Mohon tunggu...
Sabitha Wastika Rafa Adya
Sabitha Wastika Rafa Adya Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Ilmu Hubungan Internasional - Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Yogyakarta

Menulis

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Agresi Amerika Serikat terhadap Operasi Pembebasan Irak menurut Persepektif Konstruktivisme

31 Mei 2024   13:07 Diperbarui: 31 Mei 2024   18:18 106
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Dalam artikel ini penulis menganalisis studi kasus menggunakan Teori Konstruktivisme.  Teori Konstruktivisme dalam Hubungan Internasional membahas peran ide dan norma dalam kehidupan sosial, termasuk isu lingkungan dan hak asasi manusia.

Teori ini berusaha menjelaskan perubahan keadaan alami dalam politik global, di mana dunia saat ini menjadi lebih global dan demokratis, sehingga banyak aktor baru muncul. Aktor-aktor ini turut berperan dalam mengurus berbagai masalah negara, sehingga bukan hanya negara saja yang terlibat dalam urusan luar negeri.

Sama seperti pada saat terjadinya Operasi Pembebasan Irak, yang juga dikenal sebagai Invasi Irak 2003, merupakan salah satu konflik internasional paling signifikan di awal abad ke-21. Operasi ini menandai fase awal dari Perang Irak yang berlangsung lebih dari satu dekade.

Timur Tengah telah menjadi pusat berbagai konflik selama beberapa dekade, terutama karena kepentingan geopolitik dan ekonomi yang terkait dengan cadangan minyak yang melimpah. Irak, sebagai salah satu negara dengan cadangan minyak terbesar, telah sering terlibat dalam konflik regional dan internasional.

Pada tahun 1990-1991, Irak di bawah kepemimpinan Saddam Hussein menginvasi Kuwait, memicu Perang Teluk Persia, sehingga koalisi internasional yang dipimpin oleh Amerika Serikat mengusir pasukan Irak dari Kuwait. Meski kalah, Saddam Hussein tetap berkuasa di Irak. Pasca perang, Irak dikenakan sanksi ekonomi yang ketat oleh PBB, yang berdampak parah pada kondisi ekonomi dan sosial negara tersebut.

Salah satu alasan utama yang dikemukakan oleh pemerintahan Presiden George W. Bush untuk melakukan invasi adalah klaim bahwa Irak memiliki senjata pemusnah massal (Weapons of Mass Destruction atau WMD). Administrasi Bush menuduh bahwa Irak tidak mematuhi resolusi PBB yang mengharuskan negara itu untuk menghentikan program WMD dan menghancurkan semua persediaan yang ada.

Setelah serangan 11 September 2001, Amerika Serikat mengadopsi kebijakan agresif terhadap terorisme. Bush dan sekutunya menuduh ada hubungan antara Saddam Hussein dan Al-Qaeda, meski tuduhan ini diperdebatkan dan tidak menemukan bukti kuat. AS juga berargumen bahwa menggulingkan Saddam akan menyebarkan demokrasi di Timur Tengah.

 Meskipun banyak negara menentang invasi, AS membentuk koalisi internasional dengan sekutu seperti Inggris, Australia, dan Polandia, namun ditentang oleh banyak negara dan organisasi internasional, termasuk PBB, karena kurangnya bukti terkait WMD dan hubungan dengan terorisme.

Operasi dimulai pada 20 Maret 2003, dengan serangan udara besar-besaran yang dikenal sebagai "shock and awe" (kejutan dan ketakutan). Strategi ini bertujuan untuk menghancurkan kemampuan militer Irak dengan cepat dan menunjukkan kekuatan superior Amerika Serikat dan sekutunya.

Pasukan darat kemudian mulai bergerak dari selatan menuju Baghdad, ibu kota Irak. Pada awal April 2003, Baghdad jatuh ke tangan pasukan koalisi, Saddam Hussein melarikan diri dan kemudian bersembunyi.

Pada bulan Desember 2003, Saddam Hussein akhirnya ditangkap oleh pasukan Amerika Serikat di sebuah lubang bawah tanah di dekat kampung halamannya, Tikrit. Invasi berhasil menggulingkan rezim Saddam Hussein, yang berkuasa di Irak sejak 1979.

Ini menyebabkan runtuhnya struktur pemerintahan dan keamanan di negara tersebut, setelah jatuhnya Baghdad, Irak mengalami periode kekacauan dan ketidakstabilan. Penjarahan dan kerusuhan meluas, menunjukkan kelemahan kontrol koalisi atas situasi pasca perang.

Infrastruktur yang rusak dan ketidakmampuan untuk segera membangun kembali pemerintahan yang fungsional memperburuk situasi. Ketidakstabilan pasca-invasi memicu kekerasan sektarian antara kelompok Sunni dan Syiah, serta antara kelompok etnis Arab dan Kurdi.

Kekerasan ini sering kali dipicu oleh kelompok militan dan ekstremis, termasuk cabang Al-Qaeda di Irak yang kemudian berkembang menjadi ISIS (Islamic State of Iraq and Syria). Amerika Serikat dan sekutunya berusaha untuk membangun kembali Irak dan mendirikan pemerintahan baru yang demokratis.

 Namun, upaya ini menghadapi berbagai tantangan, termasuk korupsi, resistensi dari populasi lokal, dan serangan berkelanjutan dari kelompok militan. Invasi ini menyebabkan ketegangan dalam hubungan internasional, terutama antara Amerika Serikat dan negara-negara yang menentang invasi seperti Prancis, Jerman, dan Rusia.

Operasi Pembebasan Irak memperburuk citra kebijakan luar negeri Amerika Serikat di dunia dan menimbulkan biaya ekonomi serta kerugian manusia yang besar. Kondisi kemanusiaan di Irak memburuk, dengan ratusan ribu warga sipil tewas dan jutaan mengungsi.

Meski berhasil menggulingkan Saddam Hussein, invasi ini menyebabkan ketidakstabilan dan kekerasan yang berkelanjutan, serta alasan-alasan invasi banyak diperdebatkan dan dipertanyakan kebenarannya. Dampak dari invasi ini dirasakan hingga hari ini, tidak hanya di Irak tetapi juga dalam dinamika politik dan keamanan global.

 Invasi dan pendudukan Irak menelan biaya yang sangat besar bagi Amerika Serikat dan sekutunya. Biaya langsung yang dikeluarkan oleh pemerintah Amerika Serikat untuk operasi militer dan pendudukan diperkirakan mencapai triliunan dolar.

 Menurut laporan dari Kantor Anggaran Kongres AS (Congressional Budget Office), pada tahun-tahun awal invasi, biaya operasional tahunan bisa mencapai sekitar $100 miliar. Biaya ini mencakup logistik, peralatan militer, gaji prajurit, serta biaya perawatan medis bagi tentara yang terluka.

Selain biaya langsung, ada juga biaya tidak langsung yang signifikan. Ini termasuk pengeluaran untuk perawatan kesehatan bagi veteran yang menderita luka fisik dan gangguan mental akibat perang.

National Priorities Project memperkirakan bahwa biaya perawatan kesehatan bagi veteran Irak dan Afghanistan bisa mencapai ratusan miliar dolar dalam beberapa dekade mendatang. Selain itu, ada juga biaya terkait dengan dampak ekonomi domestik, seperti peningkatan defisit anggaran dan dampak pada ekonomi yang lebih luas karena pengalihan sumber daya yang signifikan untuk mendanai perang.

Bagi Irak, biaya ekonomi dari invasi dan pendudukan juga sangat besar. Infrastruktur negara hancur akibat serangan dan pengeboman, banyak fasilitas publik seperti rumah sakit, sekolah, dan instalasi listrik yang rusak atau hancur. 

Pemulihan dan rekonstruksi memerlukan investasi yang besar, yang sering kali terhambat oleh kondisi keamanan yang tidak stabil. Selain itu, sektor minyak Irak, yang menjadi tulang punggung ekonomi negara, mengalami gangguan besar-besaran akibat perang dan ketidakstabilan politik.

Konstruktivisme menekankan bagaimana norma internasional dan identitas nasional mempengaruhi keputusan politik. Dalam Operasi Pembebasan Irak, Amerika Serikat menggunakan identitasnya sebagai pelindung demokrasi dan penegak ketertiban global untuk membenarkan invasi demi menghapus ancaman WMD dan menyebarkan demokrasi.

Norma tentang non-proliferasi senjata nuklir dan hak asasi manusia juga menjadi justifikasi, dengan pemerintahan George W. Bush memanfaatkan retorika kepatuhan PBB dan memerangi terorisme pasca 11 September 2001 untuk mendapatkan dukungan. Perubahan dalam struktur politik global, seperti globalisasi dan penyebaran demokrasi, turut mempengaruhi tindakan AS.

Kemunculan aktor non-negara, seperti organisasi internasional dan kelompok advokasi hak asasi manusia, juga relevan dalam analisis konstruktivis. Banyak dari aktor ini menentang invasi dan mempertanyakan legitimasi tindakan Amerika Serikat, menunjukkan bagaimana norma dan identitas yang berbeda dapat mempengaruhi persepsi dan respons terhadap konflik internasional.

Konstruktivisme juga melihat pengalaman sejarah dan tindakan masa lalu sebagai faktor yang membentuk realitas sosial saat ini, seperti dalam kasus invasi 2003 yang dipengaruhi oleh sejarah hubungan antara Barat dan Timur Tengah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun