Mohon tunggu...
Humaniora

Prostitusi di Negeri Kaum Beragama

2 Juli 2015   07:03 Diperbarui: 2 Juli 2015   07:03 1544
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Senin, 27 April 2015 yang lalu, Aiman Wicaksono dari Kompas TV melakukan penelusuran serius terhadap praktik prostitusi pasca penutupan Dolly oleh Walikota Surabaya, Risma. Faktanya teramat ironis dan mengerikan. Lebih dari 60 persen PSK yang dulu beroperasi secara legal di Gang Dolly, kini masih tetap melayani tamu. Padahal, dari hasil pendataan sebelum penutupan, ada lebih dari 1400-an PSK di sana. Bisa dibayangkan, berapa ratus kini PSK yang tetap menjajakan jasa esek-eseknya.

Bedanya, kini mereka buka praktik (melayani tamu) secara ilegal, artinya secara sembunyi-sembunyi. Namun, di sisi lain, mereka kini justru merasa lebih bebas dan mandiri. Bebas, artinya bisa kapan dan di mana pun bertransaksi, sesuai perjanjian dengan klien. Perjanjian itu bisa lewat perantara, atau langsung dengan PSK yang bersangkutan melalui telepon. Tempatnya bisa di hotel, penginapan, atau bisa juga langsung di kos-kosan si PSK (di kompleks Dolly atau di luar). Jika musti di hotel atau penginapan, harus ada tambahan biaya ngojek (utamanya bagi PSK) dan ongkos ngamar. Ini yang membuat biaya agak membengkak dibanding ketika Dolly belum tutup. Namun, yang menguntungkan para PSK, kini mereka mandiri, artinya bisa mengatur uang hasil kerjanya sendiri. Dulu, di Dolly, pengelolaan keuangan di tangan mucikari atau Mami. Ada potongan, sehingga pendapatannya kurang memuaskan. Kini, mereka bisa mendapatkan uang secara penuh dari para tamu, meski memang harus ada pengeluaran lain (ngojek, bayar hotel/penginapan, dll).

Sebenarnya, ketika penutupan Dolly itu, pemerintah memberi pesangon sebesar Rp 5 juta kepada setiap PSK, dengan harapan mereka bisa berhenti beroperasi dan membuka usaha lain. Tetapi, tentu saja uang sekecil itu jauh dari memadai untuk mewujudkan apa yang diharapkan pemerintah. Apalagi, mereka juga dilepas dan dibiarkan begitu saja. Tidak ada bimbingan atau arahan lebih lanjut, atau monitoring untuk benar-benar memastikan para PSK itu sudah tak lagi menerima tamu. Jadi, ketika faktanya mereka kini masih beroperasi secara ilegal, bahkan liar, ya harap maklum. Sebab, mereka terdesak kebutuhan yang kian tinggi saban hari, untuk anak-anak mereka, orangtua mereka di kampung, dst.

Dalam tayangan, Aiman berkunjung ke Yayasan Abdi Asih yang terletak tidak jauh dari Dolly. Menurut ketua yayasan, Titik Sulistyawati, Abdi Asih sudah berkiprah lebih dari 30 tahunan untuk mengentaskan para PSK Dolly agar bisa bermasyarakat dengan baik dan memulai usaha lain. Untuk proyek seperti itu, tidak satu dua hari jadi. Butuh bertahun-tahun. Harus ada bimbingan secara terus menerus sekian lama, tidak hanya dari aspek ketrampilan sesuai bakat dan minat masing-masing PSK, tetapi juga dari aspek sikap-mental, yakni perubahan mindset. Itulah yang selama ini dilakukan Abdi Asih dalam menangani PSK Dolly yang ingin keluar dan ganti profesi yang halal. Karena perannya yang nyata itu, ada seorang jurnalis Perancis yang memberi apresiasi, sehingga mau membantu operasional yayasan hingga kini. Yang aneh, masyarakat kita sendiri tidak ada yang peduli, atau setidaknya memerhatikan kiprah Abdi Asih. Pemerintah saja, pasca penutupan Dolly hingga hari ini, sama sekali tidak mengajak bicara Yayasan Abdi Asih. Padahal, yayasan seperti Abdi Asih ini mustinya diajak bicara, diajak bekerjasama, berkoordinasi, karena pengalaman mereka yang cukup lama, dan peran mereka yang nyata, dalam membina dan membimbing para PSK keluar dari Dolly dan memulai hidup baru.

 

Faktor Kemiskinan

Aiman mewawancarai beberapa PSK secara acak. Ada yang menarik, bahwa secara umum mereka beralasan pada satu hal kenapa mereka masih saja menerima tamu, menjajakan seks, yakni: kemiskinan. Rerata mereka bukanlah penduduk Surabaya atau Jawa Timur. Kebanyakan dari luar daerah, yang latar belakang keluarganya miskin. Di daerah asalnya, mereka tidak punya penghasilan yang memadai, pekerjaan tetap, untuk memenuhi kebutuhan keluarganya: makan, sandang, sekolah anak-anak, dan seterusnya. Mereka jadi PSK di Dolly, karena tuntutan ekonomi. Penghasilan sebagai PSK lumayan, setidaknya bisa mencukupi kebutuhan sehari-hari keluarga. Jika harus alih profesi lain, mereka minim dari segi ketrampilan dan modal. Memang terkesan klise, tetapi itulah pengakuan mereka.

Khusus tentang modal, misalnya, Aiman bertanya: Bukankah mereka sudah diberi pesangon 5 juta dari pemerintah? Mendapat pertanyaan itu, seorang PSK 55 tahun asal Yogya (tanpa disebut namanya) menjawab ringkas, “Mana cukup 5 juta untuk buka usaha?” Baginya, jumlah itu terlalu sedikit. Untuk merintis usaha, katakanlah membuka warung kelontong, uang 5 juta hanya untuk membuat tokonya. Sedangkan untuk belanja barang yang akan dijual, butuh modal lagi. Ia menaksir, setidaknya butuh Rp 25 juta untuk membuka usaha baru. Apa pemerintah sudi menggelontorkan uang sebanyak itu kepada tiap-tiap PSK? Tentu saja tidak. Maunya pemerintah hanya satu: Dolly bubar, sila cari pekerjaan lain, dan ini ada uang 5 juta sebagai modal. Padahal, masalah yang dihadapi para PSK sangat kompleks. Pun, tidak semua PSK mendapat pesangon tersebut. Di sisi lain, pemerintah juga tidak meneliti dan mencermati lebih jauh minat usaha masing-masing PSK, yang tentu berbeda satu sama lain. Tentang modal Rp 5 juta itu, pun tidak ada monitoring secara serius, apa benar-benar digunakan sesuai yang diharapkan, atau justru untuk keperluan lain. Begitulah, terkesan penanganannya serampangan dan tidak terukur, sehingga hasilnya pun jauh dari harapan. Maka lihatlah faktanya kini: para PSK Dolly masih tetap beroperasi. Sebabnya satu, para PSK itu rerata miksin. Mereka butuh makan, anak-anak mereka butuh sekolah dan uang jajan, orangtua mereka di kampung butuh kiriman uang untuk menyambung hidup. Apalagi yang bisa menjadi tumpuan, kecuali menerima tamu kembali?

 

PMS

Ada fakta yang membuat kita trenyuh dan miris ketika Aiman mewawancarai seorang PSK belia. Usianya baru 16 tahun, jadi masih di bawah umur. Daerah asalnya tidak jauh dari Surabaya, masih Jawa Timur yang jelas. Ia menjadi tulang punggung keluarga di kampung, yakni orangtua dan adik-adiknya. Ia tidak tahu harus alih profesi apa pasca penutupan Dolly. Ketrampilan ia tak punya, ijazah SMP pun tak ada. Sesatunya pekerjaan yang bisa mencukupi kebutuhan orangtua dan adik-adiknya, juga dirinya sendiri, adalah dengan tetap menjadi PSK.

Si PSK belia itu (tanpa disebutkan namanya), sudah kehilangan keperawanannya sejak dua tahun silam, yakni saat berusia 14 tahun, dampak pergaulan bebas (free sex). Setelah itu, ia menceburkan diri ke dunia gelap Dolly. Sejauh ini, karena pekerjaannya itu, ia sudah hamil dua kali, dan dua-duanya digugurkan dengan cara mengonsumsi obat anti hamil secara berlebihan. Kehamilan itu terjadi, tentu saja karena tidak ada pengaman saat melayani klien. Menurut pengakuannya, sebenarnya ia sudah menyarankan para kliennya agar memakai pengaman (baca: kondom), tetapi mereka menolak. Alasannya: mengurangi kenikmatan.

Yang mengejutkan, ternyata sejak setahun belakangan ini, ia sudah divonis dokter terjangkit HIV. Ia pun paham, bahwa itu sudah risiko dari pekerjaan yang digelutinya. Ia juga sadar bahwa karena virus mematikan yang kini menjangkiti tubuhnya itu, usianya jelas tidak akan lama lagi. Tetapi, ia bertekad, bahwa selagi ia masih kuat, selagi efek-efek buruk dari virus itu belum tampak, ia akan tetap menekuni profesi itu, karena itulah sesatunya jalan untuk menyambung hidupnya, juga demi menafkahi  orangtua dan adik-adiknya di desa.

Ia, katanya, tentu tak pernah berterus terang kepada para tamunya bahwa dirinya mengidap HIV. Sebab, hal itu jelas akan mematikan pasarannya. Hanya saja, ia tahu dan sadar betul tentang sifat virus dalam tubuhnya itu, yakni menyebar melalui hubungan seks. Maka ia selalu menyarankan kepada klien, agar memakain pengaman (kondom). Tetapi, dari sekian puluh tamu, atau bisa jadi ratusan, yang menggunakan jasanya, tidak ada satu pun yang mau menerima sarannya agar memakai pengaman.

Dari pengakuan sang PSK belia itu kepada Aiman, sekarang kita bisa bayangkan, betapa mengerikan dampak yang akan timbul di kemudian hari. Bayangkan saja para klien si PSK belia itu adalah para suami yang istri-istrinya masih produktif di rumah. Ketika pulang, lalu berhubungan seks (kali ini secara sah), mereka bukan saja menularkan virus mematikan itu kepada istri-istri mereka, tetapi mungkin juga kepada anak-anak yang akan dilahirkan. Fenomena semacam inilah yang menjelaskan kepada kita, kenapa dalam grafik angka penyebaran HIV/AIDS di daerah mana pun di Indonesia, distribusi terbesar selalu di kalangan ibu rumah tangga (IRT). Jika direnungkan lebih jauh, bukannya ini sama saja pembunuhan massal secara pelan-pelan?

 

Kaum Beragama, Reaktif Tanpa Solusi

Ketika Walikota Risma berniat membubarkan prostitusi Dolly, kalangan yang paling mendukung adalah kaum beragama. Begitupun ketika Dolly benar-benar ditutup, yang paling merasa bangga dan gembira adalah kaum beragama. Di media cetak, di media online (media sosial seperti Facebook dan sejenisnya), bahkan sampai sekarang masih berseliweran pernyataan apresiasi kepada Risma dari kalangan kaum beragama. Mereka menahbiskan beliau sebagai walikota terbaik, karena berani memberantas maksiat.

Kaum beragama, ketika menentang prostitusi, selalu bertolak dari argumen moral dan keagamaan. Prostitusi atau pelacuran itu bertentangan dengan nilai-nilai moral universal. Orang Jawa mengatakan, pelacuran itu salah satu jenis dari malima (mateni, madon, madat, maling, main) yang harus dijauhi, karena merusak sendi-sendi sosial. Secara keagamaan (Islam), prostitusi atau pelacuran adalah zina, perbuatan fahisyah (kotor) yang dampak merusaknya bukan hanya pada si pelaku dan keluarga, tetapi juga ke masyarakat luas. Itulah kenapa, manusia dilarang mendekati zina (wala taqrabu al-zina).

Sayangnya, penentangan keras dari kaum beragama itu seringkali hanya bersifat reaktif non-solutif. Dalam arti, mereka menentang, mereka menuntut pemberantasan, penutupan, tetapi tidak memberi solusi yang konkret setelah itu, terutama menyangkut nasib para PSK yang sekian lama ini menggantungkan hidupnya dari dunia prostitusi. Kaum beragama tidak mau tahu apa pun dampaknya, persetan lah. Yang mereka tahu pokoknya satu saja: lokalisasi prostitusi tutup, bubar! Setelah tutup, tentang nasib para PSK-nya, biar saja urusan masing-masing. Mau telantar, mau kelaparan, mau mati, ya urusan mereka sendiri.

Pendekatan yang reaktif dan tanpa solusi, biasanya, bahkan acap kali, tidak akan membawa dampak atau perubahan apa pun, kecuali satu hal saja: menambah masalah baru. Contohnya adalah seperti fakta yang terpapar di atas. Dua masalah baru muncul. Pertama: kegiatan prostitusi bukannya terhenti, tetapi tetap saja beroperasi, meski kali ini secara “ilegal”. Walaupun, seperti temuan Aiman, hanya sekitar 70%, ini jelas bukan angka yang remeh, karena lebih dari separuh. Di sisi lain, ironisnya, karena “ilegal” dan tidak terpantau dengan baik, potensinya untuk menaikkan angka penyebaran penyakit menular (IMS, terutama HIV/AIDS) sangat besar. Sekarang jika dibuat skala perbandingan, besar manakah madarat (dampak buruk) yang ditimbulkan antara prostitusi yang terlokalisir dengan ancaman HIV/AIDS sebagai akibat ditutupnya lokalisasi?

Jelas, madaratnya lebih besar yang kedua, karena ujung dari HIV/AIDS adalah vonis mati. Lokalisasi memang menimbulkan masalah, seperti dekadensi moral, pelanggaran norma agama (zina, selingkuh), dsb. Tetapi, ia adalah pilihan terbaik di antara yang buruk, karena bisa meminimalisir dampak mafsadat yang diakibatkan seandainya tidak ada lokalisasi: penyebaran penyakit seksual yang mematikan. Dalam kaidah hukum Islam, perlindungan jiwa (hifzh al-nafs) itu termasuk kemaslahatan asasi yang harus diutamakan di atas kemaslahatan-kemaslahatan yang lain. Ini dengan kata lain, penutupan lokalisasi di satu sisi mungkin menyelesaikan persoalan moral, persoalan keagamaan, tetapi di sisi lain juga berkontribusi dalam melahirkan masalah baru yang tidak kalah mengerikan, yakni pemusnahan generasi (terutama ibu dan anak-anak) secara pelan namun pasti. Sekarang kita bertanya-tanya, apakah kebijakan kita, tindakan kita, yang secara tidak langsung ikut menyokong pemusnahan generasi bangsa (kaum ibu dan anak-anak) secara pelan namun pasti itu termasuk hal yang bertentangan dengan nilai moral atau agama?

Jika menilik wawasan agama, kondisi seperti ini sejatinya masuk kategori darurat, yang memungkinkan kita untuk mengabaikan suatu hukum (aturan) tertentu dan berpaling pada hukum (aturan) lain—meskipun berlawanan secara kontras—yang lebih menjamin kemaslahatan. Kasusnya mirip dengan soal halal-haram makanan. Darah atau bangkai, misalnya, dalam kondisi normal adalah haram mutlak. Tetapi, dalam situasi darurat, misalnya tidak ada makanan halal yang bisa dimakan, keduanya menjadi halal. Tujuannya sama, yakni demi menjamin kemaslahatan yang lebih besar. Membiarkan diri kita mati kelaparan sama saja bunuh diri, dan dosa bunuh diri lebih besar daripada sekadar makan barang haram.

Karena itulah, dalam fikih (hukum Islam) kita mengenal kaidah: al-dlaruratu tubih al-mahdzurat, bahwa kondisi darurat membolehkan kita untuk melakukan hal-hal yang terlarang (haram), asal dengan tujuan untuk menjaga kemaslahatan yang lebih besar. Penyebaran HIV/AIDS adalah kondisi darurat. Meski pelacuran (prostitusi) secara normatif adalah haram, tetapi ketentuan ini bisa diabaikan demi menjaga kepentingan yang lebih besar, yakni kelangsungan hidup para ibu dan masa depan generasi umat. Fikih juga mengenal kaidah syadz al-dzara’i, yakni prinsip untuk mencegah terjadinya hal-hal yang buruk, yang akan menimbulkan kemafsadatan bagi umat. Lokalisasi adalah cara yang urgens dan terbaik—dari yang buruk—untuk mencegah penyebaran HIV/AIDS kepada para ibu rumah tangga dan anak-anak yang mereka kandung. Terakhir, fikih juga mengenal kaidah—yang dijumput dari perkataan Nabi SAW sendiri: la dlarara wala dlirar, bahwa sesuatu dikatakan mengandung kemaslahatan jika ia tidak bersifat buruk, artinya: baik, serta tidak melahirkan keburukan sesudahnya. Penutupan lokalisasi memang baik, tidak mengandung keburukan (la dlarar), tetapi pada tataran lanjutnya akan mendampakkan keburukan (dlirar) secara masif, yakni penyebaran HIV/AIDS secara lebih cepat.

 Kedua, ancaman kemiskinan. Penutupan lokalisasi memang menyelesaikan satu hal, yakni, lagi-lagi, masalah moral. Meskipun, itu sebenarnya secara lahiriahnya saja. Praktiknya, pelacuran masih saja berjalan secara “ilegal”. Sehingga, bisa dikatakan, penurunan angka pelanggaran moralnya hanya sekian persen saja. Tetapi, okelah jika dikatakan bahwa itu menyelesaikan persoalan moral. Hanya saja, persoalan lain muncul: kemiskinan. Sebelum penutupan, kaum PSK memiliki penghasilan tetap dan lumayan dari tamu-tamu yang datang. Ketika lokalisasi ditutup, mereka tidak punya pekerjaan dan kembali jatuh miskin. Ini sesungguhnya tidak akan terjadi jika baik pemerintah ataupun kaum beragama (yang reaktifnya bukan main itu) menyiapkan solusinya yang riil dan komprehensif ketika nanti para PSK kehilangan mata pencariannya, bukan solusi yang sekadarnya dan asal-asalan. Faktanya, seperti terungkap dalam penelurusan Aiman di atas, pemerintah daerah mana pun tidak memiliki program atau solusi yang serius dan terukur pasca penutupan lokalisasi. Sehingga, kebijakan semacam itu lebih terkesan sebagai pencitraan saja. Begitupun kaum beragama, apa yang mereka lakukan hanyalah berteriak, marah, dan membawa pentungan, dengan berlindung dibalik dalil ayat amar makruf nahi munkar, atau ayat bahwa zina itu haram, bahwa selingkuh itu terlarang, dsb, tanpa mengusung jalan keluar atau solusi secuil pun yang riil.

Sekarang jika kita bagankan ke dalam ranah agama, maka sesungguhnya kemiskinan lebih berpotensi melahirkan mafsadat yang lebih besar dibanding dampak yang diakibatkan oleh keberadaan lokalisasi. Mafsadat yang mungkin timbul dari kemiskinan yakni kekafiran. Nabi Saw sendiri yang bersabda, bahwa “hampir-hampir saja kefakiran menjadi kakfiran” (kaada al-faqru an yakuna kufran), yang mengandung arti bahwa kondisi fakir, miskin, yang menimpa seseorang bisa menggiringnya kepada kekafiran. Kekafiran adalah kondisi ketiadaan iman dan Islam, kondisi ketika orang, dalam taraf terburuk, tidak mengakui eksistensi Allah, atau tidak menerima Islam sebagai agama. Dalam kehidupan kita, sejauh yang kita lihat, fenomena seperti sudah menjadi hal yang umum. Yakni, ketika seseorang yang didera kemiskinan yang berat, dengan terpaksa atau bahkan secara sadar menukar keimanannya, melepaskan keislamannya, demi mendapatkan sembako, bantuan kesehatan, beasiswa pendidikan, dan seterusnya. Itulah kenapa, kekafiran disebut sebagai dosa terbesar, sebab bisa mendepak seseorang dari ikatan identitasnya sebagai Mukmin atau Muslim.

Wal akhir, tentu siapa pun akan sepakat, termasuk saya pribadi, bahwa prostitusi itu melanggar nilai-nilai moral dan susila, dan lokalisasi itu sebaiknya ditutup saja karena hanya akan semakin menggairahkan kegiatan prostitusi itu sendiri. Hanya saja, ide dan kebijakan penutupan lokalisasi menjadi kontraproduktif dan tidak efektif jika tanpa dibarengi kesiapan solusinya yang riil, komprehensif, serius, sistematis, terukur. Alih-alih, justru akan melahirkan masalah yang lebih besar, yang itu bukan saja berkaitan dengan persoalan keberlanjutan sejarah kita sebagai bangsa di masa sekarang dan masa mendatang (baca: ancaman penyebaran HIV/AIDS), bahkan dalam skala tertentu bertalian dengan soal akidah keagamaan (baca: kemiskinan yang berpotensi menggiring kepada kekafiran). Wallahu a’lam.(*)

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun