Mohon tunggu...
syarifuddin abdullah
syarifuddin abdullah Mohon Tunggu... Penulis - Penikmat Seni dan Perjalanan

Ya Allah, anugerahilah kami kesehatan dan niat ikhlas untuk membagi kebaikan

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Berselancar di Belantara Pilihan yang Berisiko

16 Mei 2023   07:28 Diperbarui: 16 Mei 2023   07:49 250
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tiap detik dijejali setumpuk data dan informasi juga gempuran hoaks. Sederet pilihan menuju tahun pergesekan tajam. Tiap saat pula, jam terbang berpetuah keras. Menggiring agar membungkam hasrat untuk menjatuhkan pilihan.

Seorang teman berteriak lantang: sambil merem memilih Y atau Z, takkan berpengaruh signifikan terhadap taraf hidup orang kebanyakan. Saya dan kita sudah berkali-kali membuktikannya.

*_*_*

Mulut terkatup, lidah kelu, logika jungkir balik, kesadaran diobok-obok. Pilihan dibuat agar sebisa mungkin menjadi tunggal. Dan itu pun tak boleh bahkan untuk sekedar dianalisis. Ujungnya bisa diduga: semua orang menjadi awas dan waswas.

Sebagian kecil menyiasatinya dengan cara memuntahkan uneg-uneg melalui narasi dan abstraksi yang jenaka. Perlawanan coba diungkap dengan lelucon dan satire. Tapi tak semua orang pandai menciptakan lelucon.

*_*_*

Di sebuah ruang yang samar-samar, di pintunya tak tertancap papan nama, seseorang memposisikan adanya-dan-tiadanya sama saja. Taktiknya untuk menyebar aura pengaruh kuat bagi orang lain.

Sejak kehadirannya, semua orang berharap jempol salutnya. Tapi sungguh, responsnya tak pernah berbobot.

Kapasitas akal-dan-tubuhnya tak mampu menanggung beban keagungan ningratnya yang palsu. Ia menutupi kondisi riilnya dengan memposisikan dirinya ada-dan-tiada.

*_*_*

Segerombolan penjilat bermanuver seperti sedang mempraktikkan teori yang pernah dipelajari sekilas di bangku kuliah atau di ruang-ruang kursus singkat: mengadvokasi ketaatan dengan cara menyebar kegelisahan.

Manuver yang dilakukan dengan memanfaatkan semua kesempatan untuk mempermalukan orang lain. Dan sejauh ini, taktik dan manuver itu relatif efektif.

*_*_*

Gerombolan lain tetap ngotot mengais dan menumpuk kesejahteraan dengan cara merekayasa kolom debit-dan-kredit. Padahal mereka sesungguhnya telah bermandikan harta, yang bahkan sudah melebihi kebutuhan mewahnya.

Tak ada skala prioritas. Bukan hanya tidak sanggup menentukan mana yang penting dan tidak penting, tapi juga bahkan tak bisa memilah mana yang pantas dan tidak pantas.

*_*_*

Gerombolan kroco lebih cerdik menjilat, menampilkan ketegasan yang dibuat-buat, kemarahan direkayasa. Ketulusan berkata-kata dan berperilaku menjadi barang langka.

Semua merujuk pada kata "keramat" yang dianggap mantra sakral: serakah. Akibatnya, stres berakumulasi, keresahan tercipta, dan lingkungan yang konstan membentuk suasana batin yang memberontak.

*_*_*

Sebagian urusan dipendam paksa atau terpaksa dipendam. Hanya sesekali terdengar perbincangan bisik-bisik yang nyaris tak terdengar, ketika kongkow-kongkow di koridor dan ruang sepi.

Sambil masing-masing menghibur diri dengan cara meyakin-yakinkan diri bahwa mungkin saja ini "periode normal" yang ditakdirkan harus dilewati, sebagai bagian dari proses pendewasaan sosial dan sosialita.

*_*_*

Mendengar-membaca-mengamati wacana dan perilaku keseharian yang terfokus dan dikendalikan oleh pilihan logo (yang sebagian didesain norak dan miskin ide). Juga oleh pernak-pernik yang warna-warni (merah, hitam, putih, hijau, biru, kuning, jingga, marun, oranye), yang hampir semuanya terkesan mewakili kerakusan telanjang yang tak lagi menimbang rasa.

Kebencian diutarakan dengan logika pincang dan absurd (logical fallacy). Sambil terus menggoda dan merayu untuk menjinakkan lawan, karena didorong ketakutan yang tak jelas juntrungannya.

*_*_*

Tiap pagi, ya benar dan sungguh setiap pagi, merasa jengkel sambil menggerutu saat memelototi yang tergantung di hanger. Membayangkan agar di satu pagi, entah kapan, tak lagi menderita luka batin saat memandangi yang tergantung di hanger.

Hingga pagi ini, hanya bisa membatin: Jika tak mampu bertindak sesuai logika dan akal sehat, mbok yao, gunakan prinsip kepantasan saja.

*_*_*

Mengembara di belantara pilihan yang berisiko. Sesuatu yang tak enak dijalani, dan hampir pasti kelak tidak akan enak diceritakan. Kondisinya seperti menggenggam bara api.

Tiba-tiba teringat pada kalimat penutup sebuah artikel tentang managemen di website majalah The Economist (23 April 2023): "If enough people think you're a bad bos, then you are". Dan begitu juga sebaliknya.

Syarifuddin Abdullah | Selasa, 16 Mei 2023/ 26 Syawwal 1444H

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun