Pada hari Selasa, 21 Maret 2023, Kendati banyak ditolak, pembuat UU tetap menggelar rapat pengesahan Perppu Cipta Kerja lewat Rapat Paripurna DPR ke-19 Masa Persidangan IV Tahun 2022-2023. Pembahasan RUU ini terus dikebut DPR dan setidaknya DPR telah menggelar rapat 64 kali, sekalipun diwarnai banyak penolakan oleh 2 Fraksi yakni Demokrat dan PKS serta disetujui oleh 7 Fraksi lainnya. Dalam aspek substansial yang tertera pada putusan Mahkamah Konstitusi No. 138/PUU-VII/2009, terdapat tiga syarat sebagai pedoman adanya keperluan yang memaksa bagi Presiden untuk mengesahkan Perppu yang pada intinya terdapat kebutuhan mendesak, adanya kekosongan hukum, dan keperluan untuk membentuk produk hukum dalam waktu yang cepat.
Faktanya, perlambatan ekonomi di dunia, stagnasi ekonomi di Indonesia, dan daya saing Indonesia yang kurang baik dengan negara lainnya adalah faktor pendorong pemerintah untuk mengesahkan RUU tersebut. Selain itu, target dari RUU ini ialah untuk membentuk lingkungan yang menguntungkan dan menarik bagi investor, memacu ekspansi ekonomi di Indonesia,  dan menarik Warga Negara Asing (WNA) untuk bekerja dan berkontribusi dalam meningkatkan sumber daya manusia dan negara. Serta mendorong masyarakat Indonesia patuh dalam membayar pajak (Kemenkeu. go.id). Namun, banyak pihak yang menolak RUU tersebut karena tidak sejalan dengan laporan Kementerian Keuangan (KEMENKEU) yang menyebutkan bahwa tingkat inflasi dan kondisi perekonomian nasional sebagian besar stabil dan pemerintah mengendalikan dan  mengatur inflasi harga dari 13,28% menjadi 13%.
Berdasarkan indikator-indikator diatas, dasar penetapan Perppu Cipta Kerja belum memenuhi parameter ihwal kepentingan yang memaksa sebagaimana diatur dalam putusan Mahkamah Konstitusi tersebut. Selain itu, dalam proses pembuatan dan penyusunan Undang-undang tersebut kurang mempertimbangkan dan menanggapi masukan atau saran masyarakat, terutama para serikat buruh. Dalam RUU tersebut, ada berbagai Pasal yang problematik dan ditolak pengimplementasiannya oleh masyarakat. Salah satunya adalah Pasal 154A ayat (1) terkait Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang dilatabelakangi oleh perusahaan yang mengalami efisiensi yang dilanjut dengan penutupan perusahaan atau tidak diikuti dengan penutupan perusahaan yang disebabkan perusahaan mengalami kerugian.
Hal ini menjadi bermasalah karena nantinya akan menurunkan kesejahteraan masyarakat karena hilangnya pekerjaan para pekerja dan naiknya angka pengangguran. Namun, seharusnya buruh juga mendapatkan pesangon dua kali lipat apabila mengalami hal-hal diluar permasalahan efisiensi, seperti sakit yang berkepanjangan dan tidak diketahui waktu kesembuhannya selama 12 bulan, menurut UU Ketenagakerjaan Pasal 172. Akan tetapi, Ketentuan ini dicabut dari UU Cipta Kerja karena sekarang BPJS Ketenagakerjaan mengatur pembayaran penggantian pengobatan dan perawatan, yang mengakibatkan pekerja menerima lebih sedikit uang pesangon.Tentu saja, perubahan ini tidak akan membawa kebahagiaan atau keuntungan bagi pekerja yang di-PHK karena banyaknya ketentuan RUU Cipta Kerja yang dihapuskan akan mempersulit para pekerja tersebut nantinya untuk membela posisi mereka terhadap ketidakadilan perlakuan para pengusaha.
      Dari pembahasan pendahuluan diatas maka didapatkan rumusan masalah sebagai berikut :
- Mengapa pasal 154 RUU Cipta Kerja tentang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dianggap merugikan pekerja?
- Bagaimana perlindungan hukum bagi hak-hak para pekerja?
ISI
- Pasal 154A merugikan pekerja
Banyak ketentuan dalam UU Cipta Kerja yang dipandang kontroversial karena berbagai aturan telah dihapus sehingga menyebabkan banyak orang menentang undang-undang ini. Pada Pasal 154A ayat (1) mengenai Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dinilai tidak memberikan perlindungan para buruh atau pekerja. Pasal 154 ayat (1) yang akan dibahas adalah poin (b) Perusahaan melakukan efisiensi diikuti dengan penutupan perusahaan atau tidak diikuti dengan penutupan perusahaan yang disebabkan perusahaan mengalami kerugian. Dari poin tersebut terlihat bahwa, Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dilakukan secara sepihak oleh para pengusaha. Efisiensi akan mempengaruhi tindakan sewenang-wenang perusahaan untuk memecat pekerja atas dasar efisiensi, yang akan mempengaruhi kesejahteraan karyawan dan pada akhirnya meningkatkan angka pengangguran di Indonesia.
Menurut Pasal tersebut, apabila para pengusaha menutup perusahaan maka akan menghasilkan kerugian yang lebih besae. Dalam hal ini, pada akhirnya penutupan perusahaan dapat memberikan dampak sosial ekonomi yang lebih besar. Karena menutup perusahaan sama dengan menghilangkan semua kesempatan yang ada untuk bertahan dan berkembang ditengah efisiensi. Akibatnya, semua buruh atau pekerja pun dapat kehilangan pekerjaan. Padahal perusahaan dapat mencari alternatif lain, mungkin dengan memberhentikan sebagian karyawan sembari mencari alternatif lain untuk menghadapi efisiensi, memnyelesaikan permasalahan yang ada dan menutup kerugian sedikit demi sedikit. melakukannya setelah mencari sumber efisiensi alternatif. Cara ini tidak hanya memungkinkan sebagian karyawan untuk mempertahankan pekerjaannya, tetapi juga memberikan peluang bagi pengusaha untuk mengembangkan kembali perusahannya.
Jika sebuah perusahaan sudah berhasil menutup kerugian dan berkembang, tenaga kerja yang sempat di PHK dapat kembali lagi dan angka pengangguran dapat di minimalisir. Selain itu, dibandingkan dengan ketentuan sebelumnya dalam UU Ketenagakerjaan, ketentuan pesangon bagi pekerja yang diberhentikan diperkecil dalam Perppu Ciptaker pasal 156. Pekerja yang di-PHK setelah bekerja lebih dari 8 tahun hanya berhak mendapatkan 10 kali gaji maksimalnya sebagai pesangon. Selain itu, pekerja juga mendapatkan uang pengganti cuti tahunan yang tidak digunakan, biaya atau ongkos perjalanan pulang untuk pekerja atau buruh, dan biaya lain yang diuraikan dalam kontrak atau kesepakatan kerja, Aturan Bisnis, atau Perjanjian Kerja Bersama. Sebaliknya, Perppu Ciptaker hanya memberikan  9 kali upah pesangon kepada karyawan yang dipecat setelah lebih dari 8 tahun bekerja tetapi tetap dengan rincian yang sama.
Contohnya, jika seorang pekerja di Surabaya berpenghasilan Rp.4,2 juta/bulan, kemudian setelah bekerja untuk perusahaan selama 8 tahun 6 bulan, dia diberhentikan karena terjadi efisiensi. Maka uang pesangon yang diterima orang tersebut hanya 9 bulan upah. Insentif layanan setara dengan gaji tiga bulan bagi mereka yang telah mengabdi selama enam tahun tetapi kurang dari 9 tahun. Dengan demikian, pesangon yang diterima akan menjadi 21 kali upah, atau Rp 88,2 juta. Buruh tersebut hanya menerima 9 bulan uang pesangon dan 3 bulan penghargaan gaji di Perppu Ciptaker. Akibatnya, orang tersebut hanya menerima uang pesangon sebesar Rp 50,4 juta atau 12 kali gajinya. Sehingga total pesangon yang diterima dalam Perppu Ciptaker berkurang hingga Rp 37,8 juta. Fakta ini melemahkan dan merugikan posisi buruh, sehingga memperjelas eksploitasi yang dilakukan para pengusaha. .
Perlindungan Hukum Bagi Hak Pekerja
Pada dasaranya, Negara Indonesia adalah Negara yang berdasar pada aturan yang tertulis dan sistematis atau bisa disebut hukum, yang artinya setiap individu atau masyarakat memiliki hak untuk mendapatkan perlakuan yang sama dan perlindungan yang sama tanpa memandang latar belakang seorang individu, suku, bangsa, agama, dan kelas sosial. Perlindungan yang diberikan kepada pekerja bertujuan untuk menjamin hak-hak dasar pekerja dan membebaskan pekerja dari sikap yang semena-mena antar berbagai pihak, terutama pengusaha. Tujuan dari perlindungan tenaga kerja ini adalah untuk menjamin tidak adanya tekanan dari luar terhadap berakhirnya hubungan kerja. Oleh karena itu, pengusaha harus melaksanakan persyaratan perlindungan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
UU lama No 1 Tahun 1970 yang bersifat preventif yaitu mencegah terjadinya kecelakaan kerja di tempat kerja, UU No 13 Tahun 2003 tentang kesehatan kerja dan keselamatan kerja yang diatur dalam Pasal 28D ayat (1) UU No. UUD 1945, "Setiap orang berhak atas rasa aman, perlindungan, dan kepastian hukum." Selain itu, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menjamin hak warga negara atas pekerjaan yang layak bagi kemanusiaan adalah pasal 27 ayat 2 yang juga berisi perlindungan hukum bagi ketenagakerjaan secara keseluruhan. Dengan demikian, hukum tersebut dapat menjamin hak-hak pekerja dan pada akhirnya PHK atau perselisihan anatar buruh dan pengusaha di Indonesia diperkirakan akan menurun dari waktu ke waktu.
Perlindungan hukum juga terdapat dalam UU Cipta Kerja yang tertera pasal 18, yang menjelaskan bahwa aturan tersebut sebagai dorongan bagi pekerja untuk mempertahankan hak-haknya. Perusahaan seharusnya mengutamakan kebutuhan dan pemenuhan hak-hak dasar pekerja lebih dari kepentingan yang lain. Karena pada dasarnya, kesejahteraan pekerja adalah yang paling utama untuk dicapai dan dilindungi. Namun, tampaknya selain undang-undang tertulis, harus ada perlindungan sosial bagi pekerja untuk menjamin hak dalam menyuarakan kebebasan atau keberatan di tempat kerja terkait pekerjaan yang dijalankan. Karena pastinya banyak perusahaan yang kadang kala berpikir bahwa mempekerjakan karyawan tetap harus dibayar walaupun pensiun itu memberatkan perusahaan.
 Selain itu, jika terjadi PHK perusahaan wajib membayar uang pesangon, sehingga hubungan kerja yang tidak teratur tersebut semakin memperlemah posisi tenaga kerja. Kemungkinan peningkatan eksploitasi, biaya tenaga kerja yang lebih rendah, dan tekanan yang dirasakan tenaga kerja semakin meningkat dengan hubungan kerja yang rentan ini. Jadi, untuk renegosiasi kontrak kerja, diperlukan kontak sosial antara pekerja, serikat pekerja, dan pengusaha. Hal itu dilakukan agar para pekerja atau buruh lebih fleksibel dan mendapatkan kesempatan yang sama untuk mendapatkan jaminan sosial yang pasti dan terjamin.
KESIMPULAN :
Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) secara sepihak berdampak pada kesejahteraan pekerja atau buruh yang pada akhirnya akan menyebabkan peningkatan angka pengangguran di Indonesia. Apalagi, pesangon untuk PHK telah diturunkan dari standar UU Ketenagakerjaan yang lama, dimana sebelumnya 10 kali upah diberikan menjadi hanya 8 kali lipat upah. Hal ini nantinya akan merugikan para pekerja dan memungkinkan eksploitasi pengusaha. Selain itu, untuk melindungi hak-hak pekerja, diperlukan perlindungan hukum yang terdapat dalam UU No 13 Tahun 2003 tentang keselamatan dan kesehatan kerja, Pasal 28D ayat 1 UUD 1945 tentang keselamatan kerja, dan UU No 1 Tahun 1970 sebelumnya yang bersifat preventif yaitu mencegah terjadinya kecelakaan kerja di tempat kerja dan menjamin hak pekerja atas pekerjaan yang layak bagi kemanusiaan pada pasal 27 ayat (2). Selain itu, diharapkan terdapat perlindungan individu secara sosial yang menjamin kebebasan dalam menyampaikan keluhan atau suatu keberatan dalam pekerjaan Sehingga perlu adanya konsolidasi antara serikat kerja dan para pengusaha dalam hal mendiskusikan ulang kontrak kerja atau aturan yang mendasari kebebasan dan perlindungan terkiat hak-hak, supaya para pekerja mendapatkan perlindungan kerja yang fleksibel, sama, dan terjamin.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H