Selama pengajian dimulai, tak henti-hentinya aku mengamati kakek tua itu. Aku masih merasa heran saja dengan umur yang sudah semakin senja, kakek itu masih semangat mengaji layaknya santri baru.
Kuamati, fokusnya hanya tertuju pada deretan tulisan arab kecil dan dengan teliti dan hati-hati, ia maknani apa yang dibacakan Mbah Kyai. Sungguh tak pernah aku melihat pemandangan semenakjubkan ini!
**
Pengajian selesai dan para santri berbondong-bondong kembali ke kamar masing-masing. Belum hilang keheranan tadi, sekarang muncul keheranan baru lagi. Saat berjalan menuju teras majelis, aku melihat kakek tua itu nampak mendekati santri lain dan meminta membacakan makna yang tertinggal.
Dengan senang hati, santri itupun membacakan makna yang ia minta dan ia tulis dengan sangat teliti.
Sengaja kudekati karena penasaran seperti apa isi kitabnya. Benar saja, kitabnya gelap saking lengkapnya makna yang ia tulis. Bahkan ia tak melewatkan satu huruf yang masih kosong. Seketika itu, aku langsung teringat dawuh Mbah Kyai ketika pertama kali ngaji disini “petenge kitab padange ati.”
**
Sekembalinya ke kamar, aku masih terngiang-ngiang dengan kakek tua tadi. Karena belum tahu siapa kakek tua itu, akhirnya aku tanyakan pada santri senior dikamarku, Kang Asrul.
“Kang, kakek tua yang ikut mengaji disini itu siapa namanya? Tak pernah aku melihat ada seorang kakek yang bersemangat sekali untuk mengaji” tanyaku dengan penuh penasaran.
“Ohhh… tadi itu Mbah Dul panggilan akrab disini, dia termasuk santri kalongnya Mbah Yai paling sepuh disini karena sudah ikut mengaji dari jaman pondok ini masih berupa gubuk” jawabnya.
Jawaban itu seakan masih belum memuaskan isi kepalaku, aku masih penasaran akan motivasi apa yang membuat Mbah Dul bisa semangat dan istiqomah mengaji sampai sekarang. Dengan umurnya yang sudah sangat sepuh, ia tetap istiqomah dan semangat mengaji setiap hari.