Saat itu Naima adalah mahasiswinya, dan sudah dijodohkan di kampungnya, namun jodoh tidak lari kemana, Mr. Hasan meminta restu pada ayah Naima dan mengiyakan untuk menikahinya. Walau ayah Naima harus membayar sejumlah besar uang untuk keluarga lelaki yang tidak jadi menikahi Naima. Dari segi fisik Mr. Hasan memang tidak tampan, sungguh jauh berbeda dengan Naima, yang perawakannya putih tinggi seperti Ubaid, cantiknya mengingatkanku pada Kim Kardashian.Â
Naima menyajikan teh dan Kanafeh, semacam puding yang terbuat dari krim, ghee atau minyak samin, dan pasti yang diserut. Rasanya sangat lezat, Mr. Hasan berkata krim dan gheenya berasal dari sapi-sapi yang ada peternakannya. Ternyata sapi-sapi tersebut diternak tidak untuk dikonsumsi, hanya 1-2 yg akhirnya disembelih karena tidak lagi menghasilkan susu, namun produk utamanya adalah susu, krim, dan ghee.Â
Rumah ini tampak sangat sederhana dari sisi luar, namun setelah melangkah ke dalam rasanya sangat nyaman, seperti villa-villa di tepi pantai di mediterania, terdapat sedikit pernak-pernik walaupun sudah sering bepergian ke berbagai negara, berbeda dengan kami orang Indonesia, rumah selalu membeli pernak pernik bila berkunjung ke negara lain.
Rumah Mr. Hasan diisi banyak buku, dari buku resep hingga ensiklopedia, juga buku-buku anak, walau tidak ada anak kecil disana. Ternyata Naima sering dikirimi buku-buku itu oleh suaminya dari Tel Aviv sejak diketahui sedang mengandung. Rumah ini bergaya mediterania, sederhana namun indah, di sudut ruangan ada satu ruangan dengan pintu ukir mewah yang terbuka sedikit, aku membukanya dan mengintip, tampaknya sebuah musola untuk umat Muslim namun di dalamnya terdapat batu-batu diatas karpet. Lalu Richard merangkul lenganku, dan menutup pintu ruangan itu.Â
Kami diberikan kamar di bagian belakang dari rumah utama, semacam guest house yang menyatu dengan rumah utama. Kamar ini nyaman, ada ruang tamu sendiri, perapian maupun AC, kamar mandi modern dengan bathtub, disini baru kami menemui pernak pernik dari boneka matrioska, botol-botol liqueur mahal yang masih penuh, beraneka botol liqueur yang menyala hijau terang sangat menarik perhatianku, hijau indah seperti emerald cair bersinar di balik kaca. Kami cukup kaget, sebab setau kami Mr. Hasan seorang Muslim, tak disangka menemui banyak liqueur di rumahnya, kami berpikir bahwa beliau mengkoleksi liquer atas nilai estetikanya, bukan untuk dikonsumsi.
Di dalam ruangan itu terdapat pula beragam lukisan, yang menarik perhatianku salah satunya lukisan seorang pria brewok membawa pedang, aku berkata pada suamiku "Gambar itu dibalik aja Pa, kalau malam seram", kataku. Richard membalas "Hus jangan ma itu kepercayaan mereka". Ternyata aku baru ngeh bahwa mereka Muslim Shia, golongan Muslim yang dijadikan momok bagi umat Islam sendiri bahkan di Indonesia. Suamiku bercerita bahwa perbedaan Shia dan Sunni ialah adanya sosok Ali yang diistimewakan oleh kaum Shia. "Tapi mereka sama-sama berTuhan Allah kok, nabinya juga sama-sama Muhammad" sahut suamiku, jadi apa yang menyebabkan pertengkaran mereka sebenarnya? Entahlah.
(To be continued).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H