Mohon tunggu...
Wahyuni Susilowati
Wahyuni Susilowati Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Jurnalis Independen

pengembaraan raga, penjelajahan jiwa, perjuangan menggali makna melalui rangkaian kata .... https://www.youtube.com/c/WahyuniSusilowatiPro

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Mantera Alifbata Sutardji Calzoum Bachri

17 Oktober 2016   09:35 Diperbarui: 17 Oktober 2016   09:44 324
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sutardji adalah magma yang sederhana dalam keseharian (dok WS)

dukaku dukakau dukarisau dukakalian dukangiau/

resahku resahkau resahrisau resahbalau resahkalian/

raguku ragukau raguguru ragutahu ragukalian/

mauku maukau mautahu mausampai maukalian maukenal maugapai/

siasiaku siasiakau siasia siabalau siarisau siakalian siasia/

waswasku waswaskau waswaskalian waswaswaswaswaswaswaswas/

duhaiku duhaikau duhairindu duhaingilu duhaikalian duhaisangsai/

oku okau okosong orindu okalian obolong  orisau oKau O …

( Puisi ‘ O ‘ / Sutardji Calzoum Bachri, 1966-1973)

‘O’ adalah pengertian yang dalam akan sesuatu setelah menapaki fase-fase kesedihan, kebimbangan, rasa tercampakkan, kecemasan, keinginan berjumpa yang mencekam pada sesuatu yang belum jelas, yang coba dicari pada sekeliling namun hanya kehampaan yang dijumpa sebelum akhirnya kembali pada rasa kangen dan resah yang mempertemukan dengan kesadaran akan keberadaan ‘Kau’. Semua menggunakan huruf kecil kecuali pada kata ‘Kau’ dan  O’ di baris  penghabisan  ditutup rangkaian titik yang mengisyaratkan bahwa itu belum selesai. Perjalanan memang belum berakhir bagi Sutardji Calzoum Bachri (75).

Dalam suratnya kepada HB Jassin, Chairil Anwar mengemukakan bahwa ia ingin mengorek arti kata sampai kepada intinya. Sebetulnya yang dicapainya adalah kelantangan ungkapan yang mempunyai vitalitas penuh, akan tetapi pengorekan inti kata seperti yang dimaksudkannya, sebetulnya baru berhasil dicapai oleh Sutardji …’ Pernyataan pelukis Drs Popo Iskandar itu tercetak rapi di jilid belakang buku kumpulan puisi Sutardji yang bertajuk O Amuk Kapak(terbitan Penerbit Sinar Harapan, 1981)

Sutardji yang akrab dipanggil Om Tardji itu memang pernah ‘diramal’ sewaktu kecil akan menjadi ‘seperti’ Chairil, pelopor kesusastraan Angkatan’45  yang melegenda dengan idiom ‘aku binatang jalang’nya tersebut. Sempat sangat terkenal dengan julukan Penyair Bir, mengacu pada kebiasaannya menenggak berbotol-botol bir sampai mabuk untuk mencapai tranceagar bisa lepas membacakan puisi-puisinya di pentas. Kepompong waktu  lebih dari dua dekade menuntunnya untuk bermetamorfosa menjadi Penyair Zikir sampai saat ini.

Mimik garang terkesan lantang menyuarakan puisi-pusinya dan gestur semau gue bahkan nyaris telanjang yang terekam dalam foto-foto lawas performa Om Tardji tak nampak sama sekali saat saya mengobrol dengannya di salah satu kafe di Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta, malam (30/9) itu.Bang Ane Matahari, pentolan komunitas Sastra Kalimalang yang getol menularkan virus memelodikan puisi, sangat berjasa dalam mempertemukan kami.

………………………………………………………………………………………………………

kucing meronta dalam darahku meraung/

merambah barah darahku dia lapar O a/

langkah lapar ngiau berapa juta hari/

dia tak makan berapa ribu waktu dia/

tak kenyang berapa juta lapar lapar ku/

cingku berapa abad dia menca/

kar menunggu

( Puisi ‘Amuk’ / Sutardji Calzoum Bachri, 1973-1976)

Obrolan Om Tardji, Bang Ane, lalu ada Om Muin yang bergabung belakangan memang mengasyikkan untuk disimak. Tentang botol-botol bir yang dibilang sang penyair menjadi penghantarnya pada trance saat membacakan puisi-puisinya yang teramat memanjakan kata-kata hingga bahkan sebuah huruf saja pun bisa bebas menampilkan maknanya sendiri,”Masih muda waktu itu, kurang pede, …” Tuturnya menjelaskan kebutuhan akan mabuk agar lebih leluasa berekspresi. Termasuk saat didaulat tampil membawakan acara dalam momen perayaan ulang tahun ke-10 majalah Horison di tahun 1976, Sutardji muda yang seperti biasa telerberat dengan garang-lantangnya menyuarakan puisi sambil … melepas satu-per satu busana yang dikenakan sampai hanya tinggal celana dalam  yang melekat di badannya !

semua orang membawa kapak/

semua orangbergerak pergi/

menuju langit/

semua orang bersiapsiap nekad/

kalau tak sampai langit/

mengapa tak ditebang saja/

mereka bilang

…………………………………………………………………………………………………………………..

( Puisi ‘Kapak’ / Sutardji Calzoum Bachri, 1977)

Akhirnya untuk pertama kali, saya menyaksikan Om Tardji naik pentas bareng komunitas Sastra Kalimalang dalam event‘Malam Sastra Persada’ yang digelar oleh PKBM ‘Tamansari Persada’ di kampus mereka di kawasan Jatibening Baru, Bekasi, beberapa waktu (8/10) lalu. Puluhan penonton dari berbagai latar mulai jurnalis muda, anak sekolah, seniman, dan fanssejatinya berjibakumenembus hujan memadati ruang pentas.

Mantera yang mengikat ruh ... (dok WS)
Mantera yang mengikat ruh ... (dok WS)
“…Dan di antara semua bacaan itu : Buku pelajaran, komik, majalah dan surat kabar; yang paling menohok, paling tajam menukik sekaligus paling menjulang adalah Sutardji Calzoum Bachri !” Tulis Agus Basuki Yanuar, salah satu  penggemar berat sekaligus penggagas ‘Malam Sastra Persada’ itu dalam pesan Whatsapp-nya beberapa waktu lalu,”Bukan hanya sajaknya yang bernas, hidup, berjiwa dan multi tafsir; tapi yangmembedakan dirinya dengan penyair lainnya adalah Kredo Puisi-nya yang mengembalikan  ‘kata’ kepada ‘mantera’. Di kelas 4 SD saya tergetar mencerna sajak-sajaknya…. “

Duduk santai bersandar, meniup harmonika yang disahuti petikan gitar Bang Ane dan instrumen lain yang dipegang kelompok musik Sastra Kalimalang lalu bergemalah dalam ritme dinamis santai lagu-lagu lawas berbahasa Inggris, Melayu, bahkan Spanyol yang dinyanyikan  bersama atau instrumentalia saja berselang-seling dengan obrolan atau seloroh bahkan tawa  menjadi latar bagi Om Tardji membawakan puisi-puisinya.  Dia duduk tegak membaca puisi-puisi yang ditulis besar-besar pada berkas kertas dalam genggamannya, lantas berdiri, dia bahkan berjoget, berdiri dengan gaya orator. Kata-kata disuarakan berirama seperti merapal mantera. Memukau. Mengikat. Menawan.

………………………………………………………………………………………………………

tujuh puncak membilang bilang/

nyeri hari mengucap ucap/

di butir pasir kutulis rindu rindu/

walau huruf habislah sudah/

alifbataku belum sebatas allah/

(Puisi ‘Walau’ / Sutardji Calzoum Bachri, 1979)

Bang Ane berkisah tentang Magrib-Isya yang intens dihabiskan Om Tardji di mesjid dekat rumahnya. Tentang air mata yang tumpah tercurah saat shalat,”Waktu itu Om Tardji mengimami saya dan dia nangis sampai gemetaran … “.

‘Menghayati kematian sebelum  mati, itulah yang saya tampilkan dalam banyak sajak saya. Maka imaji-imaji kubur banyak dijumpai dalam sajak-sajak saya yang terbaru, sesuatu yang tidak diketemukan dalam kumpulan O atau Amuk…” Tulis Om Tardji dalam pengantar kumpulan puisinya yang berjudul Kapak, masih dari buku kompilasi yang sama.

daging/

coba bilang/

bagaimana arwah masuk badan/

bagaimana tuhan/

dalam denyutmu/

…………………………………………………………………………………………………………………..

(Puisi ‘Daging’ / Sutardji Calzoum Bachri, 1979)

Buat Wahyuni Susilowati : Jangan lupa Allah !’ Tulis Om Tardji dalam buku O Amuk Kapakyang dihadiahkan pada saya dan ditandatanganinya usai pementasan teatrikal berdurasi sekitar dua jam itu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun