Korupsi telah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat sejak manusia mulai mengenal pengelolaan administrasi. Fenomena ini bukanlah hal baru dalam konteks hukum maupun ekonomi suatu negara, karena keberadaannya telah berlangsung ribuan tahun, baik di negara maju maupun berkembang (Yunara, 2005).Â
Jika dibandingkan dengan kejahatan seperti perampokan, pencurian, atau pembunuhan, sejarah korupsi mungkin lebih muda. Namun, berdasarkan berbagai definisi dan batasan, korupsi dapat dianggap sebagai bentuk turunan dari kejahatan lain, seperti pencurian, perampokan, serta penyalahgunaan kekuasaan dan kepercayaan publik (Sudjana, 2008). Dengan demikian, usia korupsi sudah sangat lama.
Secara etimologis, kata "korupsi" berasal dari bahasa Latin corruptio atau corruptus yang juga diturunkan dari corrumpere, sebuah istilah Latin klasik. Kata ini kemudian berkembang menjadi corruption dalam bahasa Inggris, korruptie dalam bahasa Belanda dan corruption dalam bahasa Perancis.Â
Secara harfiah, korupsi berarti kebusukan, ketidakjujuran, amoralitas, kesediaan menerima suap, keburukan, atau kerusakan moral. Di Malaysia, istilah yang sering digunakan adalah resuah, yang berasal dari kata Arab risywah dengan arti serupa (Puspito, Nanang T, Marcella Elwina S et al., 2011).
Dengan pengertian ini, korupsi mencerminkan tindakan yang busuk, jahat dan merusak, serta mengarah pada perilaku amoral yang terkait dengan penyalahgunaan kedudukan, jabatan, atau wewenang. Korupsi sering kali melibatkan nepotisme, kronisme, serta dampak buruk pada aspek ekonomi dan politik.Â
Korupsi merupakan sebuah penyakit sosial yang telah menggerogoti sendi-sendi kehidupan bangsa, menuntut kita untuk kembali pada akar budaya. Falsafah Jawa, menawarkan solusi yang relevan untuk permasalahan ini melalui nilai-nilai berikut ini:
1.Ojo Dumeh
Ungkapan "Ojo Dumeh" mengajarkan manusia untuk selalu rendah hati dan tidak sombong meskipun memiliki kelebihan. Kehidupan dunia hanyalah sarana menuju kebahagiaan dan keberkahan di dunia maupun akhirat, tergantung pada bagaimana seseorang menjalankan peran dan tanggung jawabnya.Â
Namun, kekuasaan dan materi sering menjadi ujian yang menggoda manusia untuk bertindak semena-mena, seperti melakukan korupsi, kolusi dan nepotisme. Perilaku ini tidak hanya terjadi di kalangan pejabat tinggi, tetapi juga merembes hingga tingkat masyarakat bawah, menunjukkan pentingnya kewaspadaan dan integritas di setiap lapisan masyarakat.
Prasaja: Mengajarkan hidup sederhana, sesuai kebutuhan, tanpa berlebihan, tetapi tetap tidak terlihat sengsara atau bermewah-mewah. Sikap ini menekankan keseimbangan dalam menjalani kehidupan.
Manjing Ajur Ajer: Menggambarkan pemimpin yang mampu membaur dan menyatu dengan masyarakat. Seorang pemimpin tidak boleh menjaga jarak, merasa istimewa, atau sulit diakses. Dengan menyatu bersama rakyat, pemimpin dapat memahami kebutuhan masyarakat dan menjaga hubungan yang harmonis serta selaras.