Dalam kasus E-KTP, diskresi yang diberikan kepada pejabat terkait sangat luas tanpa adanya pengawasan ketat. Hal ini terlihat jelas dalam proses penentuan pemenang proyek yang dilakukan dengan minimnya keterbukaan dan evaluasi dari pihak independen.Â
Kondisi ini membuka celah bagi praktik penggelembungan anggaran, di mana harga barang dan jasa yang disediakan tidak mencerminkan nilai sebenarnya. Selain itu, rendahnya tingkat akuntabilitas turut memperparah situasi. Tidak ada mekanisme audit yang efektif selama proses pengadaan berlangsung, sehingga penyimpangan dapat terus terjadi tanpa terdeteksi.Â
Evaluasi proyek juga tidak dilakukan secara menyeluruh, sehingga pihak-pihak yang terlibat tidak merasa perlu bertanggung jawab atas hasil kerja mereka. Kombinasi antara diskresi yang terlalu besar dan lemahnya akuntabilitas ini menjadi fondasi utama bagi berkembangnya skandal korupsi E-KTP.
Analisis Berdasarkan Bologna  Â
1. KesempatanÂ
Dalam kasus E-KTP, para pejabat yang terlibat memiliki akses langsung terhadap anggaran negara yang sangat besar dengan pengawasan yang minim. Kondisi ini menciptakan peluang besar bagi terjadinya penyimpangan, terutama karena tidak adanya sistem pengendalian yang kuat untuk memantau alokasi dan penggunaan dana proyek.Â
Pengawasan yang lemah membuat para pelaku merasa leluasa untuk mengatur proyek sesuai kepentingan pribadi atau kelompok mereka. Misalnya, dana yang seharusnya digunakan untuk membeli perangkat dan layanan berkualitas justru dialihkan ke dalam bentuk suap atau pembagian keuntungan ilegal di antara pihak-pihak terkait.Â
Dengan akses langsung ke dana sebesar Rp5,9 triliun, para pejabat yang memiliki wewenang dapat dengan mudah menyembunyikan aliran dana yang tidak sesuai tanpa takut terdeteksi, karena tidak ada mekanisme transparansi yang mengharuskan mereka mempertanggungjawabkan setiap pengeluaran secara detail.Â
2. Tekanan dan RasionalisasiÂ
Selain kesempatan, tekanan dari atasan juga menjadi faktor penting yang memicu korupsi dalam proyek E-KTP. Beberapa pihak yang terlibat dalam pengadaan proyek mengaku merasa terdesak untuk memenuhi target tertentu dalam waktu singkat, bahkan jika hal itu mengharuskan mereka melanggar prosedur atau mengabaikan regulasi yang berlaku.Â
Tekanan ini sering kali disertai ancaman implisit terhadap posisi atau karier mereka, sehingga mereka merasa tidak memiliki pilihan lain selain mengikuti arahan yang diberikan, meskipun hal itu tidak etis. Dalam situasi seperti ini, para pelaku kemudian merasionalisasi tindakan mereka dengan alasan bahwa pembagian komisi dari proyek adalah "bagian wajar" dari praktik bisnis.Â