Mohon tunggu...
Wahyuni Susilowati
Wahyuni Susilowati Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Jurnalis Independen

pengembaraan raga, penjelajahan jiwa, perjuangan menggali makna melalui rangkaian kata .... https://www.youtube.com/c/WahyuniSusilowatiPro

Selanjutnya

Tutup

Kurma Pilihan

Kangenku akan Nasgitel dan Geblek

9 Mei 2021   17:39 Diperbarui: 9 Mei 2021   17:41 833
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Menyabarkan rindu dengan menulis surat (dok. Zastavky, MiNDFOOD/ed.WS)

Kota Kembang, 9 Mei 2021

Kepada Kakakku tersayang

di Desa Tempat Kakek-Nenek Dimakamkan

Assalamualaikum Warahmatullahi wa barokatuh, 

Apa kabar, Kak?

Pastinya sepasang matamu masih menyipit kala senyummu merekah menjadi tawa yang lirih. Manis dan ramah.

Sejak kecil memang kau selalu sangat perempuan. Saat membantu mendiang Nenek memasak di dapur, hasil karyamu pasti dinilainya selalu lebih unggul dibanding punyaku. Aku sangat tidak keberatan karena hal itu membuatku tak perlu berlama-lama di ruang berlantai tanah dengan perapian tungku berbahan bakar kayu yang membuat pendatang dari kota sejuk sepertiku selalu kegerahan itu.

Pekarangan luas yang mengelilingi rumah kayu besar milik kakek-nenek kita yang rimbun dengan gerumbulan-gerumbulan tanaman hijau. Pohon-pohon kelapa dan jeruk Bali varietas tradisional tumbuh di berbagai penjuru menjadi peneduh. Gemerisik dedaunan mereka yang bergesekan saat tersentuh angin lewat menghadirkan rasa nyaman.

Kolam di seberang dapur tempat aneka ikan yang besar-besar berenang berseliweran ke sana-sini. Tampak jinak dan mengundang untuk ditangkap. Suatu ketika aku memutuskan menerima undangan itu dan nyemplung ke dalam aliran air kecoklatan untuk memburu mereka dengan tangan kosong. Gerak kakiku di dasar kolam yang berlumpur itu nyatanya tak selincah sirip-sirip mereka. Menyerah? Tak sudilah.

Lalu Nenek melongok dari pintu dapur, "Nanti ikannya pada matiii..!" Pekik berbau kejengkelan itu tentu saja membuatku tak punya pilihan selain naik ke darat dengan baju basah belepotan lumpur. Lantas aku menyadari sesuatu. Di ujung sana di atas kolam berdiri gagah semacam gubuk bambu tak beratap, tempat orang nongkrong buang hajat.

Sementara Kakek tak banyak cakap. Setelah mengimami shalat di masjid atau sepulang memberikan ceramah di berbagai tempat, biasanya dia akan berganti dengan baju santai favorit, kaos oblong putih polos dan sarung. Lalu duduk di ruang makan, asyik meracik tembakau-cengkeh untuk mengisi pipa cangklongnya.

Kak, masih ingat meja makan besar dan berat yang terbuat dari kayu jati tua itu? Siapapun yang mengunjungi Kakek dan Nenek kita pasti pernah makan bersama mengelilingi meja itu. Menu-menu biasa tapi rasanya luar biasa, senantiasa menggugah kangen hingga saat ini.

Juga jajanan khas itu yang terbuat dari aci kawung dibentuk bulat-bulat macam cincin gendut, merekah saat digoreng, kenyal-kenyal gurih. Namanya geblek.

Saat aku mengunjungimu selepas liputan tiga tahun ke belakang, kau menyuguhiku geblek itu dengan tempe goreng hangat. Secangkir teh 'nasgitel', panas legi tur kentel (panas, manis, dan kental) menyempurnakan jamuan itu. Kita ngobrol dengan merdeka tentang berbagai hal.

Tempo hari di WAG, kau menulis tentang kangen. Maafkan, tahun inipun aku absen berlebaran ke tempatmu. Namun aku akan terus ingat untuk memelukmu dalam doaku.

Wassalam, 

Adikmu

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun