Para tersangka dalam kasus ini, termasuk ALW selaku Direktur Operasi), MRPT selalu Direktur Utama) dan EE selaku Direktur Keuangan PT Timah Tbk menunjukkan ketamakan yang kuat terhadap keuntungan finansial pribadi. Mereka menyadari adanya peluang untuk memperoleh lebih banyak keuntungan dengan cara membeli hasil penambangan ilegal melebihi harga standar, meskipun mereka mengetahui bahwa penambangan tersebut melanggar hukum. Keinginan untuk memperoleh lebih banyak kekayaan dan mempertahankan posisi mereka di perusahaan mendorong mereka untuk terlibat dalam korupsi ini.
2.Peluang (Opportunity)
Kesempatan untuk melakukan tindakan korupsi timbul dari lemahnya pengawasan dan kontrol dalam proses bisnis PT Timah, khususnya terkait pengadaan bijih timah. Melihat pasokan bijih PT Timah Tbk lebih sedikit dibandingkan smelter swasta karena banyaknya penambangan ilegal, para para petinggi PT Timah Tbk, tersangka ALW selaku Direktur Operasi, MRPT selalu Direktur Utama dan EE selaku Direktur Keuangan yang seharusnya menindak aktivitas tersebut, justru memanfaatkan situasi tersebut dengan mengambil langkah melanggar hukum, seperti menjalin kerja sama ilegal dengan penambang liar melalui perusahaan-perusahaan boneka dan menyusun kontrak kerja sama yang tidak transparan untuk mengakomodasi pasokan bijih timah ilegal.
3.Kebutuhan (Need)
Kebutuhan tersangka dalam hal ini lebih mengarah pada pemenuhan ambisi pribadi dan profesional, seperti mempertahankan kekuasaan, memperbesar keuntungan perusahaan, serta memenuhi gaya hidup yang mewah. Mereka mungkin merasa bahwa berkolaborasi dengan smelter untuk membeli hasil penambangan ilegal adalah cara untuk memenuhi kebutuhan finansial mereka, meskipun tindakan tersebut bertentangan dengan prinsip etika dan hukum. Seperti salah satu tersangka, Harvey Moeis yang menggunakan uang hasil perbuatan legal tersebut untuk memenuhi gaya hidup mewahnya dengan membeli sejumlah bangunan dan bidang tanah di daerah Jakarta. Tidak hanya digunakan untuk transaksi di dalam negeri, Harvey juga menggunakannya untuk membayar sewa sebuah rumah di Malvern Oasis Melbourne, Australia senilai Rp5,76 miliar hingga pembelian tas bermerek sebanyak 88 buah, 141 perhiasan serta menyimpan uang dan logam mulia menggunakan Safe Deposite Box (SDB) di Bank CIMB Niaga atas nama Sandra Dewi, istrinya.
4.Pengungkapan (Exposure)
Persekongkolan antara PT. Timah dengan pengusaha tambang ilegal, termasuk pembelian pasokan timah di atas harga standar yang melibatkan prosedur tidak sah menunjukkan bagaimana perusahaan negara dapat terlibat langsung dalam memfasilitasi pelanggaran hukum bersama pihak swasta yang seharusnya ditindak tegas. Yuris Rezha Kurniawan, Peneliti Pusat Kajian AntiKorupsi (Pukat) Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada menyoroti berbagai modus korupsi di sektor ini, seperti suap untuk memperoleh izin dan manipulasi data produksi guna mengurangi penerimaan negara.
Kasus dugaan korupsi PT. Timah yang melibatkan praktik tambang ilegal mencerminkan persoalan struktural dalam pengelolaan sumber daya alam di Indonesia. Menurut Yuris, hal ini menunjukkan kegagalan pemerintah dalam mengawasi kegiatan pertambangan ilegal yang seharusnya menjadi prioritas untuk dijaga dan diawasi. Selain itu, aparat penegak hukum justru dianggap memberikan ruang atau "karpet merah" bagi aktivitas bisnis yang melanggar hukum. Sulitnya pemberantasan korupsi di sektor sumber daya alam ini disebabkan oleh lemahnya sistem pengawasan pemerintah dan penegakan hukum yang lebih cenderung berpihak pada kepentingan bisnis daripada prinsip keadilan. Kasus ini menjadi cerminan perlunya reformasi mendalam dalam pengelolaan sumber daya alam, termasuk pengawasan dan penegakan hukum yang lebih tegas serta transparan.
Korupsi menjadi masalah besar yang mengancam kesejahteraan masyarakat Indonesia. Berdasarkan data dari Transparency International Indonesia, sekitar 30-40 persen dari APBN dan APBD hilang akibat korupsi (Zaenudin et al., 2018). Pengadaan barang dan jasa oleh pemerintah tercatat sebagai kasus korupsi terbesar, mencapai 70 persen. Presiden Indonesia ke-7, Joko Widodo menegaskan bahwa korupsi tidak hanya merugikan finansial negara, tetapi juga merupakan pelanggaran terhadap kemanusiaan (Suyatmiko, 2021). Untuk mengatasi masalah ini, beliau mengatakan penggunaan sistem e-government dalam birokrasi yang lebih efisien sehingga dapat memperbaiki pelayanan publik dan memperkuat transparansi serta akuntabilitas pemerintahan. Beliau juga menekankan pentingnya partisipasi masyarakat dalam mendorong perubahan sosial sebagai kunci pencegahan dan pemberantasan korupsi.
Memberantas korupsi di Indonesia memerlukan upaya berkelanjutan yang melibatkan semua pihak. KPK mengimplementasikan tiga strategi utama dalam pemberantasan korupsi, yaitu Penindakan, Pencegahan, dan Pendidikan.
1.Penindakan: Strategi ini berfokus pada penindakan koruptor melalui proses hukum, dimulai dari laporan masyarakat, penyelidikan, penyidikan, hingga eksekusi putusan pengadilan. Pengaduan masyarakat sangat penting dalam proses ini dan KPK memperkuat sistem whistleblowing untuk mendorong pelaporan tindak pidana korupsi.