Dalam proses pengadaan barang, Sugiharto ditunjuk oleh Irman sebagai Pejabat Pembuat Komitmen (PPK). Selama pelaksanaan, Sugiharto menetapkan dan menyetujui Harga Perkiraan Sendiri (HPS) yang telah digelembungkan. Hal ini menunjukkan bahwa kelemahan dalam proses pengadaan memungkinkan penggelembungan anggaran tanpa ada pengawasan yang memadai, sehingga tercipta kesempatan untuk memperoleh keuntungan pribadi.
Proses persetujuan anggaran dan pengadaan barang dalam proyek e-KTP seharusnya diawasi oleh berbagai pihak untuk mencegah penyalahgunaan anggaran. Namun, pengawasan yang lemah baik dari internal Kemendagri maupun eksternal, seperti Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) atau Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), memberikan celah bagi para pelaku untuk melakukan korupsi tanpa hambatan.
Dengan adanya kesempatan yang terbuka, para pelaku memanfaatkan celah dalam sistem yang lemah untuk melakukan tindakan korupsi. Mereka merasa bebas untuk mengeksploitasi kelemahan tersebut tanpa takut terdeteksi atau menerima hukuman, karena pengawasan yang tidak efektif memberi ruang bagi mereka menjalankan aksinya.
3.Need (Kebutuhan)
Dalam kasus korupsi proyek e-KTP, kebutuhan ini tidak hanya berkaitan dengan kebutuhan dasar seperti makanan atau tempat tinggal, tetapi juga keinginan untuk mencapai kemewahan, status sosial yang tinggi, serta mempertahankan kekuasaan dan pengaruh.
Para pelaku korupsi dalam kasus e-KTP, seperti pejabat Kemendagri dan anggota DPR, mungkin merasa "berhak" mendapatkan lebih dari yang semestinya berdasarkan posisi atau wewenang yang mereka miliki. Mereka terjebak dalam pola pikir konsumerisme berlebihan, di mana pemenuhan kebutuhan tidak hanya untuk kebutuhan dasar, tetapi juga untuk gaya hidup mewah, keuntungan finansial jangka panjang dan akses ke jaringan bisnis yang menguntungkan.
Pertama, kebutuhan untuk mempertahankan gaya hidup. Beberapa pelaku mungkin merasa tertekan untuk mempertahankan atau meningkatkan gaya hidup mewah mereka sehingga mendorong mereka mencari tambahan pendapatan secara ilegal, seperti menerima suap atau memanipulasi anggaran. Mereka merasa posisi mereka memberi peluang untuk memperoleh uang dengan cepat dan mudah melalui korupsi.
Kedua, kebutuhan untuk mempertahankan kekuasaan dan pengaruh. Bagi sebagian pejabat, kebutuhan ini lebih terkait dengan aspek politik dan sosial. Mereka mungkin merasa bahwa untuk tetap berkuasa atau mempertahankan posisi politik mereka, mereka harus memenuhi kebutuhan tertentu, seperti membiayai kampanye politik atau menanggung biaya tak terduga dalam aktivitas politik. Oleh karena itu, mereka memanfaatkan kekuasaan mereka untuk melakukan korupsi demi memenuhi kebutuhan tersebut.
Mentalitas konsumerisme berlebihan mendorong individu untuk terus mengejar keuntungan pribadi tanpa memperhitungkan dampak negatifnya terhadap masyarakat atau negara. Akibatnya, mereka lebih cenderung melakukan tindakan korupsi karena merasa bahwa kebutuhan dan keinginan pribadi lebih penting daripada integritas atau etika profesional.
4.Exposure (pengungkapan)
Dalam konteks hukum di Indonesia, penerapan hukuman terhadap pelaku korupsi sering kali dipertanyakan karena dianggap tidak setimpal dengan perbuatan yang telah dilakukan dan kerugian yang diakibatkannya. Hukuman bagi pelaku korupsi di Indonesia memang sudah diatur dalam Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Tindak Pidana Korupsi yang memberikan ancaman hukuman maksimal 20 tahun penjara dan bahkan hukuman mati dalam keadaan tertentu.