Actus reus terdiri dari act  atau commission and omission. Commission merujuk pada tindakan aktif seseorang yang melanggar ketentuan pidana. Dalam hal ini, pelaku secara sengaja atau sadar melakukan perbuatan yang secara hukum dilarang. Sedangkan, Omission adalah kegagalan untuk melaksanakan tindakan yang secara hukum diwajibkan oleh ketentuan pidana.
Jika suatu tindakan dilakukan tanpa adanya niat jahat, maka perbuatan tersebut tidak dapat dikategorikan sebagai tindak pidana. Demikian pula, niat jahat saja tidak cukup untuk memidanakan seseorang tanpa adanya tindakan nyata yang memenuhi unsur-unsur dalam rumusan undang-undang. Oleh karena itu, untuk menjatuhkan hukuman pidana, harus terpenuhi dua elemen utama, yaitu mens rea dan actus reus, sebagai wujud keselarasan antara niat jahat dan tindakan yang melanggar hukum.
Why
Dalam sistem hukum pidana Indonesia, konsep niat atau mens rea memegang peranan penting untuk menentukan apakah seseorang dapat dipertanggungjawabkan secara pidana (Mallarangeng et al., 2023). Tanpa adanya unsur kesengajaan atau niat jahat, sulit bagi aparat penegak hukum untuk membuktikan bahwa terdakwa benar-benar bersalah atas tindakannya.
Mens Rea penting dalam sebuah kasus tindak pidana karena beberapa alasan. Pertama, untuk menentukan kesalahan subjektif pelaku, yaitu apakah ada niat jahat atau kesengajaan dalam melakukan tindak pidana. Kedua, jika mens rea terbukti tidak ada, seperti dalam keadaan terpaksa atau ketidaksadaran, pengadilan dapat mempertimbangkan untuk memberikan hukuman yang lebih ringan. Ketiga, mens rea juga dapat meningkatkan tingkat pertanggungjawaban pidana, tergantung pada sejauh mana kesengajaan atau kejahatan yang terlibat. Namun, keputusan akhir tetap ditentukan oleh pengadilan dengan mempertimbangkan berbagai faktor lain yang relevan dalam kasus tersebut.
How
Dalam hukum pidana, mens rea dan actus reus adalah elemen penting dalam menentukan adanya tindak pidana. Mens Rea mengacu pada niat atau sikap batin jahat saat melakukan perbuatan tersebut. Ada beberapa mens rea dalam kasus korupsi proyek Hambalang. Pertama, Andi Mallarangeng selaku Menpora pada saat iu memiliki niat untuk mendapatkan keuntungan pribadi dengan meminta fee sebesar 18% dari PT Adhi-Karya sebagai jaminan memenangkan tender proyek Hambalang.
Selanjutnya yang kedua adalah Anas Urbaningrum bermaksud mendapatkan dana sebesar Rp50 miliar dari PT DGI atau pihak lain sebagai imbalan untuk memenangkan proyek. Dana tersebut digunakan untuk kepentingan politiknya, termasuk memenangkan kursi Ketua Umum Partai Demokrat. Ketiga, Muhammad Nazaruddin memiliki niat untuk menguasai proyek melalui PT DGI dengan menyuap pejabat, termasuk Wafid Muharam, mantan sekretaris Menteri Pemuda dan Olahraga sebesar Rp20 miliar. Keempat, PT Adhi-Karya melalui Teuku Bagus yang memiliki keinginan untuk memenangkan tender bersedia membayar fee kepada berbagai pihak.
Actus Reus dalam kasus mega korupsi tersebut meliputi penyuapan, manipulasi anggaran, pengaturan tender, penggunaan dana ilegal. Penyuapan dilakukan oleh Nazaruddin melalui PT DGI kepada Wafid Muharam sebesar Rp20 miliar untuk memenangkan tender proyek Hambalang. Penyuapan juga dilakukan oleh PT Adhi-Karya dalam membayar fee kepada Anas Urbaningrum, Andi Mallarangeng dan pihak terkait sebagai bagian dari kesepakatan memenangkan tender.
Ada pula manipulasi anggaran yang dilakukan bendahara umum PDIP sekaligus Pimpinan Badan Anggaran DPR RI saat itu, Olly Dondokambey. Ia menerima suap sebesar US$1 juta untuk menaikkan anggaran proyek dari Rp125 miliar menjadi Rp2,5 triliun. Lalu, adanya pengaturan tender yang dilakukan oleh Anas Urbaningrum dalam mengatur agar PT Adhi-Karya menang dalam tender proyek, menggantikan PT DGI.
Penggunaan dana ilegal untuk kepentingan politik dan pembagian suap juga terjadi dalam kasus korupsi tersebut. Setelah memenangkan proyek, PT Adhi Karya melakukan pembagian dana suap sebesar Rp100 miliar ke berbagai pihak, termasuk anggota DPR RI, Kemenpora, dan Anas Urbaningrum. Dana tersebut digunakan oleh Anas untuk kampanye politik dalam Kongres Partai Demokrat. Dalam proses penyelidikan, ditemukan bahwa istri Anas Urbaningrum, Athiyyah Laila, memiliki peran sebagai salah satu pemegang saham sekaligus komisaris di PT DCL. Perusahaan ini memperoleh kontrak pekerjaan mekanikal dan elektrikal senilai Rp324 miliar.