Mohon tunggu...
Sabilla Oktaviano Safitri
Sabilla Oktaviano Safitri Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa/Akuntansi/Universitas Mercu Buana

Mahasiswa Sarjana Akuntansi - NIM 43223010021 - Program Studi S1 Akuntansi - Fakultas Ekonomi dan Bisnis - Pendidikan Anti Korupsi dan Etik UMB - Dosen: Apollo, Prof. Dr, M.Si.Ak

Selanjutnya

Tutup

Analisis

Kemampuan Memimpin Diri dan Upaya Pencegahan Korupsi dan Etik Keteladanan Mahatma Gandhi

17 Desember 2024   19:16 Diperbarui: 17 Desember 2024   19:25 64
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

            Definisi Kepemimpinan Diri adalah kemampuan individu untuk mengarahkan, mengelola, dan memotivasi dirinya sendiri untuk mencapai tujuan pribadi maupun profesional dengan nilai-nilai integritas, tanggung jawab, dan disiplin yang tinggi. Kepemimpinan diri mencakup pemahaman yang mendalam terhadap kekuatan, kelemahan, dan potensi diri serta kemampuan untuk mengambil keputusan yang bijak dalam berbagai situasi.

            Menurut Bryant dan Kazan (2012) dalam bukunya "Self-Leadership: How to Become a More Successful, Efficient, and Effective Leader from the Inside Out", kepemimpinan diri didefinisikan sebagai:

"Self-leadership is the process by which individuals control their own behavior, influence themselves to achieve their objectives, and take responsibility for their own actions and development."

(Kepemimpinan diri adalah proses di mana individu mengendalikan perilaku mereka sendiri, memengaruhi diri mereka untuk mencapai tujuan, serta mengambil tanggung jawab atas tindakan dan perkembangan pribadi mereka).

            Kepemimpinan diri memegang peran penting dalam pencegahan korupsi karena individu yang mampu memimpin dirinya sendiri memiliki integritas, disiplin, dan tanggung jawab yang tinggi. Kepemimpinan diri membantu individu untuk:

  • Membangun Kesadaran Moral dan Etika

Individu yang memiliki kemampuan memimpin diri akan lebih peka terhadap nilai-nilai moral dan etika, sehingga lebih mudah menolak godaan korupsi. Mereka memiliki prinsip hidup yang kuat dan memahami dampak negatif dari tindakan tidak jujur terhadap diri sendiri dan masyarakat.

  • Mengendalikan Diri dari Godaan Korupsi

Kepemimpinan diri mengajarkan individu untuk memiliki kontrol terhadap emosi, perilaku, dan keputusan. Individu yang memiliki self-control lebih cenderung mengambil keputusan yang berlandaskan moralitas dan kepentingan bersama, bukan kepentingan pribadi.

  • Menumbuhkan Rasa Tanggung Jawab

Individu yang memiliki kemampuan kepemimpinan diri memahami pentingnya bertanggung jawab atas tindakan yang mereka lakukan. Rasa tanggung jawab ini akan mencegah mereka untuk melakukan penyalahgunaan wewenang atau tindakan korupsi.

  • Memberi Teladan bagi Orang Lain

Individu dengan kepemimpinan diri yang kuat akan menjadi contoh yang baik dalam menegakkan integritas dan antikorupsi. Ketika individu mampu menunjukkan perilaku bersih dan beretika, ia akan menginspirasi orang lain untuk melakukan hal serupa.

Menurut Covey (2004) dalam bukunya "The 7 Habits of Highly Effective People", kepemimpinan diri adalah tentang:

"Taking responsibility for our own actions, decisions, and lives by being proactive rather than reactive."

(Mengambil tanggung jawab atas tindakan, keputusan, dan hidup kita sendiri dengan bersikap proaktif daripada reaktif).

Sikap proaktif yang dimaksud oleh Covey dapat mendorong individu untuk:

  • Menolak tindakan korupsi sejak awal.
  • Mengambil keputusan berdasarkan nilai-nilai etika dan integritas.
  • Menjadi agen perubahan di lingkungannya.

            Sementara itu, UNODC (United Nations Office on Drugs and Crime) dalam "Anti-Corruption Ethics and Compliance Handbook for Business" menyatakan bahwa:

"A culture of integrity starts with individual leadership and accountability, where individuals are aware of their ethical responsibilities and act accordingly to prevent corruption."

(Budaya integritas dimulai dari kepemimpinan dan akuntabilitas individu, di mana individu menyadari tanggung jawab etis mereka dan bertindak sesuai untuk mencegah korupsi).

            Hal ini menegaskan bahwa kepemimpinan diri adalah fondasi penting untuk membangun budaya antikorupsi di semua level, baik individu maupun organisasi.

            Kepemimpinan diri dapat dibangun melalui proses yang berkesinambungan dan reflektif. Berikut adalah langkah-langkah untuk membangun kepemimpinan diri:

  • Mengenali Diri Sendiri
  • Langkah pertama dalam membangun kepemimpinan diri adalah pemahaman terhadap diri sendiri. Ini mencakup:
  • Mengetahui kekuatan dan kelemahan diri.
  • Mengenali nilai-nilai pribadi yang mendasari tindakan.
  • Menetapkan visi dan tujuan hidup yang jelas.

      Menurut Goleman (1998) dalam "Working with Emotional Intelligence", kesadaran diri (self-awareness) adalah kunci utama untuk kepemimpinan efektif. Goleman menyatakan:

"Self-awareness is the ability to recognize and understand your moods, emotions, and drives, as well as their effect on others."

(Kesadaran diri adalah kemampuan untuk mengenali dan memahami suasana hati, emosi, dan dorongan pribadi, serta dampaknya pada orang lain).

  • Menetapkan Tujuan yang Jelas (Goal Setting)

Kepemimpinan diri dibangun melalui kemampuan untuk menetapkan tujuan yang spesifik, terukur, realistis, dan berbatas waktu (prinsip SMART). Dengan tujuan yang jelas, individu dapat fokus dan termotivasi untuk bergerak ke arah yang benar.

Menurut Locke dan Latham (2002) dalam Goal-Setting Theory, penetapan tujuan yang spesifik akan mendorong individu untuk bekerja lebih efektif dan terarah.

"Specific and challenging goals lead to higher performance compared to vague or easy goals."

(Tujuan yang spesifik dan menantang akan meningkatkan kinerja dibandingkan tujuan yang samar atau mudah).

  • Membangun Disiplin dan Pengendalian Diri

Disiplin adalah fondasi utama dalam kepemimpinan diri. Hal ini mencakup:

  • Konsistensi dalam menjalankan rencana dan komitmen.
  • Kemampuan untuk mengendalikan godaan dan menunda kepuasan demi tujuan jangka panjang.

Menurut Manz (1986) dalam konsep Self-Leadership Theory:

"Self-leadership involves self-discipline and self-influence to achieve tasks that may not always be naturally motivating."

(Kepemimpinan diri melibatkan disiplin diri dan pengaruh diri untuk menyelesaikan tugas yang mungkin tidak selalu memotivasi).

  • Mengembangkan Kebiasaan Positif

Kepemimpinan diri dibentuk melalui kebiasaan kecil yang dilakukan secara konsisten, seperti:

  • Membaca dan belajar secara rutin.
  • Berlatih refleksi diri untuk mengevaluasi perilaku dan progres.
  • Mengembangkan sikap proaktif dalam menghadapi masalah.

Stephen Covey (2004) dalam "The 7 Habits of Highly Effective People" menekankan pentingnya membangun kebiasaan positif. Salah satunya adalah:

"Be proactive---take responsibility for your life and decisions."

(Bersikap proaktif---ambil tanggung jawab atas hidup dan keputusan Anda).

  • Melatih Ketegasan dan Pengambilan Keputusan

Kepemimpinan diri membutuhkan kemampuan untuk mengambil keputusan secara tegas dan bijak. Langkah ini mencakup:

  • Menilai informasi dan situasi dengan objektif.
  • Berani mengatakan "tidak" pada hal yang bertentangan dengan nilai-nilai pribadi.
  • Menghadapi konsekuensi dari setiap keputusan dengan tanggung jawab.

Menurut Blanchard (2005) dalam "Self Leadership and the One Minute Manager", ketegasan adalah bagian penting dari kepemimpinan diri:

"Leaders need to exercise clarity in decision-making to guide themselves and others."

(Pemimpin perlu memiliki kejelasan dalam pengambilan keputusan untuk memandu diri mereka dan orang lain).

            Gandhi lahir dalam keluarga Hindu di Gujarat, India. Pada usia 19 tahun, ia pergi ke London untuk belajar hukum di University College London. Setelah menyelesaikan studinya, Gandhi kembali ke India namun gagal membangun karier sebagai pengacara. Pada tahun 1893, ia pindah ke Afrika Selatan untuk bekerja sebagai pengacara.

            Di Afrika Selatan, Gandhi menyaksikan diskriminasi rasial terhadap orang India. Pengalaman ini menjadi titik balik dalam hidupnya dan mendorongnya untuk mulai memimpin perjuangan melawan diskriminasi dengan cara damai. Di sinilah konsep Ahimsa (tanpa kekerasan) dan Satyagraha (perlawanan tanpa kekerasan) pertama kali diterapkan.

            Pada tahun 1915, Gandhi kembali ke India dan bergabung dengan gerakan kemerdekaan India melawan penjajahan Inggris. Gandhi memimpin berbagai aksi damai dan gerakan, seperti:

  • Gerakan Non-Kooperasi (1920-1922): Gandhi mengajak rakyat India untuk memboikot produk dan institusi kolonial.
  • Salt March (Dandi March) 1930: Sebuah aksi protes menentang monopoli Inggris terhadap garam, di mana Gandhi berjalan sejauh 240 mil untuk membuat garam sendiri sebagai simbol perlawanan.
  • Gerakan Quit India (1942): Gandhi menyerukan agar Inggris segera meninggalkan India dan memberikan kemerdekaan.

            Gandhi selalu menekankan metode perlawanan damai dan menolak kekerasan dalam perjuangannya.

            Gandhi dikenal dengan filosofi hidupnya yang berfokus pada:

  • Ahimsa (Tanpa Kekerasan): Keyakinan bahwa kekerasan bukanlah solusi dan perdamaian bisa dicapai melalui kasih sayang.
  • Satya (Kebenaran): Mengutamakan kejujuran dalam setiap tindakan dan ucapan.
  • Swaraj (Pemerintahan Diri): Kemandirian dan kebebasan dari pengaruh asing.
  • Filosofi ini tidak hanya menginspirasi rakyat India tetapi juga tokoh-tokoh dunia seperti Martin Luther King Jr. dan Nelson Mandela.

            Pada 30 Januari 1948, Mahatma Gandhi dibunuh oleh Nathuram Godse, seorang ekstremis Hindu yang tidak setuju dengan pandangan Gandhi mengenai toleransi antaragama. Kematian Gandhi menjadi kehilangan besar bagi dunia, tetapi warisannya tetap hidup melalui prinsip-prinsip damai dan perjuangan tanpa kekerasan. Warisan Gandhi tetap menginspirasi gerakan sosial, politik, dan hak asasi manusia di seluruh dunia. Metode perlawanan tanpa kekerasan yang ia ciptakan telah digunakan sebagai alat perubahan di berbagai negara. Mahatma Gandhi adalah sosok yang dikenal sebagai pemimpin besar dengan prinsip hidup yang kuat dan teguh. Nilai-nilai keteladanan Gandhi tidak hanya berdampak pada perjuangan kemerdekaan India, tetapi juga menginspirasi gerakan perdamaian dan antikekerasan di seluruh dunia. Berikut adalah nilai-nilai keteladanan Mahatma Gandhi:

            Ahimsa merupakan prinsip utama yang dipegang teguh oleh Gandhi. Ia percaya bahwa kekerasan hanya akan melahirkan penderitaan dan kebencian. Sebaliknya, perlawanan damai akan membawa perubahan yang lebih bermakna dan langgeng. Gandhi menerapkan Ahimsa dalam berbagai gerakan seperti Salt March (1930) dan Gerakan Non-Kooperasi, di mana rakyat India melakukan perlawanan dengan cara damai dan tidak merusak fasilitas umum. Gandhi memegang prinsip Satya atau kebenaran sebagai landasan utama dalam setiap tindakan dan perkataan. Menurutnya, kejujuran adalah bentuk penghormatan terhadap diri sendiri dan orang lain. Ia selalu menekankan pentingnya berkata dan bertindak jujur meskipun berada dalam situasi sulit. Gandhi tidak pernah berbohong, bahkan ketika ia menghadapi tekanan dari pihak kolonial Inggris.

            Swaraj adalah konsep Gandhi tentang pemerintahan diri yang mencakup kebebasan politik, ekonomi, dan spiritual. Menurutnya, kemandirian individu dan masyarakat adalah kunci untuk mencapai kebebasan sejati. Gandhi mendorong rakyat India untuk mandiri dengan memboikot produk Inggris dan memproduksi kebutuhan sendiri. Melalui kampanye Swadeshi, Gandhi mendorong penggunaan produk lokal seperti pakaian khadi (buatan tangan) untuk membebaskan India dari ketergantungan pada produk Inggris.

            Gandhi hidup dalam kesederhanaan sebagai bentuk pengendalian diri. Ia percaya bahwa kehidupan yang sederhana akan membantu seseorang fokus pada nilai-nilai moral dan spiritual, serta menjauhkan dari keserakahan dan materialisme. Gandhi mengenakan pakaian sederhana seperti dhoti dan hidup tanpa kemewahan, meskipun ia memiliki pengaruh besar di masyarakat. Gandhi menunjukkan keteguhan luar biasa dalam menghadapi berbagai tantangan. Meskipun sering ditangkap dan dipenjara oleh pihak kolonial, ia tidak pernah menyerah dan tetap berjuang dengan damai.

            Dalam perjuangan Quit India Movement (1942), meskipun banyak hambatan, Gandhi tetap teguh menyerukan Inggris untuk meninggalkan India. Gandhi percaya bahwa hidup yang bermakna adalah hidup yang didedikasikan untuk melayani orang lain. Ia mendorong pengorbanan pribadi demi kesejahteraan bersama. Gandhi selalu berada di tengah-tengah rakyatnya, mendengarkan keluhan mereka, dan memperjuangkan hak-hak rakyat kecil. Gandhi selalu memperjuangkan persatuan di tengah perbedaan agama, suku, dan budaya. Baginya, toleransi adalah dasar untuk membangun masyarakat yang harmonis. Gandhi berupaya mendamaikan ketegangan antara umat Hindu dan Muslim di India melalui pendekatan dialog dan toleransi.

            Mahatma Gandhi adalah sosok yang dikenal dengan kejujuran, kesederhanaan, moralitas, dan perjuangan tanpa kekerasan. Prinsip etik dan antikorupsi dalam pemikiran Gandhi berakar dari nilai-nilai universal seperti kebenaran (Satya) dan tanpa kekerasan (Ahimsa), yang menjadi inti dari filosofi hidupnya. Gandhi percaya bahwa korupsi dan pelanggaran etik muncul akibat ketamakan, egoisme, dan hilangnya moralitas dalam kepemimpinan.

