Mohon tunggu...
Humaniora

Prostitusi di Negeri Kaum Beragama

2 Juli 2015   07:03 Diperbarui: 2 Juli 2015   07:03 1544
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Jika menilik wawasan agama, kondisi seperti ini sejatinya masuk kategori darurat, yang memungkinkan kita untuk mengabaikan suatu hukum (aturan) tertentu dan berpaling pada hukum (aturan) lain—meskipun berlawanan secara kontras—yang lebih menjamin kemaslahatan. Kasusnya mirip dengan soal halal-haram makanan. Darah atau bangkai, misalnya, dalam kondisi normal adalah haram mutlak. Tetapi, dalam situasi darurat, misalnya tidak ada makanan halal yang bisa dimakan, keduanya menjadi halal. Tujuannya sama, yakni demi menjamin kemaslahatan yang lebih besar. Membiarkan diri kita mati kelaparan sama saja bunuh diri, dan dosa bunuh diri lebih besar daripada sekadar makan barang haram.

Karena itulah, dalam fikih (hukum Islam) kita mengenal kaidah: al-dlaruratu tubih al-mahdzurat, bahwa kondisi darurat membolehkan kita untuk melakukan hal-hal yang terlarang (haram), asal dengan tujuan untuk menjaga kemaslahatan yang lebih besar. Penyebaran HIV/AIDS adalah kondisi darurat. Meski pelacuran (prostitusi) secara normatif adalah haram, tetapi ketentuan ini bisa diabaikan demi menjaga kepentingan yang lebih besar, yakni kelangsungan hidup para ibu dan masa depan generasi umat. Fikih juga mengenal kaidah syadz al-dzara’i, yakni prinsip untuk mencegah terjadinya hal-hal yang buruk, yang akan menimbulkan kemafsadatan bagi umat. Lokalisasi adalah cara yang urgens dan terbaik—dari yang buruk—untuk mencegah penyebaran HIV/AIDS kepada para ibu rumah tangga dan anak-anak yang mereka kandung. Terakhir, fikih juga mengenal kaidah—yang dijumput dari perkataan Nabi SAW sendiri: la dlarara wala dlirar, bahwa sesuatu dikatakan mengandung kemaslahatan jika ia tidak bersifat buruk, artinya: baik, serta tidak melahirkan keburukan sesudahnya. Penutupan lokalisasi memang baik, tidak mengandung keburukan (la dlarar), tetapi pada tataran lanjutnya akan mendampakkan keburukan (dlirar) secara masif, yakni penyebaran HIV/AIDS secara lebih cepat.

 Kedua, ancaman kemiskinan. Penutupan lokalisasi memang menyelesaikan satu hal, yakni, lagi-lagi, masalah moral. Meskipun, itu sebenarnya secara lahiriahnya saja. Praktiknya, pelacuran masih saja berjalan secara “ilegal”. Sehingga, bisa dikatakan, penurunan angka pelanggaran moralnya hanya sekian persen saja. Tetapi, okelah jika dikatakan bahwa itu menyelesaikan persoalan moral. Hanya saja, persoalan lain muncul: kemiskinan. Sebelum penutupan, kaum PSK memiliki penghasilan tetap dan lumayan dari tamu-tamu yang datang. Ketika lokalisasi ditutup, mereka tidak punya pekerjaan dan kembali jatuh miskin. Ini sesungguhnya tidak akan terjadi jika baik pemerintah ataupun kaum beragama (yang reaktifnya bukan main itu) menyiapkan solusinya yang riil dan komprehensif ketika nanti para PSK kehilangan mata pencariannya, bukan solusi yang sekadarnya dan asal-asalan. Faktanya, seperti terungkap dalam penelurusan Aiman di atas, pemerintah daerah mana pun tidak memiliki program atau solusi yang serius dan terukur pasca penutupan lokalisasi. Sehingga, kebijakan semacam itu lebih terkesan sebagai pencitraan saja. Begitupun kaum beragama, apa yang mereka lakukan hanyalah berteriak, marah, dan membawa pentungan, dengan berlindung dibalik dalil ayat amar makruf nahi munkar, atau ayat bahwa zina itu haram, bahwa selingkuh itu terlarang, dsb, tanpa mengusung jalan keluar atau solusi secuil pun yang riil.

Sekarang jika kita bagankan ke dalam ranah agama, maka sesungguhnya kemiskinan lebih berpotensi melahirkan mafsadat yang lebih besar dibanding dampak yang diakibatkan oleh keberadaan lokalisasi. Mafsadat yang mungkin timbul dari kemiskinan yakni kekafiran. Nabi Saw sendiri yang bersabda, bahwa “hampir-hampir saja kefakiran menjadi kakfiran” (kaada al-faqru an yakuna kufran), yang mengandung arti bahwa kondisi fakir, miskin, yang menimpa seseorang bisa menggiringnya kepada kekafiran. Kekafiran adalah kondisi ketiadaan iman dan Islam, kondisi ketika orang, dalam taraf terburuk, tidak mengakui eksistensi Allah, atau tidak menerima Islam sebagai agama. Dalam kehidupan kita, sejauh yang kita lihat, fenomena seperti sudah menjadi hal yang umum. Yakni, ketika seseorang yang didera kemiskinan yang berat, dengan terpaksa atau bahkan secara sadar menukar keimanannya, melepaskan keislamannya, demi mendapatkan sembako, bantuan kesehatan, beasiswa pendidikan, dan seterusnya. Itulah kenapa, kekafiran disebut sebagai dosa terbesar, sebab bisa mendepak seseorang dari ikatan identitasnya sebagai Mukmin atau Muslim.

Wal akhir, tentu siapa pun akan sepakat, termasuk saya pribadi, bahwa prostitusi itu melanggar nilai-nilai moral dan susila, dan lokalisasi itu sebaiknya ditutup saja karena hanya akan semakin menggairahkan kegiatan prostitusi itu sendiri. Hanya saja, ide dan kebijakan penutupan lokalisasi menjadi kontraproduktif dan tidak efektif jika tanpa dibarengi kesiapan solusinya yang riil, komprehensif, serius, sistematis, terukur. Alih-alih, justru akan melahirkan masalah yang lebih besar, yang itu bukan saja berkaitan dengan persoalan keberlanjutan sejarah kita sebagai bangsa di masa sekarang dan masa mendatang (baca: ancaman penyebaran HIV/AIDS), bahkan dalam skala tertentu bertalian dengan soal akidah keagamaan (baca: kemiskinan yang berpotensi menggiring kepada kekafiran). Wallahu a’lam.(*)

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun