Kekuasaan memang sangat menggiurkan bahkan bisa memabukkan siapa saja dalam situasi-kondisi apapun, termasuk di Afghanistan yang selalu ramai dengan perang antar kelompok dengan mengusung kepentingan masing-masing.
Kesepakatan AS-Taliban yang ditandatangani lebih dari seminggu yang lalu disebut-sebut sebagai upaya Washington untuk mengakhiri 18 tahun perang di Afghanistan dan dipandang oleh banyak warga Afghanistan sebagai peluang terbaik untuk mengakhiri perang tanpa henti; namun justru menjadi awal pertikaian baru antara Presiden Ashraf Ghani, yang dinyatakan sebagai pemenang pemilihan September lalu, dan saingannya Abdullah Abdullah, yang menuduh kecurangan dalam pemungutan suara tersebut (Associated Press/AP, 9 Maret 2020).
Kekonyolan politik pun terjadi pada Senin (9/3) lalu saat keduanya menjalani pelantikan sebagai Presiden Afghanistan di tempat terpisah, Ghani di istana presiden dan Abdullah melakoninya tak jauh dari situ di Istana Sapedar dengan dihadiri oleh kubu pendukung masing-masing.
Keduanya mengacaukan rencana negoisasi dengan Taliban dan menciptakan dilema bagi AS ketika negara itu tengah mencari cara untuk mencapai kemajuan dalam kesepakatan damai dengan Taliban.Â
Langkah Ghani dan Abdullah berpotensi menghancurkan tahapan-tahapan diplomatik baru yang tengah dibangun serta beresiko memicu kekerasan baru.
Dentum ledakan roket yang, entah siapa penembaknya, menghantam istana kepresidenan terdengar saat Ghani tengah menyampaikan pidato ucapan terima kasihnya dan dia spontan berupaya menenangkan hadirin dengan mengangkat tangan seraya berkata,"Kita telah melihat serangan yang lebih besar, jangan takut hanya oleh dua ledakan."
Upacara pelantikan Ghani yang disiarkan oleh televisi pemerintah itu dihadiri oleh utusan perdamaian Washington Zalmay Khalilzad, Jenderal Austin S. Miller, kepala pasukan AS di Afghanistan, serta sejumlah pejabat asing termasuk kuasa hukum Kedutaan Besar AS dan Tadamichi Yamamoto, perwakilan pribadi Sekretaris Jenderal PBB untuk Afghanistan.
Sementara pelantikan Abdullah yang ditayangkan oleh televisi swasta Tolo dihadiri oleh mereka yang disebut komandan jihad yang berpartisipasi dalam perang saudara yang brutal pada 1990-an dan mereka yang bersekutu dengan koalisi pimpinan AS untuk menggulingkan Taliban pada 2001.
Kedua kandidat, terutama Abdullah, didukung oleh panglima perang dengan milisi bersenjata lengkap yang memperbesar kekhawatiran bahwa sewaktu-waktu kekuatan militer bisa digunakan untuk mendukung kandidat mereka.Â
Kedua rival politik yang telah mengklaim diri sebagai presiden itu masing-masing memiliki potensi untuk memecah dan melemahkan institusi Afghanistan yang rapuh, termasuk militernya, jika menuntut otoritas mereka diakui.
Setelah Washington dan gerilyawan Taliban menandatangani kesepakatan mereka pada 29 Februari 2020, langkah penting berikutnya adalah pembicaraan antar berbagai elemen Afghanistan di mana semua faksi termasuk Taliban akan menegosiasikan peta jalan untuk masa depan negara mereka.Â
Mereka mencari untuk menuntaskan masalah pelik seperti hak-hak perempuan, kebebasan berbicara dan nasib puluhan ribu pria bersenjata di kedua sisi perang 18 tahun. Negosiasi itu rencananya akan diadakan Selasa depan di Oslo, tetapi kekacauan politik di Kabul membuatnya nyaris mustahil.
Pelantikan presiden ganda tetap terjadi meskipun utusan khusus perdamaian AS Khalizad sudah berupaya keras bolak-balik melobi kedua kubu sampai detik-detik terakhir di Senin dinihari.Â
Dia meminta kedua belah pihak untuk menunda pelantikan selama tiga hari untuk mengurai kebuntuan diplomasi. Kabarnya Abdullah mengatakan siap menunda asalkan Ghani juga melakukannya.
Juru bicara Taliban Zabihullah Mujahed, dalam menanggapi pertanyaan dari Associated Press, mengatakan Minggu malam bahwa Taliban masih berkomitmen untuk kesepakatan damai namun menegaskan bahwa pelantikan presiden ganda "tidak baik untuk bangsa Afghanistan."
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H