Ada tren baru yang sangat menyegarkan di kancah pendidikan tinggi Indonesia; yaitu diangkatnya para rektor perempuan untuk memimpin sejumlah perguruan tinggi terkemuka baik negeri maupun swasta.
Sebut saja Amany Burhanuddin Lubis yang dilantik Menteri Agama (Menag) pada Senin (7/1) menjadi Rektor Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta periode 2019-2024, Inayatillah yang dilantik oleh Menag juga di hari yang sama untuk menduduki posisi setara rektor sebagai Ketua Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Tengku Dirundeng Meulaboh periode 2019-2023, Rina Indiastuti belum lama ini terpilih sebagai rektor perempuan pertama Universitas Padjadjaran (Unpad) yang akan menahkodai perguruan tinggi itu untuk periode 2019-2024, dan ITB pun mendapatkan rektor perempuan pertamanya dengan terpilihnya Reini Wirahadikusumah untuk periode yang sama.
Sementara itu masih ada Dwia Aries Tina Pulubuhu yang menjadi rektor pertama Universitas Hasanuddin (Unhas) Makasar yang masa jabatannya berakhir tahun ini, AA Raka Sudewi yang dipercaya memimpin Universitas Udayana (Unud) Bali untuk periode 2017-2021, dan jangan lupakan Risa Santoso (27) yang belum lama berselang dilantik sebagai Rektor Institut Teknologi dan Bisnis ASIA Malang serta merupakan rektor termuda di Indonesia saat ini yang sosoknya tengah hits di jagad internet.
Sebenarnya tokoh-tokoh perempuan yang kiprahnya begitu luar biasa dalam mengedukasi bangsa ini dapat kita temukan juga nun jauh di masa silam dalam lembaran sejarah pertumbuhan Indonesia. Salah satunya adalah Syaikhah Hajjah Rangkayo Rahmah El-Yunusiyah (29 Desember 1900 -- 26 Februari 1969) asal Padang Panjang,Sumatera Barat.
Rahmah El Yunusiyah mengenyam pendidikan di sekolah milik kakak sulungnya Zaenuddin Labay, Â yaitu Diniyah School yang merupakan sekolah agama dengan sistem koedukasi dimana siswa laki-laki dan perempuan dicampur dalam ruang kelas yang sama (tirto.id, 20 Mei 2019). Â Saat itu sedikit sekali perempuan yang belajar di sekolah.
Di sekolah milik kakaknya itulah Rahmah menangkap adanya ketidaksetaraan. Diskusi kelas didominasi para lelaki; guru yang semuanya laki-laki dan murid yang sebagian besar juga laki-laki. Murid perempuan kesulitan mendapatkan penjelasan agama secara mendalam tentang fikih yang berkaitan dengan perempuan. Selain karena tidak dibahas oleh para guru, murid perempuan pun malu bertanya. Kondisi semacam itulah yang menumbuhkan tekadnya untuk mendirikan sekolah khusus untuk perempuan.
Perjuangan Rahmah untuk mengedukasi kaum ibu melalui pendirian  Diniyyah School Putri (DSP,Sekolah Keagamaan Putri) pada 1 November tahun 1923 telah menginspirasi banyak kalangan pendidikan di berbagai negara untuk mengikuti jejaknya, termasuk jajaran pengelola Universitas Al-Azhar Kairo, Mesir (MerahPutih Nasional, 17 April 2016).
DSP merupakan sebuah langkah maju dalam pendidikan muslimah di Indonesia bahkan di dunia karena sekolah yang digagas oleh Rahmah El Yunusiyah ini tidak hanya memberikan pelajaran agama maupun umum, tetapi juga mengajarkan berbagai keterampilan yang diperlukan oleh seorang muslimah sebagai ibu yang mandiri (Dakwatuna.com, 30 April 2013).
Hamruni dalam tulisan berjudul 'Pendidikan Perempuan dalam Pemikiran Rahmah El Yunusiyah', dimuat dalam Jurnal Kependidikan Islam Vol 2 tahun 2004, Â mengatakan bahwa Rahmah menilai perempuan punya peran penting dalam kehidupan.
Bagi Rahmah, perempuan adalah pendidik anak yang akan mengendalikan jalur kehidupan mereka selanjutnya sehingga perlu ada upaya untuk meningkatkan kemampuan kaum perempuan, baik di bidang intelektual maupun kepribadian. Diapun meyakini bahwa peran-peran domestik tak bisa dilepaskan dari perempuan dan memasukkan keterampilan rumah tangga ke dalam kurikulum sekolahnya, seperti memasak dan menjahit.
Keteguhan hati Rahmah dalam mengelola sekolahnya diuji saat abangnya berpulang pada tahun 1924 disusul dua tahun kemudian, tepatnya 28 Juni 1926, gempa dahsyat mengguncang Padang Panjang serta meruntuhkan gedung-gedung asrama DSP. Rahmah pun bergerak cepat mencari bantuan dana untuk membangun kembali sekolahnya bahkan, menurut catatan Hamka, dia sampai berangkat ke Malaysia menemui para sultan di sana untuk mengajukan permohonan bantuan (tirto.id, 20 Mei 2019). Pada tahun 1928, DSP memiliki 200 siswa dan bertambah seratus persen pada 1935.
Rektor Universitas Al-Azhar Abdurrahman Taj beserta jajarannya berkunjung ke DSP pada 1955 tertarik dengan sistem pembelajaran khusus yang diterapkan disana dan mengakui bahwa kurikulum pendidikan perempuan Al-Azhar dan Mesir secara umum masih tertinggal jauh dari sekolah milik Rahmah tersebut.  Selanjutnya mereka menobatkan Rahmah sebagai Syaikhah (Guru Besar Wanita) pertama dari Universitas Al-Azhar pada tahun 1957 dan mendirikan Kuliyyatul-Lil-Banat (kampus Al-Azhar khusus putri) yang dirancang berdasarkan kurikulum DSP pada tahun 1962.
DSP yang didirikan Rahmah El Yunusiyah masih terus berkembang hingga saat ini menjadi sebuah sekolah khusus putri yang diidamkan para orangtua sebagai wadah pendidikan bagi anak-anak perempuan mereka agar menjadi generasi muslimah yang tangguh serta berbahagia di dunia dan di akhirat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H