Saat itu aku masih duduk sigap dengan kedua tangan mengepal karna tetesan air dari awan kelam. Kita tau, itu menyebabkan rasa yang semua orang ingin kehangatan seketika. Aku masih menunggu. Dalam detikan waktu yang berlalu menuju tujuan cepat. Bertentangan dengan jatuhnya hujan yang tak bisa lagi berteman dengan hitungan waktu di jam tanganku.
Disampingku, gelas putih yang tak terlihat jelas karna warna coklat kekuningan dominan memenuhinya. Kuseruput dengan sedotan merah yang memang bisa dihabiskan satu tegukan.
Sssttt...
Itu kau. Dengan pakaian pekat yang sebenarnya berwarna ringan saat air itu tak membasahimu. Berlari kecil dari kendaraan yang kau parkirkan tepat di belakang kursiku. Seperti biasa, hidung mancung khas yang selalu kunantikan itu datang. Lengkungan garis di pipimu, lalu lesung pipit yang selalu buat rindu.
"Hi..." katamu.
Dengan singkat kau duduk menjajari kursiku.
"Telah menunggu lama?" tanyanya.
"Tidak", jawabku cepat.
Berapa lama menunggu tak penting bagiku jika itu berujung hadirmu. Bahagia. Apalagi saat air deras turun bertambah cepat saat kau dihadapanku tepat. Aku tak menyangka karna tawamu saat kau bilang, "kenapa tak lagi hangat?".
"Maaf aku salah berkata pada pelayan meja."
"Hm tak apa. Aku masih bisa meminumnya."
Terima kasih hujan, telah menahannya disini dengan suaramu yang bikin candu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H