Barangkali ada yang familiar dengan foto dokumentasi pribadi di atas karena salah satu di antaranya memang pernah wara-wiri di layar berbagai media elektronik maupun media cetak di akhir September tahun 2012 terkait dengan pemberitaan mengenai musibah meledaknya sebuah pesawat saat tengah melakukan akrobat udara di ajang Bandung Air Show tahun itu yang menewaskan pilotnya, Marsekal Madya TNI (Purn) dr Norman T Lubis, SpM.
Saya sungguh beruntung untuk perdana dan mungkin terakhir kalinya pernah mencicipi sensasi menumpang pesawat tipe mesin tunggal berkapasitas dua sampai tiga penumpang itu yang dikemudikan oleh Bang Norman, panggilan akrab perwira berbintang empat tersebut di kalangan terdekatnya. Momen yang tak terlupakan sampai saat ini. Â Â
Pertama kali bertemu dengan Bang Norman, yang merupakan salah seorang senior perintis Resimen Mahasiswa Mahawarman Batalyon II Universitas Padjadjaran (Unpad), pada bulan Juli 2011 dalam rangka wawancara untuk penulisan buku pertama saya 'Patriotisme & Dinamika Resimen Kampus'.Â
Saat itu saya ditemani Purti Amalia dan Rudi Oscar, pagi-pagi sekali kami sudah berada di hanggar Lanud Husein Sastranegara (Bandung). Bang Norman memang terkenal sangat disiplin untuk urusan waktu, terlambat sedikit saja maka peluang emas mewawancarai sosok flamboyan dan inspiratif yang penuh dedikasi pada tugasnya bisa menguap begitu saja.Â
Pada sesi wawancara Bang Norman bercerita banyak tentang peran serta anggota Menwa Mahawarman membela negara dalam konflik Indonesia-Malaysia tahun 1962-1966 yang dikenal sebagai Operasi Dwikora di era pemerintahan Presiden Sukarno.
Semua percakapan berlangsung padat, informatif, dan cepat karena Bang Norman pagi itu punya agenda untuk menerbangkan pesawat Bravo AS 202. Begitulah, sambil lalu beliau menawari barangkali ada yang mau ikut terbang. Purti dan Rudi menggeleng, sementara saya langsung menyambut antusias.
Setelah komunikasi singkat dengan petugas menara pengawas, pesawat perlahan bergerak maju menyusuri landasan sampai ke area yang menyerupai zebra cross lalu berbelok seratus delapan puluh derajat balik ke rute semula dengan kecepatan kian tinggi... blash! Kami pun take off.
Jalanan ramai, pemukiman nan padat, sungai, dan gunung kian mengecil bak negeri liliput. Mata pun beralih-alih dari hamparan tipis awan di langit biru, panorama nun jauh di bawah sana dan tertambat pada panel dashboard tua-lecek di hadapan kami.
Seorang teman pernah bilang, banyak pesawat di Indonesia -termasuk milik TNI/AU- yang sudah tidak layak terbang lagi. AS-202/18A3 yang kini kami tumpangi adalah satu dari 170 unit pesawat Bravo generasi awal yang dibuat oleh perusahaan Flug- und Fahrzeugwerke Altenrhein (Swiss) bekerjasama dengan Savoia-Marchett (Italia) dan bisa dibilang sudah ketinggalan jaman. Perlu pilot dengan jam terbang plus kecakapan mengemudi yang tinggi untuk menerbangkannya. Bang Norman jelas punya keduanya.
Saya sempat agak mual karena faktor perubahan tekanan udara di ketinggian, keringat pun bercucuran seiring kian garangnya sinar matahari yang menerobos masuk lewat kanopi di atas kepala, namun selebihnya melayang di cakrawala selama sekitar duapuluh menitan itu menyisakan perasaan sangat nyaman di hati. Apalagi saat kami mendarat kembali, Bang Norman menguak kanopi dan angin berhembus menerpakan kesegaran sampai perlahan pesawat berhenti sempurna di landasan.
Belakangan temanku berkomentar, "Gile lu, nekad banget mau terbang dengan pesawat penuh resiko begitu!" Hehehe, habis kapan lagi saya dapat tawaran mengasyikkan begitu? Rugi banget kalau dilewatkan.
Terakhir bertemu Bang Norman pada tanggal 3 September 2012, saat diminta mengantar pesanan buku 'Resimen Kampus' ke tempat praktek beliau sebagai dokter spesialis mata di kawasan jalan Sumatera (Bandung). Kami berdiskusi tentang banyak hal. Tentang negeri ini, sejarah korpsnya, arti sebuah dedikasi, dan bagaimana mengupayakan generasi muda untuk bisa mencintai negeri ini dengan lebih baik.
Di usia senja, agenda Bang Norman tetap padat dan dinamis. Menjalani profesinya sebagai dokter spesialis mata yang bereputasi bagus, tetap rajin menimba ilmu dengan mengikuti konferensi/ seminar seputar profesinya, mengikuti tanpa banyak bicara perkembangan Korps Menwa Mahawarman Jawa Barat yang telah berkontribusi pada pembentukan karakternya, dan tentu saja melakoni kegemarannya menerbangkan pesawat AS 202 Bravo setiap akhir minggu saat luang...
Sungguh sulit awalnya mempercayai bahwa pada di penghujung bulan yang sama (29/9/2012), saya akan akan menerima kabar dan menyaksikan liputan tentang kepergian beliau karena Bravo yang dikemudikannya meledak saat akrobatik di udara. Pesawat sama yang pernah saya tumpangi dan dipiloti beliau setahun sebelumnya.Â
Semoga Sang Khalik melapangkan barzakh mendiang Bang Norman seluas cakrawala yang selalu ingin diarunginya dengan segenap cinta. Aamiin allohumma aamiin.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H