Perjalanan menjejaki seluruh pulau jawa akhirnya menemui titik terang. Sebuah resolusi yang gue buat sekitar dua tahun yang lalu, awal tahun 2013. Bayangin Gue butuh waktu dua tahun menunggu sampai hal semula yang hanya sebuah resolusi menjadi kenyataan, menjadi sesuatu yang lebih dari sebuah kata-kata yang Gue nyatain pada diri Gue sendiri dengan penuh keyakinan.
Ya, dari situ Gue belajar, bahwa semuanya tentang waktu dan penilaian Tuhan, sampai dimana Tuhan menilai kita pantas untuk semua impian kita.
Dan untungnya Gue gak milih menyerah untuk impian besar Gue. Andai aja Gue milih nyerah waktu itu, maka gak mungkin perjalanan ini bakal terjadi dalam hidup Gue, dan ketika tua, mungkin kalimat “Seadainya” ini yang bakal keluar dari mulut gue. Gue bersyukur.
v
Akhir 2015
Akhir 2015, beberapa hari sebelum tahun baru, dan setelah Gue disibukan dengan ujian akhir semester selama dua minggu, hari libur itu pun tiba. Selayaknya anak sekolahan, mahasiswa strata-2 kayak gue pun tetep kegirangan untuk sesuatu yang disebut dengan hari libur. Percis semacam anak kecil yang tersenyum setelah merengek dua jam dua puluh menit untuk sebuah balon, Gue pun demikian. Senyum Gue mengembang.
Gue sangat menginginkan perjalanan ini, namun keinginan itu gak Gue barengi dengan perancanaan yang matang. Persiapan Gue berantakan, bahkan di hari H tanggal keberangkatan, Gue masih disibukan dengan pekerjaan kantor Gue. Alhasil jadilah ini sebuah perjalanan menjejaki pulau jawa tanpa pertimbangan yang kentara alias nekad. Berhubung jiwa rantau Gue kental, pantang menyerah, dan selalu berkata bisa (dibaca takut malu karena sudah sesumbar ke teman-teman untuk menjelajah pulau jawa) perjalanan itu pun Gue mulai.
Pukul sepuluh pagi waktu Bandung, Gue udah siap menuju terminal. Satu tas gendong yang berisi peralatan pribadi pun sudah siap. Sebelum berangkat Gue pandangi tas yang baru Gue beli itu dengan seksama. Tubuhnya teronggoh, duduk lemas menunggu di samping lemari pakaian. Ia menatap Gue lemas, takut, dan bimbang, karena Ia bakal bersama seorang penjelajah pemula di belantara dunia ini, takut-takut kalau terjadi apa-apa. Takut Gue jual, kalau tiba-tiba Gue kehabisan duit diperjalanan. Takut kalau tiba-tiba tubuhnya mengambang disungai lalu menjadi objek berita yang mengesankan lagi memprihatinkan.
Gue yang Iba, membalas tatapannya dengan penuh hikmad, dalam hati Gue berujar. “Tenang kawan, kita pasti selamat kembali ke kota Kembang ini” Gue usap bahunya, lalu Gue cium.
Gue ambil tas kesayangan Gue itu, dan Gue pun berangkat menuju terminal Caheum.
v
Menuju Terminal
Jalan Bandung lowong gak seperti biasanya. Liburan sekolah telah menyulap, kemacetan yang biasanya selalu menjadi hadiah dijam-jam genting menjadi hilang, seperti kelinci didalam topi sang pesulup yang tiba-tiba saja lenyap, tertelan mesin waktu. Warga Bandung lebih memilih berlibur berdiam diri dirumah, ketimbang menempuh perjalanan jauh, tapi gak begitu dengan orang Jakarta mereka yang selalu menghadapi tekanan dimusim kerja, kalau libur begini selalu bikin macet jalan Tol, kemaren berdasarkan berita yang berterbangan dilangit,
macet di tol dari jakarta menuju bandung hingga puluhan killometer, tak ayal jarak tempuh Jakarta Bandung yang biasanya hanya 3 sampai 4 jam menjadi 10 jam. Jakarta ke Bandung 10 jam, Gue gak sanggup ngebayanginnya. Kemacetan luar biasa itu menurut Gue ini layak masuk buku rekor Indonesia, pertama dan cukup lah sekali terjadi di Indonesia, di jalan tol yang harusnya bebas hambatan.
Barang kali kalau ada ibu-ibu hamil yang terjebak dalam kemacetan itu, ketika pulang dari liburan anaknya udah jadi cabe-cabean. Pakai celana ketat, warna warni, lagi boncengan tiga sama cabe-cabean lainnya.
Biar dianggap kekininan, sengaja Gue ke terminal dengan mesen ojek online yang lagi ngetren. Gak ada salahnya juga sih nyambung tali rezeki ke orang lain, lagian males juga kalau harus naik angkot. Gak kuat Gue sama asam sulfat yang berasal dari ketek sopir angkot yang bikin mata Gue perih. Dari pada Gue harus operasi mata, mending Gue ngerelain 10.000 perak minggat dari dompet Gue.
Suasana terminal sama seperti musim liburan seperti biasanya. Penuh dan sesak. Ada yang turun dari angkot dengan barang bawaan yang memenuhi pinggang. Ibu-ibu sekitar 10 meter jaraknya dari Gue berdiri, tengah sibuk dibantu anak muda yang mungkin anaknya atau menantunya menurunkan barang-barangnya dari bagasi mobil.
Dua sejoli yang bentar lagi bakal berpisah, sicewek merah matanya pertanda kalau sang cewek gak akan kuat menahan rindu, si cowoknya juga sedih, sedih yang dibuat-buat alias penuh dengan kepuraan, dalam hati sang cowok girang, bakal bebas dari penindasan sang pacar. “Akhirnya”, Gue yakin kata itu yang terucap didalam hati sang cowok.
Tukang asongan berebut pembeli. Lari kesana kamari mencari alamat, maksud Gue kesana kemari ngejajain daganganya. Tukang “powerbank”, sengaja Gue sebut dengan Tukang “powerbank”,karena dagangan mereka bener-bener beda dari tukang asongan kebanyakan, karena berjualan minuman ataupun kacang yang terlalu mainstream, jadilah abang-abang ini memilih menjajakan “powerbank”.
“Powerbank Kang, langsung pakai, murah, bermerek” begitu terus berulang-ulang, sampai akhirnya Gue liat ada yang mulai nawar, baru sepersekian detik calon pembeli ngelongos pergi, tawar menawar gak menemui titik temu. Sang calon pembeli menjauhi, “Powerbank Kang, langsung pakai, murah, bermerek” kata abang-abangnya melanjutkan usaha.
Setelah menyaksikan itu semua, Gue langsung menuju loket. Loket ramai, antrian pajak tak terhitung. Sebagai warga negara yang baik Gue ikut antri dibelakang ibu-ibu yang sambil menggendong anak kecil. Anak kecil yang lagi lucu-lucunya itu tersenyum ke Gue,Gue balas senyumnya. Tampangnya menggemaskan, sebelas dua belaslah ama tampang Gue. Akhirnya, Gue beraniin buat menyentuh pipi anak kecil itu, Dia tersenyum, senyum, lalu nangis. Gue mulai kelabakan. Ibunya lalu menoleh ke Gue, mukanya ketus.
“Jangan gampar saya Bu, saya minta maaf” batin Gue memohon.
Pandangan Ibu-ibu itu masih ketus, makin ketus, Gue mulai takut. “Maafin anak saya Ya Mas, lagi demam soalnya, jadi agak cengeng” ucapnya, sambil tersenyum, senyum yang sama kali gak manis, walaupun Gue nyadar Ibu itu udah berusaha setengah mati biar keliatan manis.
Dalam hati Gue bersyukur. Gue selamat.
Lama antri, akhirnya tiba giliran Gue.
“Surabaya Kang, untuk satu orang” ucap Gue yakin,seyakin ketika pagi hari Gue pasti bakal boker.
“260.000 Kang, berangkatnya dua jam lagi ya Kang”
Gue ambil beberapa lembar duit di dompet Gue, Gue serahin dengan yakin, lalu tiket bis ke surabaya pun ada ditangan Gue. Gue gak nyangka, Gue nangis ditengah kerumunan, ngambil mic lalu ngucapin terimakasih ke orang tua Gue, lalu sujud syukur di lantai. #Tenang Gue gak selebai itu kok. Sumpah Gue gak gitu, tapi lari-lari ngelilingin terminal.
Gue terharu, ngerasa bangga dengan diri Gue sendiri. Besok dengan diluar dugaan Gue udah ada di Surabaya, kota yang belum pernah Gue kunjungi dan memang sudah lama pengen Gue kunjungi. Sebuah pencapaian. Walaupun banyak orang yang mungkin meraih pencapain yang lebih besar dari Gue. Tapi satu gal yang penting menurut Gue, bahwa bukan tentang besar atau kecilnya sebuah pencapain tapi tentang seberapa teguh kita untuk meraihnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H