Mohon tunggu...
Muhammad Sabiq Hilmi
Muhammad Sabiq Hilmi Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - Santri

Alumni Perguruan Islam Mathali'ul Falah Kajen-Pati Sekarang nyantri di Pondok Pesantren Mamba'ul Ulum Pakis Tayu

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Tak Ada Hari Libur

1 April 2024   20:24 Diperbarui: 1 April 2024   23:49 269
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

2 Bulan sudah ia menetap di tempat ini, tempat yang tak diinginkan seorang remaja tanggung bernama Ahmad yang terpaksa mengikuti kehendak orang tuanya memondokkan anaknya di pesantren ini. Hari harinya terpaksa ia jalani dengan berat hati.


“apa aku pulang aja ya, kayaknya pondok ini nggak cocok buatku, sungguh aku tak betah tinggal disini!” batinnya ragu tak menentu.


Memang pondok ini termasuk pondok salaf yang setiap hari hanya diisi dengan mengaji dan musyawarah. Bayangkan saja, pengajian kitab dilaksanakan 5 kali sehari selepas sholat maktubah ditambah jam wajib musyawarah dan belajar. Mungkin itu yang menjadi alasan Ahmad tidak betah berlama disini.

**

Seperti hari biasanya. Ada pengajian kitab kuning dengan Mbah Kyai sore itu. Dengan membopong kitab serta bolpoin yang aku selipkan disaku kemejaku, aku mulai berjalan malas-malasan menuju majelis pengajian seolah memang sudah tak ada hasrat untuk mengaji lagi.

Belum sempat aku melepas sandalku, dari kejauhan Nampak seorang lelaki tua mengayuh sepeda ontel yang juga semakin tua menuju kearahku.

Dengan langkah sangat hati-hati, ia senderkan sepeda tuanya itu disamping pohon mangga. Usianya sekitar tujuh puluh tahun. Rambutnya putih merata, kulitnya keriput dari mulai wajah. Nampak ada rasa kebahagiaan dibalik raut wajahnya yang semakin tua.

“Mungkin mau menjenguk anaknya atau bahkan cucunya yang mondok disini” batinku menebak nebak.

Tapi dugaanku langsung terbantahkan setelah mengetahui bahwa kakek tua tadi ternyata membawa tas kecil berisi kitab yang sama denganku. Ya, dia mengikuti pengajian disini bersama santri lain.

Dengan langkah yang tertatih-tatih kakek tua itu bergegas menuju saka paling belakang dekat dengan pengeras suara, ia keluarkan kitab dan bolpoinnya, dan meletakkan tas kecil disamping meja. Pengajian kitab pun dimulai.

Selama pengajian dimulai, tak henti-hentinya aku mengamati kakek tua itu. Aku masih merasa heran saja dengan umur yang sudah semakin senja, kakek itu masih semangat mengaji layaknya santri baru.

Kuamati, fokusnya hanya tertuju pada deretan tulisan arab kecil dan dengan teliti dan hati-hati, ia maknani apa yang dibacakan Mbah Kyai. Sungguh tak pernah aku melihat pemandangan semenakjubkan ini!

**

Pengajian selesai dan para santri berbondong-bondong kembali ke kamar masing-masing. Belum hilang keheranan tadi, sekarang muncul keheranan baru lagi. Saat berjalan menuju teras majelis, aku melihat kakek tua itu nampak mendekati santri lain dan meminta membacakan makna yang tertinggal.

Dengan senang hati, santri itupun membacakan makna yang ia minta dan ia tulis dengan sangat teliti.

Sengaja kudekati karena penasaran seperti apa isi kitabnya. Benar saja, kitabnya gelap saking lengkapnya makna yang ia tulis. Bahkan ia tak melewatkan satu huruf yang masih kosong. Seketika itu, aku langsung teringat dawuh Mbah Kyai ketika pertama kali ngaji disini “petenge kitab padange ati.”

**

Sekembalinya ke kamar, aku masih terngiang-ngiang dengan kakek tua tadi. Karena belum tahu siapa kakek tua itu, akhirnya aku tanyakan pada santri senior dikamarku, Kang Asrul.

“Kang, kakek tua yang ikut mengaji disini itu siapa namanya? Tak pernah aku melihat ada seorang kakek yang bersemangat sekali untuk mengaji” tanyaku dengan penuh penasaran.

“Ohhh… tadi itu Mbah Dul panggilan akrab disini, dia termasuk santri kalongnya Mbah Yai paling sepuh disini karena sudah ikut mengaji dari jaman pondok ini masih berupa gubuk” jawabnya.

Jawaban itu seakan masih belum memuaskan isi kepalaku, aku masih penasaran akan motivasi apa yang membuat Mbah Dul bisa semangat dan istiqomah mengaji sampai sekarang. Dengan umurnya yang sudah sangat sepuh, ia tetap istiqomah dan semangat mengaji setiap hari.

**

Semenjak hari itu aku pasti menjumpai Mbah Dul mengaji di tempat yang sama setiap harinya.

Karena rasa penasaran yang begitu memuncak ini dan banyaknya pertanyaan yang muncul dikepalaku, aku beranikan diri bertanya kepada Mbah Dul selepas penat ngaji sore hari.

“Mbah, sampean kok bisa semangat dan istiqomah ngaji disini itu kuncinya apa? Padahal kan sudah sepuh begini, kenapa nggak istirahat saja?” tanyaku ragu dengan Bahasa yang sopan.

Lama Mbah Dul mengamati aku dengan penuh perhatian , seakan pertanyaan yang aku lontarkan tak seharusnya ditanyakan. Tapi mau bagaimana lagi? Aku sungguh sangat penasaran.

Ada sedikit penyesalan dalam diriku karena berani mempertanyakan hal itu. Tapi setelahnya, senyum itu nampak keluar dari raut wajahnya, senyumnya mengembang dan mententramkan bagi siapapun orang yang melihatnya.

Dengan nada yang lirih beliau pun menjawab “Ngaji itu ndak ada liburnya kang, walau sudah tua, walau fisik sudah melemah dan sudah saatnya untuk istirahat, tetap saja ngaji itu ndak ada liburnya.”

Diam sejenak seolah mengingat sesuatu, Mbah Dul melanjutkan dengan menyitir sebuah hadist yang masyhur “Utlubul ‘ilma minal mahdi ilal lahdi” tuntutlah ilmu sejak dari buaian sampai liang lahat, ndak ada batasan umur kanggone wong seng ngaji kang.

Seketika aku tertegun sekaligus takjub mendengar jawaban itu. Batinku terasa tercabik-cabik karena malu dengan diriku sendiri. Selama ini, hanya rasa malas yang menguasai jiwaku. Aku masih remaja dan fisikku pun masih kuat. Tapi, semangat dan keistiqomahanku kalah telak dengan Mbah Dul yang sudah sangat sepuh.

Sejak hari itu, aku mulai menata kembali niatku mondok disini. Walau memang mondok bukan kehendakku, tapi aku yakin orang tuaku pasti sudah memberikan jalan yang terbaik buatku disini. Aku sadar masih banyak kekurangan dalam diriku, tapi semua belum terlambat untuk aku perbaiki.

Beliau selalu kujadikan teladan disetiap aktivitas harian ku. Ketika rasa malas itu muncul, aku langsung teringat dengannya dan seketika rasa malas pun hilang tergantikan semangat yang menggebu gebu untuk mengaji dan tholabul ‘ilmi.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun