Kota Kembang, 9 Mei 2021
Kepada Kakakku tersayang
di Desa Tempat Kakek-Nenek Dimakamkan
Assalamualaikum Warahmatullahi wa barokatuh,Â
Apa kabar, Kak?
Pastinya sepasang matamu masih menyipit kala senyummu merekah menjadi tawa yang lirih. Manis dan ramah.
Sejak kecil memang kau selalu sangat perempuan. Saat membantu mendiang Nenek memasak di dapur, hasil karyamu pasti dinilainya selalu lebih unggul dibanding punyaku. Aku sangat tidak keberatan karena hal itu membuatku tak perlu berlama-lama di ruang berlantai tanah dengan perapian tungku berbahan bakar kayu yang membuat pendatang dari kota sejuk sepertiku selalu kegerahan itu.
Pekarangan luas yang mengelilingi rumah kayu besar milik kakek-nenek kita yang rimbun dengan gerumbulan-gerumbulan tanaman hijau. Pohon-pohon kelapa dan jeruk Bali varietas tradisional tumbuh di berbagai penjuru menjadi peneduh. Gemerisik dedaunan mereka yang bergesekan saat tersentuh angin lewat menghadirkan rasa nyaman.
Kolam di seberang dapur tempat aneka ikan yang besar-besar berenang berseliweran ke sana-sini. Tampak jinak dan mengundang untuk ditangkap. Suatu ketika aku memutuskan menerima undangan itu dan nyemplung ke dalam aliran air kecoklatan untuk memburu mereka dengan tangan kosong. Gerak kakiku di dasar kolam yang berlumpur itu nyatanya tak selincah sirip-sirip mereka. Menyerah? Tak sudilah.
Lalu Nenek melongok dari pintu dapur, "Nanti ikannya pada matiii..!" Pekik berbau kejengkelan itu tentu saja membuatku tak punya pilihan selain naik ke darat dengan baju basah belepotan lumpur. Lantas aku menyadari sesuatu. Di ujung sana di atas kolam berdiri gagah semacam gubuk bambu tak beratap, tempat orang nongkrong buang hajat.
Sementara Kakek tak banyak cakap. Setelah mengimami shalat di masjid atau sepulang memberikan ceramah di berbagai tempat, biasanya dia akan berganti dengan baju santai favorit, kaos oblong putih polos dan sarung. Lalu duduk di ruang makan, asyik meracik tembakau-cengkeh untuk mengisi pipa cangklongnya.