GOR Saparua telah menjadi saksi bagaimana band-band beraliran cadas lahir di Kota Bandung, Jawa Barat. GOR ini meskipun awalnya berfungsi sebagai tempat penyelenggaraan event olahraga, namun pada medio tahun 90-an digunakan oleh anak-anak muda Kota Kembang sebagai tempat pergerakan musik berlabel independen hingga bisa diakui secara nasional.
Jika ditarik jauh ke belakang, GOR Saparua awalnya dibangun pada 1961 untuk menyambut penyelenggaraan PON V di Jawa Barat. Gedung Saparua lalu didirikan dengan mengusung arsitektur yang kemudian lebih dikenal orang banyak dengan gaya jengki lantaran, bentuknya yang tidak simetris. Gaya jengki juga sekaligus bisa disebut sebagai konsep dari Bangsa Indonesia yang ingin terlepas dari kultur Kolonial Belanda.
Di masa itu pula, anak-anak muda Indonesia, tak terkecuali di Kota Bandung, sedang terjangkit demam musim rock and roll. Musik yang dulu pernah dilarang berkembang di Tanah Air oleh Bung Karno, saat itu mulai merebak eksistensinya seiring runtuhnya zaman Orde Lama. Dari anak muda yang terjangkit demam rock and roll ini lah, genre musik juga mulai berkembang ke arah rock klasik. Musiknya yang menghentak dan penuh energik langsung menjadi primadona, salah satunya turut dipopulerkan oleh Harry Roesli, penyanyi rock yang sempat meramaikan panggung di GOR Saparua pada tahun 70-an.
Setelah populer di zaman Harry Roesli, GOR Saparua mulai eksis digunakan anak-anak muda Kota Bandung sebagai venue musik beraliran cadas. Apalagi memasuki medio 80 hingga 90-an, anak muda di Kota Kembang mulai disuguhkan band-band yang memiliki irama hentakan nada makin progresif dengan distorsi yang powerfull. Sejak saat itu, musik dengan genre rock, punk, metal dan semacamnya pun mulai akrab di telinga anak-anak muda di Kota Bandung.
Genre musik baru ini kemudian menjadi primadona baru. Anak-anak muda di Kota Bandung tak hanya ingin meniru dari genre saja, tapi juga dari sisi berpakaian, cara bersikap bahkan hingga ideologi pemikirannya saat itu seolah menjadi oase atas sikap-sikap perlawanan anak muda terhadap sistem di tataran pemerintahan.
Ya, anak-anak muda di Kota Bandung yang sebagian besar tidak terlalu peduli dengan urusan politik dan pemerintahan, lalu mulai membuat band beraliran underground. Doktrin tentang perlawanan yang terkandung dalam lirik lagu band-band yang sudah ada sebelumnya banyak digemari hingga akhirnya ikut merebak ke Kota Kembang.
Singkatnya, band-band beraliran bawah tanah akhirnya bermunculan di Kota Bandung saat itu. Mulai dari Burgerkill, Jasad hingga Purgatory yang beraliran metal, hingga Runtah, Turtle Jr dan The Clown yang menjadi band pelopor punk di Bandung.
Tapi sayang, semenjak kemunculannya, eksistensi mereka tidak terlalu begitu diterima secara luas. Band-band di atas masih dianggap asing lantaran kerap membawakan cover lagu yang belum akrab di telinga penikmat musik pada masanya.
Berdasarkan catatan pegiat sejarah Komunitas Aleut Ariyono Wahyu Widjajadi, band-band cadas ini kemudian berhimpun untuk bisa menggelar satu event bersama di GOR Saparua. Kebetulan, Alex saat itu juga masih berstatus sebagai vocalis The Clown yang merasakan masa-masa awal kebangkitan musik bawah tanah di Kota Bandung.
"Jadi yang saya alami, gedung ini (GOR Saparua) itu kalau dulu dipakainya untuk pensi kampus atau SMA. Sampai akhirnya digunakan sama band underground itu di tahun 94-95, salah satu yang terkenal itu acara Hullabaloo," kata Alex saat berbincang dengan detikJabar beberapa waktu lalu.
Sebelum bisa menggelar acara sekelas Hullabaloo, band Alex maupun band underground lain awalnya kerap mendapat penolakan di acara pensi sekolah maupun universitas. Jikalau bisa tampil pun, biasanya akan datang cibiran lantaran musik yang dibawakan oleh band-band ini terkesan bising dan belum bisa diterima secara luas. Sampai akhirnya, beberapa komunitas band underground itu memutuskan untuk menggelar event sendiri di GOR Saparua. Contonya saat Alex dan The Clown pernah menggarap sebuah acara bernama 'Gorong-gorong' dengan line up band semuanya beraliran punk. "Jadi dulu sebelum pada ngumpul bareng, kita masih misah ngumpulnya. Saya sama yang penyuka musik punk misalnya, itu suka ngumpulnya di depan BIP. Nah komunitas yang lain juga sama, ada di titik-titik tertentu ngumpulnya," ucap Alex.
"Nah karena kami itu kemudian merasa butuh tempat untuk bisa manggung, soalnya ketika itu pengalaman saya coba ke beberapa gigs tapi ditolak, khususnya ke pensi SMA. Dari situ kemudian kenapa kita enggak bikin gigs sendiri. Akhirnya Saparua ini jadi tempat yang cocok karena memang masih terjangkau saat itu," ungkapnya menambahkan.
Sejak awal tahun 90-an, GOR Saparua resmi menjadi venue untuk band-band beraliran musik bawah tanah menyalurkan ekspresinya. Setiap akhir pekan, GOR Saparua pun tak pernah sepi diisi gigs festival musik mulai dari rock, punk hingga metal.
Kemudian, karena saking seringnya bertemu dan bertukar informasi di GOR Saparua, band-band underground ini lalu sepakat untuk menggelar gigs bersama. Salah satu yang kemudian tercetus adalah Hullabaloo pada medio tahun 94.
Moshpit Hullabaloo pun mendadak mengundang animo yang begitu besar dari kalangan anak muda pecinta musik cadas di Kota Bandung. Sehingga, pada awal-awal gelaran ini dilaksanakan, chaos dan gesekan di kalangan penontonnya masih bisa ditemukan pada saat itu.
Namun, seiring berjalannya waktu, Hullabaloo sukses menjadi pelopor lahirnya pergerakan musik bawah tanah yang massif di Kota Bandung. Para pengisi acaranya bisa saling support, bahkan gesekan di kalangan penontonnya juga sudah mulai tidak ditemukan seperti saat acara ini dihelat di awal-awal.
Nah yang menarik, untuk bisa membuat event tersebut, saat itu band-band cadas di Kota Bandung rela iuran demi bisa manggung di GOR Saparua. Buah support sistem inilah yang kemudian melahirkan event-event bawah tanah lainnya semacam Bandung Underground, Gorong-gorong hingga Bandung Berisik.
"Lambat laun mungkin karena kita sering ketemu tiap hari Minggu di sini, itu lama-lama saling kenal dan saling support komunitasnya. Dari situ, selain di grassroot-nya mulai teredukasi, orang-orang juga makin melihat bahwa musik kayak gini itu banyak penonton yang suka," ujar Alex.
Kesuksesan event di GOR Sarapua pun membawa tuah bagi band-band beraliran bawah tanah di Kota Bandung. Mereka perlahan mulai diundang ke berbagai pensi sekolah maupun kampus, dan tentunya mendapat bayaran setimpal atas karya yang mereka suguhkan di atas panggung.