Dengan mulai dari bentuk anjuran menghormati suami, tetapi juga diiringi dengan anjuran dan sikap menghormati perempuan.
Dengan mulai menawarkan berbagai kemungkinan ketentuan hukum yang berimplikasi memerdekakan budak, serta iming-iming keutamaan bagi siapa saja yang memerdekakan budaknya.
Itu semua adalah bagian dari step by step cara Islam mengangkat derajat kaum perempuan dan menghapus sepenuhnya praktik perbudakan.
 Jadi, penerimaan Al-Qur'an terhadap nada diskriminatif dan perbudakan tidak bersifat normatif, melainkan bersifat transisional dan kontekstual.
Oleh karena itu, hukum Islam dalam Al-Qur'an yang saat itu berlaku adalah hukum aktual dari cita-cita hukum ideal yang hanya diberlakukan dalam kondisi yang transisional, dan tentunya legislasi transisional pula yang berlaku.
Manakala millieu dimana perbudakan diterima telah mengalami perubahan dan tercipta millieu baru atas terhapusnya perbudakan, maka tidak dibenarkan diberlakukan lagi praktik perbudakan.
Begitupula, manakala millieu diskriminasi terhadap kaum perempuan telah hilang dan tercipta millieu baru atas adanya kesetaraan gender, maka tidak dibenarkan diberlakukan lagi hukum Islam yang bernada disktiminatif.
Memang pada masa Nabi, sahabat sampai abad pertengahan millieu ideal itu belum terwujud sepenuhnya. Sehingga produk hukum Islam yang lahir pada masa-masa tersebut masih memiliki sedikit nada diskriminatif dan legalisasi atas perbudakan.
Sementara itu, kreasi produk hukum Islam mujtahid abad pertengahan malahan menjadi sumber primer taklid buta bagi pemikir saat ini, maka wajar jika nada diskriminatif masih tercium dan perbudakan masih dibenarkan dalan produk wacana Islam saat ini.
Maka terjawablah pertanyaan mengapa sampai saat ini nada diskriminatif masih sering di jumpai. Jawabannya bukan karena millieu-nya yang belum memungkinkan munculnya kesetaraan gender. Tetapi karena memang pemikiran wacana keislamannya yang belum mengalami perkembangan dan kemajuan yang berarti.
---