Mohon tunggu...
syarifuddin abdullah
syarifuddin abdullah Mohon Tunggu... Penulis - Penikmat Seni dan Perjalanan

Ya Allah, anugerahilah kami kesehatan dan niat ikhlas untuk membagi kebaikan

Selanjutnya

Tutup

Tradisi Pilihan

Sepuluh Hal Unik tentang Mudik dan Arus Balik

23 April 2023   12:52 Diperbarui: 23 April 2023   13:05 925
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tradisi. Sumber ilustrasi: UNSPLASH

Apa yang paling bermakna dan berkesan menjelang-selama-dan-setalah mudik lebaran Idul Fitri? Jawabannya pasti banyak dan bervariasi.
*-*-*
Pertama, bagi sebgaian pemudik, pulang kampung adalah momentum pemulihan spiritual setelah setahun mengarungi kehidupan perantauan di ibukota yang sering tidak ramah.

Bertemu keluarga inti, apalagi mereka yang kedua orangtuanya masih hidup, padalah sesuatu banget. Sungkeman sambil menangis di pangkuan orangtua pada hari lebaran Idul Fitri adalah momentum spiritual yang tak tergantikan oleh apapun.

Selain itu, bertemu orang kampung dan tetangga atau bernostalgia bersama sobat lama di kampung, dapat diibaratkan sebagai bagian dari upaya mengisi ulang semangat dan daya kenyal spiritualitas, sebelum arus balik ke kota.

Artinya, mudik bisa diumpamakan mengobati luka batin yang dialami di tempat kerja selama setahun di perantauan.

Kedua, lebih jauh dari sekedar pemulihan spiritual, mudik juga bisa berarti momentum untuk "memperbaharui" daya juang dan semangat di perantauan di kota-kota besar. Ibarat handphone, mudik adalah kesempatan me-recharge suasana batin.

Dalam rangka menyuntikkan semangat baru saat mudik itu, sebgaian pemudik memanfaatkan waktu mudik misalnya untuk berziarah ke makam-makam leluhurnya. Atau makam dan petilasan keramat di kampungnya atau di wilayah dekat kampungnya.

Ketiga, mudik juga bisa bermakna momentum unjuk diri atau bahkan pamer kesuksesan di perantauan.

Adalah pemandangan yang lazim, ketika berada di kampung, para pemudik pertama-tama akan unjuk diri dengan jenis kendaraan yang ditumpanginya saat mudik (roda dua ataupun roda empat).

Pemudik yang tahun sebelumnya mudik dengan kendaraan umum, kini mudik dengan kendaraan pribadi.

Setiba di kampung, tiap pemudik akan berkeliling silaturahmi ke rumah-rumah tetangga. Dan para tetangga di kampung akan secara estapet, dari mulut ke mulut, akan membicarakan bahwa si Fulan-atau-Allan mudik dengan mobil baru baru, misalnya.

Padahal sebagian pemudik sebenarnya pulang kamoung menggunakan mobil sewaan atau bahkan mobil pinjaman.

Keempat, secara materil, mudik adalah momentum meludeskan uang THR (Tunjangan Hari Raya) yang diperoleh dari tempat kerja. Sebab seringkali nilai total THR yang didapat tidak cukup atau pas-pasan atau bahkan kurang untuk biaya mudik.

Saya mengobrol dengan beberapa pemudik ke wikayah Jawa Tengah, yang mudik sekeluarga dengan kendaraan pribadi, rata-rata mengahbiskan dana antara Rp10 hingga Rp15 juta.

Jika mudik ke luar pulau Jawa, dengan naik pesawat, biaya mudik bisa sampai dua atau tiga kali lipat dari biaya mudik di Pulau Jawa. Apalagi harga tiket tahun 2023 ini, relatif lebih tinggi dibanding harga tiket pada musim mudik tahun lalu, 2022.

Karena itu muncul selorohan di kalangan pemudik, setiap dana akan habis sesuai dengan peruntukannya. Maksudnya, THR akan ludes juga pada momentum lebaran.

Kelima, tentu ada juga sebagian kecil pemudik yang menjadikan momentum pulang kampung hanya sekedar memanfaatkan waktu liburan, yang biasanya berlangsung sekitar sepekan. Daripada tidak mudik, misalnya bertahan di Jakarta atau kota-kota provinsi besar lainnya, dan tak ada kegiatan selama liburan, ya mending pulang kampung.

Saya mengenal beberapa teman non-Muslim yang tiap tahun relatif rutin ikut-ikutan melakukan ritual mudik lebaran, sambil liburan bersama keluarga. Meskipun dengan risiko ikut terjebak oleh suasana bermacet-macet ria di jalur mudik.

Keenam, makna kata "kampung" bagi setiap pemudik, sebenarnya relatif sama antara mereka yang benar-benar mudik ke kampungnya di desa, dengan pemudik yang pulang ke kota asalnya.

Sebagai contoh, pemudik yang pulang ke kota Semarang atau Yogyakarta, juga dimaknai "pulang kampung". Padahal Semarang dan Yogyakarta adalah kota.

Sebab, setiap orang secara alami akan lebih dekat dengan rumah yang menjadi tempat kelahirannya. Akrab dengan teman sepergaulan di masa kecil sampai sekokah tingkat menengah atas di lingkungan rumah dan gang-gang kecil di kotanya.

Ketujuh, sebagian pemudik memanfaatkan musim mudik untuk melakukan kegiatan reunian dengan teman-teman sepergaulan atau berdasarkan almamaternya.

Tujuannya, merawat hubungan dengan teman-teman satu angkatan di sekolah, terutama di tingkat sekolah menengah: SMP atau SMA.

Dalam kegiatan reunian ini, sering terjalin jaringan bisnis baru, atau bahkan menyegarkan ulang hubungan asmara lawas yang pernah terjalin.

Kedelapan, pada setiap musim mudik, kecelakaan lalu lantas selalu menjadi bagian yang memilukan. Meskipun dari tahun ke tahun, jumlah korban tewas pemudik semakin menurun, berkat langkah antisipasi para petugas dari berbagai instansi terkait, baik yang dikoordinir pemerintah pusat (terutama Dishub, Polri dan tenaga keseharan) ataupun yang dikoordinir oleh Pemerintah Daerah, yang wilayahnya menjadi jalur mudik.

Kesembilan, menikmati jalur tol Trans Jawa, yang sudah tersambung di Pulau Jawa.

Saya termasuk pemudik yang pernah mengalami suasana kemacetan parah di jalur Pantura, ketika belum ada ruas tol Cipali (Cipali Palimanan) dan dari Kanci (Cirebon) hingga Semarang.

Saya bahkan pernah mengalami mudik dan terpaksa "menikmati" waktu tempuh sekitar 30 (tiga puluh) jam dari Jakarta ke Semarang.

Karena itu, setelah ruas tol tersambung dari Jakarta hingga Surabaya, meakipun kadang masih terjadi kemacetan di beberapa titik, namun kemacetan itu relatif cepat terutai.

Apalagi dengan pemberlakuan satu arah di ruas tol km 47 hingga KM 414 di puncak mudik, atau sebaliknya  dari KM 414 hungga KM 47 di punca arus balik, boleh dibilang lalu lintas mudik-arus balik jauh lebih lincah lancar.

Sepuluh, secara pribadi, setiap kali mudik, khususnya via jalur darat di pulau Jawa, saya selalu terkesan salut dan membatin begitu pentingnya peran para petugas dari berbagai instansi terkait, yang mengatur kelancaran arus mudik dan arus balik.

Para petugas itu, yang resmi dari unsur instansi pemerintah pusat atau pemerintah daerah dan juga para relawan, rela berkorban untuk tidak mudik demi tugas dan misi melancarkan pergerakan arus mudik dan arus balik. Pahala amal baik mereka pasti lebih tebal dibanding para pemudik.

Sepanjang jalan arus mudik, terlihat tenda-tenda darurat yang berfungsi sebagai pos pemantauan dan pengamanan. Sebagian di antaranya juga difungsikan untuk menghitung jumlah kendaraan yang melintas.

Dan kepada para petugas itu, saya memyampaikan terima kasih tak terhingga.

Dan untuk semua tanpa kecuali, saya mengucapkan sehat-sekses-bahagia selalu. Selamat beridulfitri 1444/2023, maaf lahir batin, minal 'aidin wal faizin.

Syarifuddin Abdullah | 23 April 2023/ 03 Syawwal 1444H

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Tradisi Selengkapnya
Lihat Tradisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun