Mohon tunggu...
Sabila Hayuningtyas
Sabila Hayuningtyas Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Ilmu Komunikasi UIN Sunan Kalijaga 20107030109

Mahasiswa Ilmu Komunikasi UIN Sunan Kalijaga 20107030109

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud Pilihan

Kisah Pedagang Kantin Sekolah yang Terpaksa Alih Profesi di Tengah Pandemi

16 April 2021   13:45 Diperbarui: 16 April 2021   14:49 950
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Semenjak pandemi pemerintah melarang adanya aktivitas belajar mengajar di sekolah atau tatap muka secara langsung, hal ini mengakibatkan sejumlah sekolah harus tutup dan kegiatan belajar mengajar hanya boleh dilaksanakan secara daring atau jarak jauh. 

Dan secara otomatis hal tersebut juga menimbulkan banyak pedagang kantin sekolah yang akhirnya berhenti melanjutkan usahanya dalam berdagang. Salah satunya adalah Ibu Sodiyah. Sebelum adanya pandemi, Ibu Sodiyah adalah seorang penjual nasi goreng di sebuah kantin sekolah dekat rumahnya. 

Selama berjualan di kantin sekolah ia mengaku mampu meraup omset sekitar lima ratus ribu sampai satu juta rupiah dalam sehari dari hasil penjualannya.

Akan tetapi tiba-tiba saja pandemi datang dan mengharuskannya berhenti berdagang. Ya, terpaksa sementara pada saat itu ia harus berdiam di rumah. 

Ia sempat merasa cemas memikirkan bagaimana untuk mencukupi kehidupannya sehari-hari. Pasalnya suaminya adalah seorang driver online yang juga ikut merasakan dampak dari adanya pandemi. 

Bersyukur, tak lama suatu hari tetangganya memberikan sebuah tawaran pekerjaan. Ia ditawarkan untuk bekerja sebagai pekerja harian lepas untuk sebuah produk sandal jepit ternama.

Pekerjaannya terbilang cukup santai, yaitu menggunting bagian pinggir karet sandal supaya terlihat lebih rapih dan layak dijual. 

Tak perlu jauh-jauh mengunjungi pabrik, ia cukup mengerjakannya di rumah dan juga bisa diselingi dengan pekerjaan rumah lainnya. Bahkan tak jarang tetangganya mampir ke rumahnya untuk ikut membantu dan menemaninya mengobrol.

Dokumen Pribadi
Dokumen Pribadi
Dokumen Pribadi
Dokumen Pribadi
Hampir setiap minggunya seorang karyawan pabrik sandal mengunjungi rumah Ibu Sodiyah untuk mengantar dan menjemput tiga karung yang berisi karet sandal. Pabrik sandal tersebut terletak di Tangerang, Banten yang kebetulan dekat dengan tempat tinggal Ibu Sodiyah. Sehingga Ibu Sodiyah tak perlu repot-repot membawa karung dari pabrik ke rumahnya, cukup menunggu saja di rumah.

Dari hasil wawancara yang saya lakukan pada Rabu, 14 April 2021 Ibu Sodiyah mengaku mampu menyelesaikan satu karung karet sandal dalam jangka waktu sekitar dua hari. Berdasarkan pengakuannya tersebut satu karung karet sandal dihargai sebesar Rp.7.500. Ya, upahnya bisa dibilang jauh jika dibandingkan dengan UMR (upah minimum regional) di Tangerang dan penghasilan sebelumnya ketika menjadi seorang ibu kantin.

"Upahnya, sih, gak seberapa. Sekarung itu cuma diupahin Rp. 7.500. Tapi lumayan, lah. Itung-itung ngisi kesibukan." ujar Sodiyah.

Di satu sisi ini adalah cara yang bagus untuk perusahaan dalam mengurangi penyebaran COVID dengan memperkerjakan karyawannya di rumah. Tapi yang sangat disayangkan adalah perusahaan ini memberikan upah yang terlalu sedikit dan sangat tidak setara dengan mereka yang berkerja di pabrik dengan gaji UMR. 

