Hal ini menjadi rumit dengan segala tantangan yang dihadapi Saksi Mata dalam memberikan kesaksiannya. Segala kerumitan itu hanya membuktikan keteguhan hatinya untuk mendapatkan keadilan bagi korban pembantaian dan mungkin juga baginya, setelah apa yang dialaminya.Â
Jalan yang sederhana tidak ditempuh pengarang dengan misalnya, melanjutkan jalannya persidangan sehingga keadilan terpenuhi dan Saksi Mata tidak harus pulang dan kehilangan lidahnya. SGA hendak menempatkan pembela rakyat -- pembela keadilan -- dalam posisi seterpuruknya sebagaimana jika hal demikian terjadi di dunia nyata.
Simpulan, SGA melakukan pengembangan dalam Saksi Mata dengan menjadikan Insiden Dili, isu sensitif di masa Orde Baru, sebagai tema cerpennya. Penerbitan Saksi Mata di salah satu masa terkelam Indonesia dapat dikatakan menjadi motivasi bagi pengarang lain untuk tidak takut mengungkap kebenaran meski hanya melalui sastra.Â
Meskipun demikian, gaya penulisan SGA dalam karya-karya lamanya masih terlihat pada Saksi Mata terutama dalam pemilihan topik kriminalitas dan akhiran gantung.Â
Inovasi atau kebaruan yang dilakukan SGA, menurut saya, hanya terdapat pada pemilihan insiden yang sebetulnya "haram" dibahas serta kontroversial. Sebagai jurnalis, wajar jika tulisan-tulisannya berpusat pada urusan kriminalitas meski ia juga beberapa kali mengangkat tema yang sederhana -- mundane -- seperti Manusia Kamar.Â
Keseluruhan unsur intrinsik Saksi Mata sudah padu. Namun, terdapat beberapa ketidakpaduan yang cenderung tidak logis mengenai pencongkelan mata dan pencatutan lidah yang terjadi di mimpi. Barangkali ketidakpaduan tersebut menyimpan pesan tersirat dari pengarang yang pembahasannya di luar kapasitas tulisan ini. Bagi saya, sah-sah saja jika pengarang menginginkan pembacanya untuk berpartisipasi.
Konflik dalam Saksi Mata diselesaikan pengarang dengan akhiran gantung, di sanalah letak kerumitan dari cerpen ini. Bagi saya, akhiran gantung dalam Saksi Mata menggambarkan ketidakpastian nasib seseorang yang berpihak pada keadilan, sehingga semuanya dipersulit. Kerumitan ini nyatanya relevan dengan dunia nyata.
Apakah Saksi Mata termasuk karya sastra yang baik? Dengan mempertimbangkan segala hal yang telah diperbincangkan di atas, "Ya" adalah jawaban saya. Saksi Mata memang merupakan cerpen yang "khas Seno", tapi lebih dari itu, cerpen ini berperan penting dalam memperluas cakrawala dunia sastra di masa tersulit sekalipun.
Referensi:
Ajidarma, Seno Gumira. 2010. Trilogi Insiden. Yogyakarta: PT Bentang Pustaka.Â
Ajidarma, Seno Gumira. 2016. Saksi Mata. Yogyakarta: PT Bentang Pustaka.