            Gandhi menjunjung tinggi Satya atau kebenaran sebagai prinsip utama kehidupan. Bagi Gandhi, kejujuran adalah pondasi dari perilaku etis yang harus dimiliki oleh setiap individu, terutama para pemimpin. Korupsi adalah bentuk pengkhianatan terhadap nilai kebenaran. Gandhi percaya bahwa setiap tindakan korupsi adalah bentuk kebohongan yang melukai kepercayaan masyarakat. Oleh karena itu, ia menekankan pentingnya transparansi dan akuntabilitas dalam kepemimpinan. Prinsip Ahimsa tidak hanya berarti menghindari kekerasan fisik, tetapi juga kekerasan moral seperti korupsi. Menurut Gandhi, korupsi adalah bentuk kekerasan struktural yang merugikan masyarakat luas, terutama kelompok lemah dan miskin. Integritas moral, kesederhanaan, dan kepedulian terhadap kesejahteraan masyarakat harus menjadi pegangan dalam kehidupan pribadi dan profesional.

            Gandhi hidup dengan penuh kesederhanaan dan menolak segala bentuk kemewahan. Menurutnya, keserakahan adalah akar dari korupsi dan pelanggaran etik. Dengan hidup sederhana, seseorang dapat menjaga dirinya dari godaan untuk mencari keuntungan pribadi dengan cara yang tidak etis. Gandhi menekankan bahwa seorang pemimpin harus menjadi teladan dalam hal kesederhanaan dan tidak terjebak dalam gaya hidup mewah yang bisa mendorong perilaku korupsi. Konsep Swaraj menurut Gandhi tidak hanya berarti kebebasan politik, tetapi juga pemerintahan diri yang berlandaskan akuntabilitas dan tanggung jawab moral. Gandhi mengkritik kepemimpinan yang tidak transparan dan mengeksploitasi kekuasaan untuk kepentingan pribadi. Dalam konteks ini, Gandhi mendorong kepemimpinan yang jujur, melayani rakyat, dan bebas dari penyalahgunaan kekuasaan.

            Gandhi percaya bahwa upaya pemberantasan korupsi harus dimulai dengan pendidikan moral dan reformasi diri. Setiap individu harus memiliki kesadaran untuk menjadi pribadi yang jujur, bertanggung jawab, dan memiliki integritas tinggi. Menurut Gandhi, agen perubahan dalam pencegahan korupsi dimulai dari diri sendiri. Keteladanan pribadi akan menginspirasi orang lain untuk mengikuti prinsip etis yang sama. Bagi Gandhi, kepemimpinan sejati adalah melayani masyarakat, bukan mencari keuntungan pribadi. Korupsi terjadi ketika pemimpin gagal melihat kepentingan rakyat sebagai prioritas utama.

Referensi:

Brown, J. M. (2008). Gandhi: Prisoner of Hope. Yale University Press.

Bryant, A., & Kazan, A. L. (2012). Self-Leadership: How to Become a More Successful, Efficient, and Effective Leader from the Inside Out. McGraw-Hill Education.

Covey, S. R. (2004). The 7 Habits of Highly Effective People. Free Press.

Covey, S. R. (2004). The 7 Habits of Highly Effective People: Powerful Lessons in Personal Change. Free Press.

Encyclopedia Britannica. (2020). Mahatma Gandhi. Retrieved from www.britannica.com.

Fischer, L. (1950). The Life of Mahatma Gandhi. Harper & Brothers.

Gandhi, M. K. (1927). The Story of My Experiments with Truth. Navajivan Publishing House.

Goleman, D. (1998). Working with Emotional Intelligence. Bantam Books.

Locke, E. A., & Latham, G. P. (2002). Building a Practically Useful Theory of Goal Setting and Task Motivation. American Psychologist.

Manz, C. C. (1986). Self-Leadership: Toward an Expanded Theory of Self-Influence Processes in Organizations. Academy of Management Review.

Pink, D. H. (2009). Drive: The Surprising Truth About What Motivates Us. Riverhead Books.

Schon, D. A. (1983). The Reflective Practitioner: How Professionals Think in Action. Basic Books.

Transparency International. (2020). Building Integrity Through Individual Leadership.

United Nations Office on Drugs and Crime (UNODC). (2013). Anti-Corruption Ethics and Compliance Handbook for Business.

(2)
(2)
(3)
(3)
(4)
(4)
(5)
(5)
(6)
(6)
(7)
(7)
(8)
(8)
(9)
(9)
(10)
(10)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun