Mohon tunggu...
Wahyuni Susilowati
Wahyuni Susilowati Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Jurnalis Independen

pengembaraan raga, penjelajahan jiwa, perjuangan menggali makna melalui rangkaian kata .... https://www.youtube.com/c/WahyuniSusilowatiPro

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Tidak Ada "Happy Ending" bagi Hong Kong

29 Mei 2020   19:35 Diperbarui: 29 Mei 2020   19:42 113
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Demo memperjuangkan status khusus masih berlangsung di Hong Kong (doc.Free Malaysia Today/ed.Wahyuni)

Rabu (27/5) lalu pemerintahan Donald Trump mengumumkan bahwa Amerika Serikat (AS) tidak lagi menganggap Hong Kong otonom dari China dan mengingat kebijakan Beijing yang semakin agresif di sana, bisa saja hal itu merupakan upaya untuk membuka jalan bagi Washington untuk melakukan pembalasan dan kemungkinan penyusunan kembali peta geografi ekonomi Asia secara dramatis (Foreign Policy,28 Mei 2020).

Hipotesa di atas cukup masuk akal mengingat deklarasi AS  dibuat sehari sebelum parlemen  China menyetujui undang-undang keamanan baru untuk wilayah semi-otonom pada hari Kamis yang memberi Beijing kekuatan luas untuk menghancurkan perbedaan pendapat di sana. Setelah lama lebih dari 20 tahun Hong Kong menikmati hak istimewa khusus, yang membedakannya dari wilayah daratan China, kini warganya harus siap untuk secara penuh mematuhi aturan rezim Partai Komunis China (PKC) yang kini berkuasa.

Selanjutnya deklarasi memicu dua pertanyaan besar, apakah pemerintahan Trump tengah berusaha menjadikan Hong Kong sebagai alat untuk menakan Beijing dan siapa yang pada akhirnya akan membayar harga untuk tindakan seperti itu?

Konon agresi China yang berkelanjutanlah yang mendorong pemerintah AS membuat deklarasi dengan tujuan mencegah Beijing merongrong status khusus Hong Kong. Utusan diplomatik utama Presiden AS Donald Trump untuk Asia Timur, David Stilwell, mengemukakan prospek visa atau sanksi ekonomi sebagai langkah berikutnya jika China tidak mengubah langkah. Meski, menurutnya, Departemen Luar Negeri "tidak terlalu berharap bahwa Beijing akan mundur dengan sukarela."

Keputusan tentang apa yang harus dilakukan selanjutnya sekarang berada di tangan Gedung Putih, dengan lebih banyak pengumuman diharapkan segera setelah Jumat, Beberapa pejabat mengatakan kepada CNN, bahwa semua masih menanti tindakan lanjutan dari Gedung Putih

Langkah-langkah tambahan bisa berupa mencabut hubungan perdagangan khusus Hong Kong dengan Amerika Serikat, termasuk mengenakan tarif yang lebih tinggi dan kontrol ekspor yang lebih keras, hingga menargetkan perannya sebagai jendela keuangan penting bagi Beijing.

Masa depan Hong Kong akan sebagian besar dibentuk oleh langkah-langkah AS dalam beberapa minggu mendatang dan tanggapan Beijing.

Hong Kong kini secara ekonomi tidak lagi begitu penting bagi Cina seperti ketika Inggris menyerahkan bekas koloni pada tahun 1997. Saat itu Hong Kong menyumbang lebih dari 16 persen bagi Produk Domestik Bruto China, sementara saat ini sudah jauh menurun menjadi kurang dari 3 persen.

Namun Hong Kong masih memiliki peran penting dalam memberikan bank dan perusahaan China akses ke pembiayaan dalam matauang dolar serta menjadi jalan  masuknya investasi asing ke Cina.

Peran terakhir inilah yang membuat Hong Kong berpotensi menjadi kelemahan  rezim China yang sangat membutuhkan stabilitas ekonomi untuk menopang dukungan politiknya.

"Jika Amerika Serikat ingin memastikan bahwa Beijing menderita, maka membatasi kemampuan Hong Kong untuk bertindak sebagai pusat keuangan global akan menjadi cara untuk melakukannya."Kata George Magnus, seorang pakar ekonomi China di Universitas Oxford,sebagaimana dirilis Foreign Police,"Saya tidak mengatakan itu akan menjadi hal yang baik tetapi jika anda berada dalam perang keuangan, itulah cara untuk melakukannya."

Ahli lain percaya bahwa Amerika Serikat tidak berusaha menggunakan Hong Kong untuk membuka front baru dalam pertarungan melawan Beijing dan hanya berupaya untuk membantu mempertahankan kemerdekaan dan kebebasan relatif Hong Kong sebaik mungkin.

Bonnie Glaser dari Pusat Studi Strategis dan Internasional menyatakan, "Saya pikir ini sangat spesifik tentang (merespon sikap) China yang melanggar perjanjian." Dia merujuk pada perjanjian antara China dan Inggris Raya mengenai otoritas atas Hong Kong.

Amerika Serikat dan sekutu-sekutunya dapat mempengaruhi China untuk setidaknya menghancurkan cara negara itu menerapkan hukum barunya di Hong Kong, tambah Glaser,"Saya tidak berpikir ada akhir yang benar-benar bahagia (untuk Hong Kong)." Katanya,"Tapi (bisa jadi) ada kasus terburuk dan ada kasus kurang dari yang terburuk."

Namun masalah bagi AS adalah bahwa Hong Kong yang masih terjebak dalam baku tembak setelah satu tahun protes pro-demokrasi dan itu mengguncang stabilitas pulau sekaligus membuat banyak kalangan mempertanyakan kelayakannya sebagai pusat bisnis global. Beberapa analis percaya bahwa menyerang Beijing melalui Hong Kong masuk akal bagi Amerika Serikat, tentu saja dengan beberapa catatan.

"Pertanyaan besar yang akan dihadapi pemerintah (AS) adalah apakah ada titik manis yang memungkinkan mereka untuk memberikan tekanan yang cukup pada Partai Komunis China yang bisa menahan mereka bertindak keras terhadap Hong Kong, serta memastikan bahwa langkah-langkah itu melukai PKC dan bukan orang-orang Hong Kong."Papar Michael Fuchs, seorang rekanan senior di Center for American Progress dan mantan pejabat pemerintahan Obama yang fokus pada urusan Asia.

Perdagangan antara AS dan Hong Kong diperkirakan mencapai USD 38 miliar per tahun. Wilayah ini juga menampung sekitar 1.300 perusahaan AS, termasuk perwakilan hampir setiap lembaga keuangan utama. Departemen Luar Negeri juga memperkirakan bahwa 85.000 warga AS tinggal di Hong Kong.

Tetapi mungkin sebenarnya sudah terlambat bagi AS untuk menyelamatkan status Hong Kong baik sebagai pusat keuangan atau pulau kebebasan di China. Undang-undang baru keamanan China yang masih membutuhkan penerapan untuk pemberlakuannnya telah membuat Hong Kong tidak bisa lagi dipertahankan sebagai pusat perdagangan dan keuangan global walau tanpa campur tangan AS.

"Orang-orang akan pergi, perusahaan akan memindahkan kantor pusat mereka ke tempat lain, mungkin ke Singapura atau tempat lain."Kata Robert Manning, seorang ahli masalah keamanan Asia di Dewan Atlantik, "Apa yang dilakukan AS mungkin mempercepat hal itu dan apapun hasilnya, Hong Kong tidak akan menjadi Hong Kong (seperti sebelumnya) lagi."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun