Mohon tunggu...
Wahyuni Susilowati
Wahyuni Susilowati Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Jurnalis Independen

pengembaraan raga, penjelajahan jiwa, perjuangan menggali makna melalui rangkaian kata .... https://www.youtube.com/c/WahyuniSusilowatiPro

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Mantera Alifbata Sutardji Calzoum Bachri

17 Oktober 2016   09:35 Diperbarui: 17 Oktober 2016   09:44 324
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sutardji adalah magma yang sederhana dalam keseharian (dok WS)

Akhirnya untuk pertama kali, saya menyaksikan Om Tardji naik pentas bareng komunitas Sastra Kalimalang dalam event‘Malam Sastra Persada’ yang digelar oleh PKBM ‘Tamansari Persada’ di kampus mereka di kawasan Jatibening Baru, Bekasi, beberapa waktu (8/10) lalu. Puluhan penonton dari berbagai latar mulai jurnalis muda, anak sekolah, seniman, dan fanssejatinya berjibakumenembus hujan memadati ruang pentas.

Mantera yang mengikat ruh ... (dok WS)
Mantera yang mengikat ruh ... (dok WS)
“…Dan di antara semua bacaan itu : Buku pelajaran, komik, majalah dan surat kabar; yang paling menohok, paling tajam menukik sekaligus paling menjulang adalah Sutardji Calzoum Bachri !” Tulis Agus Basuki Yanuar, salah satu  penggemar berat sekaligus penggagas ‘Malam Sastra Persada’ itu dalam pesan Whatsapp-nya beberapa waktu lalu,”Bukan hanya sajaknya yang bernas, hidup, berjiwa dan multi tafsir; tapi yangmembedakan dirinya dengan penyair lainnya adalah Kredo Puisi-nya yang mengembalikan  ‘kata’ kepada ‘mantera’. Di kelas 4 SD saya tergetar mencerna sajak-sajaknya…. “

Duduk santai bersandar, meniup harmonika yang disahuti petikan gitar Bang Ane dan instrumen lain yang dipegang kelompok musik Sastra Kalimalang lalu bergemalah dalam ritme dinamis santai lagu-lagu lawas berbahasa Inggris, Melayu, bahkan Spanyol yang dinyanyikan  bersama atau instrumentalia saja berselang-seling dengan obrolan atau seloroh bahkan tawa  menjadi latar bagi Om Tardji membawakan puisi-puisinya.  Dia duduk tegak membaca puisi-puisi yang ditulis besar-besar pada berkas kertas dalam genggamannya, lantas berdiri, dia bahkan berjoget, berdiri dengan gaya orator. Kata-kata disuarakan berirama seperti merapal mantera. Memukau. Mengikat. Menawan.

………………………………………………………………………………………………………

tujuh puncak membilang bilang/

nyeri hari mengucap ucap/

di butir pasir kutulis rindu rindu/

walau huruf habislah sudah/

alifbataku belum sebatas allah/

(Puisi ‘Walau’ / Sutardji Calzoum Bachri, 1979)

Bang Ane berkisah tentang Magrib-Isya yang intens dihabiskan Om Tardji di mesjid dekat rumahnya. Tentang air mata yang tumpah tercurah saat shalat,”Waktu itu Om Tardji mengimami saya dan dia nangis sampai gemetaran … “.

‘Menghayati kematian sebelum  mati, itulah yang saya tampilkan dalam banyak sajak saya. Maka imaji-imaji kubur banyak dijumpai dalam sajak-sajak saya yang terbaru, sesuatu yang tidak diketemukan dalam kumpulan O atau Amuk…” Tulis Om Tardji dalam pengantar kumpulan puisinya yang berjudul Kapak, masih dari buku kompilasi yang sama.

daging/

coba bilang/

bagaimana arwah masuk badan/

bagaimana tuhan/

dalam denyutmu/

…………………………………………………………………………………………………………………..

(Puisi ‘Daging’ / Sutardji Calzoum Bachri, 1979)

Buat Wahyuni Susilowati : Jangan lupa Allah !’ Tulis Om Tardji dalam buku O Amuk Kapakyang dihadiahkan pada saya dan ditandatanganinya usai pementasan teatrikal berdurasi sekitar dua jam itu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun