Serat Rama (Soetomo, Sujata, Astusi, 1993) adalah karya sastra yang menggambarkan wejangan Rama kepada Wibisana mengenai cara memimpin kerajaan Ngalengka. Karya ini merupakan adaptasi dari Ramayana Kakawin yang ditulis dalam bahasa Jawa modern oleh Yasadipura I (1729-1803 M), seorang pujangga dari Kasunanan Surakarta (Ricklefs, 1991).
Asta Brata berasal dari bahasa Sansekerta, menggabungkan kata Asta (delapan) dan Brata (perilaku atau tindakan pengendalian diri). Konsep ini melambangkan kepemimpinan ideal yang mencerminkan delapan unsur alam: bumi, air, angin, bulan, matahari, samudra, gunung dan api.
Ilmu Asta Brata diperkenalkan melalui lakon pewayangan Wahyu Makutharama. Pemimpin yang menguasai ilmu Asta Brata diharapkan mampu menginternalisasi delapan sifat agung yang melambangkan kebijaksanaan dan kebesaran Sang Pencipta.Â
Dalam tulisan Yasadipura I (1729-1803 M), seorang pujangga keraton Surakarta, Asta Brata dijabarkan sebagai delapan prinsip kepemimpinan yang meniru filosofi dan sifat alam, yaitu:
1.Mahambeg Mring Kismo (meniru sifat bumi)
Dalam Asta Brata, bumi diartikan sebagai ibu pertiwi yang memiliki peran dalam memelihara, mengasuh dan melindungi semua makhluk hidup. Seorang pemimpin yang mengadopsi sifat bumi harus dapat mengayomi dan melindungi anak buahnya, serta memberikan perhatian pada kesejahteraan masyarakat, terutama kaum lemah.
 Pemimpin juga harus mampu mengarahkan kekuasaannya untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat dan mengentaskan kemiskinan (Sudharta, 2006).
Prinsip ini mengajarkan bahwa seorang pemimpin harus selalu memikirkan kesejahteraan rakyat, seperti halnya bumi yang memberikan kesejahteraan bagi umat manusia. Seorang pemimpin perlu bijak dalam mengelola sumber daya, serta mampu menghemat dana untuk kepentingan rakyat, sebagaimana Sang Hyang Kwera yang berperan dalam menata kesejahteraan di kahyangan. Prinsip ini menekankan pentingnya pengelolaan yang efisien dan adil dalam memimpin untuk kesejahteraan bersama.
2.Mahambeg Mring Warih (meniru sifat air)
Sifat air yang mengalir mengajarkan pemimpin untuk memiliki kemampuan beradaptasi dengan lingkungan dan orang lain. Seorang pemimpin yang mengadopsi sifat air harus dapat menyesuaikan diri dengan berbagai situasi dan memperhatikan kebutuhan serta kepentingan pengikutnya.Â
Selain itu, pemimpin harus mampu membuka pikiran dan melibatkan timnya dalam proses pengambilan keputusan, serta mendengarkan dan mempertimbangkan pendapat bawahan secara bijaksana. Hal ini mendorong komunikasi yang terbuka dan kolaborasi yang efektif dalam mencapai tujuan bersama (Sudharta, 2006).