What
Dalam Buku Republik II, Glaucon dan Adeimantus, saudara Plato, mengeksplorasi apakah keadilan sebenarnya lebih diinginkan daripada ketidakadilan. Glaucon memulai dengan menantang pandangan Socrates tentang keadilan. Ia berargumen bahwa manusia pada dasarnya cenderung egois dan tidak adil serta keadilan bukanlah nilai yang baik secara intrinsik, tetapi dihargai karena manfaat atau konsekuensi menguntungkannya. Glaucon mendukung pendapat ini dengan kisah "Cincin Gyges," yang menunjukkan bahwa keadilan didorong oleh kepentingan diri sendiri. Menurutnya, seseorang akan bertindak tidak adil jika bisa melakukannya tanpa risiko hukuman.
Adeimantus memperkuat argumen Glaucon dengan menyatakan bahwa orang hanya bersikap adil untuk mendapatkan keuntungan sosial, seperti reputasi baik. Pada awal Buku Republik II, Glaucon membedakan tiga jenis kebaikan. Jenis pertama adalah kebaikan yang diinginkan demi nilai intrinsiknya, seperti kebahagiaan. Jenis kedua adalah kebaikan yang dihargai demi dirinya sendiri sekaligus dampaknya, sedangkan jenis ketiga adalah kebaikan instrumental yang diinginkan demi hasil atau konsekuensinya saja, seperti obat. Socrates menempatkan keadilan dalam kategori kedua sebagai nilai yang baik secara intrinsik dan instrumental, tetapi Glaucon berpendapat bahwa masyarakat cenderung melihatnya dalam kategori ketiga---sesuatu yang hanya dihargai karena manfaat dan reputasi yang dihasilkannya.
Glaucon menyatakan bahwa pada dasarnya, melakukan ketidakadilan itu menguntungkan, tetapi hukum memaksa seseorang untuk bersikap adil. Menurutnya, orang tidak akan bersikap adil dengan sukarela. Jika seseorang memiliki kekuatan untuk bertindak tidak adil tanpa risiko, ia akan melakukannya. Glaucon berpendapat bahwa manusia secara alami mengejar keuntungan pribadi tanpa mempertimbangkan kebaikan bagi orang lain dan kita hanya mengikuti prinsip keadilan karena keharusan. Siapa pun yang bebas dari risiko sanksi akan lebih memilih ketidakadilan karena ia melihatnya sebagai cara untuk mencapai kepentingannya sendiri.
Glaucon menggunakan kisah Cincin Gyges untuk mendukung pandangannya bahwa keadilan hanyalah sebuah nilai relatif yang bergantung pada ketidakmampuan manusia untuk melakukan kesalahan tanpa risiko atau konsekuensi.
Gyges adalah seorang gembala yang mengabdi kepada penguasa Lydia. Suatu ketika, terjadi badai petir yang hebat disertai gempa bumi yang menyebabkan tanah di tempat Gyges menggembalakan dombanya retak dan menciptakan kawah. Penuh rasa ingin tahu, Gyges menuruni lubang besar tersebut dan menemukan berbagai keajaiban, termasuk seekor kuda perunggu berongga. Di dalamnya terdapat jendela-jendela dan ketika mengintip, ia melihat mayat yang tampak lebih besar dari manusia, di mana mayat tersebut hanya mengenakan cincin emas di jarinya. Ia pun mengambil cincin tersebut dan keluar dari kawah.
Setelah itu, Gyges mengenakan cincin itu dalam pertemuan bulanan di mana para gembala melaporkan kondisi kawanan domba kepada raja. Ketika ia duduk di antara yang lain, secara tidak sengaja ia memutar cincin tersebut ke arah dalam dan tiba-tiba ia menjadi tidak terlihat oleh orang-orang di sekitarnya, sementara mereka terus berbicara seolah-olah ia telah pergi. Terkesima oleh keajaiban ini, ia mulai bereksperimen dengan cincin tersebut dan menemukan bahwa saat ia memutar cincin ke arah dalam, ia menghilang dan ketika diputar ke luar, ia kembali terlihat.
Menyadari potensi besar dari cincin itu, Gyges segera memutuskan untuk menjadi salah satu utusan yang dikirim untuk melapor kepada raja. Begitu tiba di istana, ia dengan cepat menjalin hubungan dengan ratu. Dengan bantuan ratu, Gyges melakukan serangan terhadap raja, membunuhnya dan mengambil alih kerajaan.
Glaucon mengusulkan sebuah eksperimen pikiran untuk menguji sifat dasar manusia terhadap keadilan. Ia berkata, jika ada dua cincin ajaib seperti Cincin Gyges dan satu diberikan kepada orang yang dikenal adil sedangkan satu lagi kepada orang yang tidak adil, keduanya akan menggunakan kekuatan cincin tersebut untuk melakukan hal-hal tidak adil. Jika, orang yang biasanya adil akhirnya menggunakan cincin itu untuk kepentingan pribadi dan berbuat tidak adil, Glaucon berpendapat bahwa ini membuktikan keadilan bukanlah nilai intrinsik. Menurutnya, manusia bersikap adil bukan karena memilih untuk menghargai keadilan itu sendiri, tetapi karena terbatas oleh konsekuensi atau ketakutan akan hukuman. Maka, ketika seseorang diberikan kesempatan untuk berbuat tidak adil tanpa risiko, ia akan mengambilnya. Eksperimen pikiran ini menantang gagasan bahwa keadilan adalah kebaikan sejati dengan implikasi bahwa sifat dasar manusia cenderung egois dan oportunis ketika diberi kebebasan penuh dari konsekuensi.
Glaucon menutup pidatonya dengan menyatakan bahwa orang yang bertindak tidak adil akan memperoleh penghargaan dan penghormatan, sementara orang yang adil justru akan mengalami penderitaan. Menurut Glaucon, banyak orang berpikir bahwa hidup orang yang tidak adil lebih menguntungkan dibandingkan hidup orang yang adil, karena orang yang tidak adil akan mendapatkan lebih banyak manfaat. Ia berpendapat bahwa pujian terhadap keadilan sebenarnya hanya merupakan bentuk kemunafikan. Orang-orang menghormati keadilan bukan karena mereka meyakininya sebagai nilai sejati, melainkan karena mereka takut menjadi korban ketidakadilan. Dengan kata lain, alasan utama mereka memuji keadilan hanyalah untuk menjaga citra dan berpura-pura, bukan karena keadilan memiliki nilai intrinsik bagi mereka.
Why