Indonesia adalah negara maritim serta kepulauan terbesar di dunia. Hal ini dibuktikan menggunakan 2/3 dari luas keseluruhan daerah Indonesia ialah lautan, yang memiliki 17.506 pulau yang terbesar pada seluruh perairan Indonesia. Segala sesuatu pasti mempunyai dampak positif serta dampak negatif. Salah satunya banyaknya pulau-pulau pada Indonesia tidak saja memberikan manfaat yang besar namun pula dapat memberikan konsekuensi negatif.
Ambalat merupakan blok laut seluas 15.235km2 yang terletak di laut Sulawesi atau Selat Makasar di dekat perpanjangan perbatasan darat antara Sabah, Malaysia serta Kalimantan Timur, Indonesia. Sejak 1969, perairan Ambalat sebagai permasalahan antara negara Indonesia dengan Malaysia. Sumber permasalahan Ambalat bukan hanya memperebutkan kepemilikan wilayah suatu negara, namun juga masalah yang lebih serius yaitu blok Ambalat mempunyai kandungan minyak serta gas yang jika dimanfaatkan secara maksimal dapat bertahan hingga 30 tahun kedepan.Â
Konflik Ambalat dimulai saat ke 2 negara masing-masing melakukan penelitian pada dasar laut buat mengetahui landas lanjutan berasal dari benua yang terendam air laut (Kontinen) dan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) pada tahun 1969. Ke 2 negara lalu menandatangani Perjanjian Tapal Batas Landas Kontinen Indonesia-Malaysia pada 27 Oktober 1969 yang diratifikasi oleh masing-masing negara pada tahun yang sama. Berdasarkan perjanjian ini, wilayah Blok Ambalat menjadi milik Indonesia.
Namun, secara sepihak pada 1979 Malaysia mengingkari perjanjian ini dengan memasukkan Pulau Sipadan dan Ligitan yang berada di perairan Ambalat sebagai titik pengukuran zona ekonomi eksklusif mereka didalam petanya. Hal ini mengakibatkan pemerintahan Indonesia menolak peta baru Malaysia tersebut. Tidak hanya Indonesia, peta tersebut juga diprotes oleh Filipina, Singapura, Thailand, Tiongkok, Vietnam, sebab disebut sebagai upaya atas perebutan wilayah negara lain.
Indonesia tegas menyatakan bahwa Ambalat sebagai bagian dari daerahnya sebab dari segi historis, Ambalat merupakan wilayah Kesultanan Bulungan pada Kalimantan Timur yang jelas masuk Indonesia. Terlebih berdasarkan Konvensasi Hukum Laut Perserikatan Bangsa-bangsa ang telah diratifikasi RI serta tercantum pada Undang-undang Nomor 17 Tahun 1984, perairan Ambalat diakui dunia menjadi perairan milik Indonesia. Meski demikian, kapal perang serta pesawat tempur Malaysia tetap sering wara-wiri di Ambalat.
Persengketaan terus berlanjut, pada 2002 keputusan International Court Of Justice/Mahkamah Internasional memenangkan Malaysia dengan bukti penguasaan dan pengendalian efektif. Mahkamah Inetrnasional memberikan Sipidan dan Ligitan kepada Malaysia dengan dasar bahwa Malaysia sudah melakukan eksplorasi atas Sipidan atas pengumpulan telur penyu dan pembangunan mercusuar pada Pulau Ligitan. Bagi Malaysia, keputusan ini merupakan kedaulatan atas pulau Sipadan dan Ligtan, dan tidak termasuk dalam Paket Laut Sulawesi.
Konflik blok Ambalat semakin mencapai eskalasi. Malaysia telah melakukan berbagai pelanggaran terhadap kedaulatan wilayah Republik Indonesia. Pada 21 Februari 2005, 17 masyarakat Indonesia ditangkap kapal perang Malaysia, KD Sri Malaka, di Karang Unarang yang diklaim masih bagian dari Ambalat. Angkatan Laut Malaysia lalu mengejar nelayan Indonesia sampai keluar Ambalat. Selanjutnya, pada 8 April 2005 kapal perang RI, KRI Tedong Naga, menyerempet Kapal Diraja Rencong milik Malaysia hingga tiga kali, tetapi tidak sampai terjadi hantam Meriam antar kedua kapal.
Tahun berganti, permasalahan itu tidak juga terselesaikan. Pada 24 Februari 2007, kapal perang KD Budiman milik Malaysia memasuki perairan Indonesia sampai satu mil laut kurang lebih. Sore harinya, kapal perang Malaysia lainnya, KD Sri Perlis, masuk ke wilayah Indonesia dengan jarak 300 km, dan dua kapal perang Malaysia kemudian dibawa keluar dari perairan Indonesia oleh kapal perang Indonesia KRI Welang.
Namun Malaysia tidak berhenti begitu saja. Keesokan harinya, 25 Februari 2007, NE Sri Perlis kembali memasuki perairan Indonesia sepanjang 3.000 meter. Kapal itu dengan cepat diusir dari wilayah KRI Untung Suropati Indonesia. Meski demikian, permasalahan itu terus berlanjut, pesawat patrol Malaysia melintas pada daerah udara RI sejauh 3.000 meter. Kenakalan Malaysia ini membuat Indonesia menyiagakan empat kapal perangnya sekaligus, yakni KRI Untung Suropati, KRI Ki Hadjar Dewantara, KRI Welang, dan KRI Keris.
Dua tahun kemudian, 2009 Indonesia kembali mengingatkan Malaysia untuk tidak melakukan provokasi militer di Ambalat. Indonesia pun terus memperketat penjagaannya di Ambalat dengan mengerahkan 130 pasukan marinir ke daerah itu. Kapal perang pun disiagakan di Ambalat. Tedjo Edhy Purdijatno yang ketika itu masih menjabat Kepala Staf Angkatan Laut mengatakan TNI akan terus menambah kekuatan pasukan marinir di sekitar Ambalat. Penjagaan keamanan di Ambalat sebagai prioritas.
Barulah pada bulan Februari 2009 kedua negara sepakat untuk menahan diri dari serangan dan menyelesaikan kasus ini secara diplomatis. Namun pada tahun yang sama yakni Mei 2009, Malaysia kembali melanggar kedaulatan Indonesia. Pelanggaran kedaulatan yang terjadi saat kapal perang TNI AL KRI Untung Surapati berhasil mengusir kapal perang Tentara Laut Diraja Malaysia (TLDM), KD Yu-3508 yang mencoba memasuki wilayah kedaulatan Republik Indonesia di perairan Blok Ambalat.