Seminggu sebelum lebaran, ibu memanggil Dudung, “Kita cari baju, yuk?”
“Sekarang?” Mata Dudung berbinar-binar.
“Tapi janji, ya, puasanya nggak boleh bocor,”
“Beres!”
Jadilah pagi itu Dudung dan ibunya pergi ke daerah pertokoan dengan berjalan kaki untuk menghemat ongkos. Pulangnya baru mereka akan naik mobil angkot.
Ternyata membeli baju itu tidak gampang. Sudah lima toserba mereka masuki sembari berjejalan dengan pengunjung lain tapi Dudung belum juga mendapatkan pakaian lebarannya. Baju-baju bagus memang melimpah tapi harganya jauh melebihi uang yang telah susah payah dikumpulkan ibu Dudung selama setengah bulan itu. Sementara anak itu mulai kelelahan dan tenggorokan keringnya mulai tergiur aneka minuman dingin yang dijajakan dimana-mana.
“Bu, minum dong!” Rengeknya.
Ibu cuma tersenyum dan menuntun Dudung ke tempat teduh lalu duduk melepas letih di undak-undak toko seperti yang dilakukan orang lainnya. Udara yang panas hari itu memang luar biasa menguji kesabaran tenggorokan yang kerontang.
“Sabar ya, Dung.” Dia mengelus kepala Dudung, “Kita coba cari di pasar, yuk?”
Lorong pasar yang becek ditambah bau sampah sayuran sisa serta dengung lalat hijau yang merubung tempat-tempat bekas berjualan daging ikan membuat Dudung semakin lemas. Akhirnya mereka tiba di sisi pasar tempat deretan penjual barang loakan memajang dagangannya. Ibu menggandeng tangan Dudung kearah sekerumunan orang yang terlihat sibuk memilih diantara tumpukan-tumpukan baju yang teronggok begitu saja di lantai pasar.
“Itu kan baju bekas?” Suara Dudung menahan kecewa.