Mohon tunggu...
Humaniora

Prostitusi di Negeri Kaum Beragama

2 Juli 2015   07:03 Diperbarui: 2 Juli 2015   07:03 1544
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Si PSK belia itu (tanpa disebutkan namanya), sudah kehilangan keperawanannya sejak dua tahun silam, yakni saat berusia 14 tahun, dampak pergaulan bebas (free sex). Setelah itu, ia menceburkan diri ke dunia gelap Dolly. Sejauh ini, karena pekerjaannya itu, ia sudah hamil dua kali, dan dua-duanya digugurkan dengan cara mengonsumsi obat anti hamil secara berlebihan. Kehamilan itu terjadi, tentu saja karena tidak ada pengaman saat melayani klien. Menurut pengakuannya, sebenarnya ia sudah menyarankan para kliennya agar memakai pengaman (baca: kondom), tetapi mereka menolak. Alasannya: mengurangi kenikmatan.

Yang mengejutkan, ternyata sejak setahun belakangan ini, ia sudah divonis dokter terjangkit HIV. Ia pun paham, bahwa itu sudah risiko dari pekerjaan yang digelutinya. Ia juga sadar bahwa karena virus mematikan yang kini menjangkiti tubuhnya itu, usianya jelas tidak akan lama lagi. Tetapi, ia bertekad, bahwa selagi ia masih kuat, selagi efek-efek buruk dari virus itu belum tampak, ia akan tetap menekuni profesi itu, karena itulah sesatunya jalan untuk menyambung hidupnya, juga demi menafkahi  orangtua dan adik-adiknya di desa.

Ia, katanya, tentu tak pernah berterus terang kepada para tamunya bahwa dirinya mengidap HIV. Sebab, hal itu jelas akan mematikan pasarannya. Hanya saja, ia tahu dan sadar betul tentang sifat virus dalam tubuhnya itu, yakni menyebar melalui hubungan seks. Maka ia selalu menyarankan kepada klien, agar memakain pengaman (kondom). Tetapi, dari sekian puluh tamu, atau bisa jadi ratusan, yang menggunakan jasanya, tidak ada satu pun yang mau menerima sarannya agar memakai pengaman.

Dari pengakuan sang PSK belia itu kepada Aiman, sekarang kita bisa bayangkan, betapa mengerikan dampak yang akan timbul di kemudian hari. Bayangkan saja para klien si PSK belia itu adalah para suami yang istri-istrinya masih produktif di rumah. Ketika pulang, lalu berhubungan seks (kali ini secara sah), mereka bukan saja menularkan virus mematikan itu kepada istri-istri mereka, tetapi mungkin juga kepada anak-anak yang akan dilahirkan. Fenomena semacam inilah yang menjelaskan kepada kita, kenapa dalam grafik angka penyebaran HIV/AIDS di daerah mana pun di Indonesia, distribusi terbesar selalu di kalangan ibu rumah tangga (IRT). Jika direnungkan lebih jauh, bukannya ini sama saja pembunuhan massal secara pelan-pelan?

 

Kaum Beragama, Reaktif Tanpa Solusi

Ketika Walikota Risma berniat membubarkan prostitusi Dolly, kalangan yang paling mendukung adalah kaum beragama. Begitupun ketika Dolly benar-benar ditutup, yang paling merasa bangga dan gembira adalah kaum beragama. Di media cetak, di media online (media sosial seperti Facebook dan sejenisnya), bahkan sampai sekarang masih berseliweran pernyataan apresiasi kepada Risma dari kalangan kaum beragama. Mereka menahbiskan beliau sebagai walikota terbaik, karena berani memberantas maksiat.

Kaum beragama, ketika menentang prostitusi, selalu bertolak dari argumen moral dan keagamaan. Prostitusi atau pelacuran itu bertentangan dengan nilai-nilai moral universal. Orang Jawa mengatakan, pelacuran itu salah satu jenis dari malima (mateni, madon, madat, maling, main) yang harus dijauhi, karena merusak sendi-sendi sosial. Secara keagamaan (Islam), prostitusi atau pelacuran adalah zina, perbuatan fahisyah (kotor) yang dampak merusaknya bukan hanya pada si pelaku dan keluarga, tetapi juga ke masyarakat luas. Itulah kenapa, manusia dilarang mendekati zina (wala taqrabu al-zina).

Sayangnya, penentangan keras dari kaum beragama itu seringkali hanya bersifat reaktif non-solutif. Dalam arti, mereka menentang, mereka menuntut pemberantasan, penutupan, tetapi tidak memberi solusi yang konkret setelah itu, terutama menyangkut nasib para PSK yang sekian lama ini menggantungkan hidupnya dari dunia prostitusi. Kaum beragama tidak mau tahu apa pun dampaknya, persetan lah. Yang mereka tahu pokoknya satu saja: lokalisasi prostitusi tutup, bubar! Setelah tutup, tentang nasib para PSK-nya, biar saja urusan masing-masing. Mau telantar, mau kelaparan, mau mati, ya urusan mereka sendiri.

Pendekatan yang reaktif dan tanpa solusi, biasanya, bahkan acap kali, tidak akan membawa dampak atau perubahan apa pun, kecuali satu hal saja: menambah masalah baru. Contohnya adalah seperti fakta yang terpapar di atas. Dua masalah baru muncul. Pertama: kegiatan prostitusi bukannya terhenti, tetapi tetap saja beroperasi, meski kali ini secara “ilegal”. Walaupun, seperti temuan Aiman, hanya sekitar 70%, ini jelas bukan angka yang remeh, karena lebih dari separuh. Di sisi lain, ironisnya, karena “ilegal” dan tidak terpantau dengan baik, potensinya untuk menaikkan angka penyebaran penyakit menular (IMS, terutama HIV/AIDS) sangat besar. Sekarang jika dibuat skala perbandingan, besar manakah madarat (dampak buruk) yang ditimbulkan antara prostitusi yang terlokalisir dengan ancaman HIV/AIDS sebagai akibat ditutupnya lokalisasi?

Jelas, madaratnya lebih besar yang kedua, karena ujung dari HIV/AIDS adalah vonis mati. Lokalisasi memang menimbulkan masalah, seperti dekadensi moral, pelanggaran norma agama (zina, selingkuh), dsb. Tetapi, ia adalah pilihan terbaik di antara yang buruk, karena bisa meminimalisir dampak mafsadat yang diakibatkan seandainya tidak ada lokalisasi: penyebaran penyakit seksual yang mematikan. Dalam kaidah hukum Islam, perlindungan jiwa (hifzh al-nafs) itu termasuk kemaslahatan asasi yang harus diutamakan di atas kemaslahatan-kemaslahatan yang lain. Ini dengan kata lain, penutupan lokalisasi di satu sisi mungkin menyelesaikan persoalan moral, persoalan keagamaan, tetapi di sisi lain juga berkontribusi dalam melahirkan masalah baru yang tidak kalah mengerikan, yakni pemusnahan generasi (terutama ibu dan anak-anak) secara pelan namun pasti. Sekarang kita bertanya-tanya, apakah kebijakan kita, tindakan kita, yang secara tidak langsung ikut menyokong pemusnahan generasi bangsa (kaum ibu dan anak-anak) secara pelan namun pasti itu termasuk hal yang bertentangan dengan nilai moral atau agama?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun