Kedua, Nabi berpoligami setelah wafatnya Khadijah bukan tanpa alasan yang jelas. Beliau menikahi beberapa wanita untuk mengangkat harkat martabat dan dalam rangka memenuhi kebutuhan sosial ekonomi para wanita tersebut. Serta perlu diingat, wanita yang Nabi nikahi adalah para janda yang telah kehilangan belahan jiwa hidupnya. Sedangkan kita, mana mungkin mau berpoligami sama janda. Pasti maunya sama yang masih bening-bening dan unyu-unyu kan?.Â
Hanya satu wanita yang Nabi nikahi masih perawan, yaitu Siti Aisyah, yang itu pun ada alasan jelasnya, yaitu agar umat Nabi tidak salah paham bahwa yang Sunnah dinikahi itu hanya janda. Kalau sampai begitu, sungguh kasihanlah nasib para wanita perawan kelak. Jadi coba dibayangkan, 25 tahun Nabi bermonogami dan hanya 9 tahun berpoligami, kira-kira mana yang tingkat kesunnahannya paling jos?
Dalam konteks zaman sekarang ini, praktik poligami sudah tidak ada relevansinya lagi untuk diterapkan. Banyak faktor yang harus menjadi pertimbangannya. Bahkan realitanya, kemadharatan yang ditimbulkannya lebih banyak daripada kemaslahatannya.Â
Oleh karena itu, mencegah terjadinya kemadharatan yaitu dengan tidak berpoligami haruslah lebih didahulukan daripada menarik kemaslahatan dengan berpoligami. Jadi, benarkah poligami itu Sunnah Nabi? Jawabannya iya, dalam konteks Sunnah sebagi perbuatan yang dilakukan Nabi. Namun, justru hukum penerapannya bukan lagi sebagai Sunnah, tetapi sudah bergeser pada hukum mubah, makruh atau bahkan haram.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H