dazal belum menikah. Mereka membawa kabar gembira bahwa aku mendapat proyek besar penulisan dan mereka berinisiatif untuk menyampaikannya secara langsung pada istriku sambil mentransfer sejumlah uang muka. Kisah macam apa itu.Â
"Kok Mas Dazal begitu,ya? Tak bilang sama Akang mau ketemu Neng."
"Biar gak ganggu kerjaan Akang katanya, pokoknya uang semesteran Ranti bisa segera dibayar sebelum keburu tutup tanggalnya."
Dazal sudah melakukan risetnya tentang keluargaku dengan sangat baik. Dia bahkan sampai tahu persis jadwal daftar ulang kuliah putriku. Luar biasanya dia bersama 'istrinya' membawakan seloyang bika ambon yang merupakan kue favorit istriku sebagai oleh-oleh. Kata Neng, rasanya enak sekali. Lebih hebat lagi, dia mampu meyakinkan Neng untuk menerima transferannya secara on the spot.Â
Mungkin kunjungan Dazal menjadi semacam berkah bagi perempuan solehah itu, yang tak pernah lalai dengan lima waktu dan wirid-wiridnya, yang ikhlas untuk menjalani hidup serba mepet dengan jurnalis kelas bubuk rangginang sepertiku, .
Rasanya aku ingin membuka sejelas-jelasnya tentang asal-usul transferan itu. Namun kebahagiaan dalam suaranya yang manis dan fakta bahwa penghasilan dari tulisanku bulan ini yang masih lumayan jauh dari cukup untuk kebutuhan kami, membuatku memilih untuk membiarkannya saja. Seperti biasa kami menutup percakapan dengan saling mendoakan.
Saatnya melabrak Dazal. Nyatanya begitu tersambung, dia langsung mendahului dengan menyebutkan nama sosok yang akan kubunuh dengan tulisanku. Bukan figur publik yang pernah kudengar. Dering tanda surel masuk menyela pencarian di memori otakku.
"Itu bahan mentahnya." Suara Dazal yang riang terdengar sedikit menekan.
"Aku belum tentu setuju."Selaku cepat.
"Optional kok, terserahmu saja,"sambutnya enteng saja,"Kau hanya harus mengembalikan uang muka yang sudah kutransfer ke Neng, selanjutnya bebas."
Dia menonjokku tepat di ulu hati. Jumlah yang ditransfernya ke Neng tak mungkin bisa kuganti cepat-cepat, apalagi sebagian sudah masuk ke kampus Ranti.
"Beri aku waktu," aku mencoba mencari ruang untuk sekedar bernapas.
"Demi pertemanan kita, baiklah,"katanya dengan keramahan sempurna,"Satu minggu, aku juga dikejar untuk segera membereskan ini."
"Jangan harap sesuatu yang vulgar,"aku mulai merasa mau pingsan.
"Aku juga tidak mau, pakai style-mu yang biasa saja saja,"sahutnya,"Jujur dan bersahaja, aku suka itu."
Bedebah itu ingin aku menodai nama baik orang lain dengan jujur dan bersahaja. Bah!
Toh, seminggu hanya sekejap mata dan artikel sianida itu pun bertengger gagah di akun yang telah kutanam sejak sangat lama lalu. Kupupuk agar tumbuh dan berkembang dengan sangat hati-hati. Demi kesucian nafkah Neng dan Ranti, serta ketentramanku.
Satu juta views dalam sehari dan terus bertambah esok harinya.Dering telpon rekan-rekan yang pernah kurekomendasikan pada Dazal bertalu sambung-menyambung. Mereka menyalamiku karena sudah 'berani' memasuki alam nyata. Tempat makan pagi-malam-siang tak pernah digratiskan. Bisa bebas pilih menu seenak udel.
Nominal baru yang menggemuki rekeningku nyatanya tak bisa kupakai membeli tidur nyenyak yang selama ini menjadi oase kepenatanku setelah mengejar deadline yang bisa berulangkali setiap hari.
Aku kepikiran Neng yang selalu menjaga napas jiwanya. Juga Ranti yang dididik secara persisten oleh sang ibu agar bisa menjaga napas jiwanya juga dimana pun dia berada. Bagaimana jika sianida yang kutulis justru menyumbat saluran pernapasan mereka? Bisakah aku menerima itu dalam proses move on-ku? Cukupkah pertobatan sujud demi sujud jadi penangkal ?
Tapi sepertinya aku tak punya pilihan lain. Sosok yang kutulis dijebloskan ke penjara karena tulisanku ternyata hanya satu elemen saja dari sianida sistematis untuk mematikan kiprahnya melindungi hak-hak wong cilik yang diserobot para wong gede. Â Yaa Rabb, apa yang sudah kulakukan?
Kuputuskan untuk jeda menulis beberapa hari dan menemuinya di penjara. Aku sudah menyiapkan diri untuk caci maki atau tamparan. Bahkan lebih dari itu, masuk bui juga karena telah mencemarkan nama baiknya. Tapi dia hanya menatap, menyimak, dan tersenyum.
"Kau kumaafkan,"katanya,"Mintalah pengampunan agar nafkah yang sudah terpakai istri dan putrimu tidak mengundang musibah dan sisanya halal untuk dimanfaatkan."
"Begitu saja?"tanyaku yang sudah berpikir tentang tuntutan karena pencemaran nama baik.
"Ya, do it the best you can."
The best way bagiku, setelah menyambat Sang Maha Pengampun dan minta maaf pada Neng dan Ranti, adalah pengakuan serta permohonan maaf terbuka atas keterlibatanku menebar racun yang menyesatkan di media. Akan jadi posting terakhir karena aku akan menutup akun yang sudah kurawat selama bertahun-tahun itu.
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H