"Wanna do something crazy?" Sahut suamiku, ya, kami berdua memang traveller yang tergolong nekat. Saat mengembara menuju Gunung Hermon, kami nekat menerima undangan seorang teman, Mr. Hasan, seorang dosen sejarah yang pernah menjadi tour guide kami di Jerusalem, untuk bermalam di kampung halamannya, sebuah kota bernama Majdal Syams.Â
Sesaat kami menjejakkan kaki disana, jantungku mendadak serasa berhenti, bangunan-bangunan kosong, masyarakat mengintip dari balik korden dalam flat-flat tua bertingkat rendah, toko-toko kumuh bertulisan Arab, tidak seorang pun berada diluar. Mr. Hasan menunggu kami sambil bersembunyi di bawah bukit pasir bersemak-semak kering, 'Seperti hendak menjemput pelarian penjara' pikirku.Â
Beliau memandu kami ke mobilnya, sebuah Fiat tua berwarna krem, sepanjang perjalanan mr. Hasan bercerita tentang kawasan ini. Sebelumnya beliau meminta maaf bila kami kecewa atas undangannya, melihat kondisi kota ini yang mengenaskan secara drastis dibandingkan pemukiman-pemukiman orang Israel. Tentu saja kami tidak kecewa, hanya terkejut, dan sejujurnya kota ini menarik, sahut kami.Â
Kami melihat pegunungan di sisi kiri yang merupakan bagian dari gunung yang akan kami tuju, Richard, suamiku, bercakap-cakap dalam bahasa Ibrani dengan Mr. Hasan, aku tak paham apa yang mereka katakan. Aku melihat pemandangan sekitar yang tidak jauh berbeda dengan daerah lain, melewati rumah-rumah penduduk, yang dikelilingi bukit-bukit batu dan pasir yang tandus, dengan pepohonan akasia.
Sesekali mobil berhenti mempersilahkan peternak kambing menyebrang, ternak disini merupakan benda berharga lebih dari emas. Sesekali militer Israel singgah, penduduk setempat menyembunyikan ternaknya di dalam rumah, agar tidak disita atau diambil untuk disembelih. Tentu saja hal itu jarang terjadi, kecuali bila terjadi tindak kriminal bermotif politik dan SARA.Â
Baru-baru ini terjadi hal semacam itu, warga Majdal Syams berkulit gelap seperti Mr. Hasan kerap dicurigai oleh penduduk setempat dan militer Israel. Jadi ternyata itulah mengapa mr. Hasan tampak bersembunyi saat menjemput kami, untuk menghindari interogasi.Â
Sudah setengah jam lebih perjalanan mobil berkelok menjauhi arah pegunungan, menuju jalan setapak berbatu yang cukup untuk 2 mobil, di kiri dan kanan jalan mulai tampak vegetasi-vegetasi yang lebih beragam, dan rimbun.
Mr. Hasan bercerita pada suamiku bahwa mertuanya adalah peternak sapi, dan beliau dibelikan sebuah properti tanah yang cukup luas untuk belajar melanjutkan usahanya. Namun apa daya Mr. Hasan tidak punya bakat dan minat untuk menjadi peternak, beliau merantau ke Tel Aviv, hingga Jerman, Inggris, Mesir, Lebanon, untuk melanjutkan studi sekaligus mengajar.
Saat ini peternakan sapi beliau diurus oleh adik iparnya, yang akan kami temui beberapa saat lagi. Sang adik ipar bernama Ubaid, perawakannya putih, tinggi dan tampan. 'Lebih mirip artis Bollywood ketimbang seperti peternak pada umumnya' pikirku.Â
Mr. Hasan kemudian memperkenalkan kami pada istrinya, puji Tuhan, istrinya sangat cantik dan SANGAT MUDA. Seandainya tidak diperkenalkan, aku akan mengira dia adalah anak.. bukan, CUCUnya. Beliau tertawa, "Istriku muda dan cantik ya?" Celetuknya dalam bahasa Inggris. Naima, istrinya, pandai bercakap Inggris, seorang etnografer yang bertemu Mr. Hasan di Mesir.
Saat itu Naima adalah mahasiswinya, dan sudah dijodohkan di kampungnya, namun jodoh tidak lari kemana, Mr. Hasan meminta restu pada ayah Naima dan mengiyakan untuk menikahinya. Walau ayah Naima harus membayar sejumlah besar uang untuk keluarga lelaki yang tidak jadi menikahi Naima. Dari segi fisik Mr. Hasan memang tidak tampan, sungguh jauh berbeda dengan Naima, yang perawakannya putih tinggi seperti Ubaid, cantiknya mengingatkanku pada Kim Kardashian.Â
Naima menyajikan teh dan Kanafeh, semacam puding yang terbuat dari krim, ghee atau minyak samin, dan pasti yang diserut. Rasanya sangat lezat, Mr. Hasan berkata krim dan gheenya berasal dari sapi-sapi yang ada peternakannya. Ternyata sapi-sapi tersebut diternak tidak untuk dikonsumsi, hanya 1-2 yg akhirnya disembelih karena tidak lagi menghasilkan susu, namun produk utamanya adalah susu, krim, dan ghee.Â
Rumah ini tampak sangat sederhana dari sisi luar, namun setelah melangkah ke dalam rasanya sangat nyaman, seperti villa-villa di tepi pantai di mediterania, terdapat sedikit pernak-pernik walaupun sudah sering bepergian ke berbagai negara, berbeda dengan kami orang Indonesia, rumah selalu membeli pernak pernik bila berkunjung ke negara lain.
Rumah Mr. Hasan diisi banyak buku, dari buku resep hingga ensiklopedia, juga buku-buku anak, walau tidak ada anak kecil disana. Ternyata Naima sering dikirimi buku-buku itu oleh suaminya dari Tel Aviv sejak diketahui sedang mengandung. Rumah ini bergaya mediterania, sederhana namun indah, di sudut ruangan ada satu ruangan dengan pintu ukir mewah yang terbuka sedikit, aku membukanya dan mengintip, tampaknya sebuah musola untuk umat Muslim namun di dalamnya terdapat batu-batu diatas karpet. Lalu Richard merangkul lenganku, dan menutup pintu ruangan itu.Â
Kami diberikan kamar di bagian belakang dari rumah utama, semacam guest house yang menyatu dengan rumah utama. Kamar ini nyaman, ada ruang tamu sendiri, perapian maupun AC, kamar mandi modern dengan bathtub, disini baru kami menemui pernak pernik dari boneka matrioska, botol-botol liqueur mahal yang masih penuh, beraneka botol liqueur yang menyala hijau terang sangat menarik perhatianku, hijau indah seperti emerald cair bersinar di balik kaca. Kami cukup kaget, sebab setau kami Mr. Hasan seorang Muslim, tak disangka menemui banyak liqueur di rumahnya, kami berpikir bahwa beliau mengkoleksi liquer atas nilai estetikanya, bukan untuk dikonsumsi.
Di dalam ruangan itu terdapat pula beragam lukisan, yang menarik perhatianku salah satunya lukisan seorang pria brewok membawa pedang, aku berkata pada suamiku "Gambar itu dibalik aja Pa, kalau malam seram", kataku. Richard membalas "Hus jangan ma itu kepercayaan mereka". Ternyata aku baru ngeh bahwa mereka Muslim Shia, golongan Muslim yang dijadikan momok bagi umat Islam sendiri bahkan di Indonesia. Suamiku bercerita bahwa perbedaan Shia dan Sunni ialah adanya sosok Ali yang diistimewakan oleh kaum Shia. "Tapi mereka sama-sama berTuhan Allah kok, nabinya juga sama-sama Muhammad" sahut suamiku, jadi apa yang menyebabkan pertengkaran mereka sebenarnya? Entahlah.
(To be continued).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H