Memang pekerjaannya terlihat mudah, tapi bagi saya pekerjaan ini tidak bisa disepelekan. Karena cukup menguras waktu dan juga tenaga, bayangkan saja, di zaman sekarang, dalam waktu dua hari Sodiyah hanya menerima upah sebesar tujuh ribu lima ratus rupiah per karung. Untuk bertahan hidup, ia hanya mengandalkan uang tabungannya dari hasil berjualan di kantin dan penghasilan suaminya.

Perusahaan sangat diuntungkan dengan cara kerja seperti ini, bahkan tak hanya perusahaan ini saja yang melakukan cara tersebut. Hal itu dilakukan untuk menghemat biaya yang dikeluarkan untuk karyawan, karena dengan begitu perusahaan tidak memiliki tanggungan biaya uang makan, transport, dan lain-lain.

Hal tersebut merupakan cara cerdas perusahaan dalam bertahan di tengah pandemi agar tidak gulung tikar, dengan cara mempekerjakan ibu-ibu rumah tangga yang perlu mengisi kesibukan di tengah pandemi. Pasalnya harga sepasang sandal jepit ini biasanya dijual dengan bandrol harga sekitar 10 ribu rupiah. 

Berbeda jika dibandingkan dengan pabrik sepatu yang memproduksi merek sepatu ternama seperti Nike, Adidas, dll yang harga sepasang sepatunya dapat menyentuh angka belasan bahkan puluhan juta. Maka, wajar saja jika perusahaan sepatu lebih mampu memberikan gaji karyawannya dengan layak.

Meski begitu saya salut dengan kegigihannya, Ibu Sodiyah tidak pernah mengeluh, ia terlihat sangat menikmati pekerjannya dan selalu mengerjekan pekerjaannya dengan ikhlas. Baginya pekerjaan ini adalah caranya beristirahat dan mengisi kesibukan selepas ia menyelesaikan pekerjaan rumahnya seperti memasak, mencuci, dan lain-lain. Ia sangat bersyukur dengan berapapun upah yang diberikan, karena baginya tidak ada pilihan hanya itu yang bisa ia lakukan sembari menunggu pandemi berakhir dan kembali berjualan di kantin sekolah.

Sebetulnya Ibu Sodiyah mengaku rindu berjualan di kantin dan sangat berharap bisa kembali berjualan di kantin sekolah. Ya, baru-baru ini ia juga mendapat kabar bahwa sebentar lagi sekolah akan kembali dibuka. Mendengar kabar tersebut, ia merasa begitu senang. 

Namun yang disayangkan adalah ternyata pihak sekolah tidak mengizinkan kantin berjualan demi menghindari adanya kerumunan. Ya, pandemi belum betul-betul berakhir. Kegiatan pembelajaran tatap muka secara langsung pun masih dibatasi. 

Pihak sekolah menganjurkan siswanya membawa bekal dari rumah masing-masing dan kegiatan belajar mengajar pun dilakukan lebih sebentar atau tidak sehari penuh seperti biasanya.

"Sebenarnya sekolah udah mau dibuka, tapi denger-denger, kantin gak boleh jualan dan anak-anak disuruh bawa bekal masing-masing. Ah, kalau boleh jualan pun percuma, lagi begini mah sekolah gak fullday kayak dulu, dibatasin jamnya. Anak-anak pasti udah kenyang sama sarapan dari rumah." Ujar Sodiyah

Sodiyah hanya bisa pasrah dan berharap ada kabar baik untuknya dan ibu-ibu kantin lainnya. Ya, kepada saya ia juga menceritakan nasib rekan sesama ibu kantin yang bahkan merupakan tulang punggung di keluarga. Selama pandemi, rekan Sodiyah tersebut tetap berjualan di rumah, memang tak seramai atau selaris ketika ia berjualan di kantin sekolah tapi setidaknya itulah yang bisa dilakukan untuk menyambung hidup keluarganya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun