Mohon tunggu...
syarifuddin abdullah
syarifuddin abdullah Mohon Tunggu... Penulis - Penikmat Seni dan Perjalanan

Ya Allah, anugerahilah kami kesehatan dan niat ikhlas untuk membagi kebaikan

Selanjutnya

Tutup

Book Pilihan

Resensi Buku: Sejarah (Pencarian dan Persepsi tentang) Tuhan

13 Juli 2022   21:11 Diperbarui: 14 Juli 2022   16:59 581
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Buku Sejarah Tuhan karya Karen Amstrong yang tebalnya total 670 halaman (termasuk daftar pustaka, glosarium dan indeksnya), sudah pernah saya membacanya saat cetakan pertamanya diterbitkan Mizan pada 2001 (lebih dari 20 tahun silam).

Lalu, selama beberapa minggu terakhir, saya membaca beberapa buku lain yang temanya terkait, yang kemudian memicu untuk kembali membacanya untuk kedua kalinya. Dan sentuhannya tetap asyik, menggoda dan menggairahkan. Terasa seperti baru pertama kali membacanya.

Tema dasar buku karya Karen Amstrong ini adalah paparan tentang sejarah lika-liku perjalanan terjal umat manusia untuk mencari, mengenali, menjelaskan dan mengidentifikasi dan mempersepsikan zat yang disebut Tuhan (God), yang dilakukan oleh para praktisi kebatinan, rabi, rahib, yogi, pendeta, pastor, ulama-wali serta kalangan filosof dan ilmuwan sains modern. 

Sebuah pergulatan dan pengembaraan spritual yang nyaris tanpa jeda selama 4.000 tahun.

Harus diakui, membaca buku setebal 600-an halaman, dengan tema yang sangat serius (menyangkut Tuhan, soalnya) tentu memerlukan persiapan batin dan bekal intelektual yang memadai.

Dan persiapan itu sebanding dengan ulasannya yang mengalir dan memikat, bahkan untuk kajian persoalan teknis mistis yang njlimet, juga buku-buku rujukannya yang sangat kaya (sebagian di antaranya tidak-belum diterbitkan). 

Melalui buku ini, Karen Amstrong mendemonstrasikan kelasnya sebagai seorang peneliti yang serius.

Tentang sumber-sumber rujukannya, ada dua catatan menarik: Pertama, Amstrong tidak menggunakan satu sumber pun yang berasal dari wilayah Nusantara (Indonesia). Jadi tidak akan ketemu kajian dan paparan tentang legasi Walisongo, Siti Jenar, atau Kejawen. Mungkin karena legasi para ulama nusantara itu jarang yang ditulis-dibukukan.

Kedua, dan ini cukup aneh, Amstrong sama sekali tidak merujuk figur terkenal dalam dunia tarikat-tasauf Islam yang bernama Abdul Qadir Jailani. 

Padahal di beberapa bagian dari 11 bab bukunya, Amstrong merujuk pengalaman batin dan argumentasi tentang Tuhan yang pernah ditulis oleh Ibnu Arabi, Imam Asy'ary, Imam Ghazali, Rumi, Mullah Shadra, juga beberapa filosof Muslim seperti Ibnu Rusyd, Al-Farabi, bahkan penulis tafsir Imam Thabary.

Dan semua paparan dan argumentasi itu merujuk ke tiga kitab suci (Taurat, Al-Kitab, Quran) serta pengalaman Musa menerima 10 perintah di Gunung Sinai, Isa yang menerima wahyu di Bukit Tabor, serta peristiwa mi'raj Nabi Muhammad saw.

Selama melintasi halaman-halamannya, pembaca mungkin membayangkan akan mendapatkan gambaran rasional-materil tentang Tuhan. Dan itu tidak terjadi. Sebab sekali lagi, buku ini mengulas sejarah manusia dalam mempersepsikan Tuhan. 

Pertanyaan kunci yang selalu mengekor dan mendesak selama membaca: apakah paparan pencarian dan imajinasi tentang Tuhan itu berhasil atau gagal? Kesimpulan saya: sulit untuk mengatakan berhasil.

Tuhan akhirnya tidak-belum ditemukan (melalui imajniasi yang paling liar sekalipun). Mungkin karena seperti digambarkan oleh sebuah adagium: "Tuhan ada di mana-mana, dan pada saat yang sama, tidak ada di mana-mana".

 Dan adagium ini sebenarnya merupakan perumusan yang coba menggabungkan dua sifat-nama Allah (menurut Islam): al-Gaib (yang tidak tampak atau hilang) dan az-Zhahir (nyata, tampak jelas). Singkat kata, Tuhan itu tidak memiliki ruang geografis.

Secara umum bisa disimpulkan, sejarah panjang pencarian dan persepsi tentang Tuhan itu menggunakan dua metode utama: pertama, kelompok yang mengandalkan pendekatan pengalaman batin (Amstrong menggunakan istilah mistisisme), yang diwakili antara lain oleh tradisi kabbalis Yahudi, Sufi-tarikat Islam, spritualis Hindu dan yogi Budha; Kedua, kelompok yang mengacu pada pendekatan rasional-filosofis.

Namun, alih-alih mendapatkan gambaran utuh tentang Tuhan, dua kelompok itu sibuk berargumen dengan analisis-spekulatif, yang sering saling bertentangan dan tidak satupun yang sukses memenuhi harapan pembaca.

 Meskipun harus diakui, kelompok mistikus tampaknya lebih mampu merasakan kehadiran Tuhan melalui penampakan dalam makhluk-makhluk-Nya. Sementara kelompok kedua (rasionalis-filosofis) umumnya gagal dan bahkan semakin membingungkan.

Sebenarnya ada kelompok ketiga, yang coba meski akhirnya gagal juga dalam menggabungkan kedua metode itu, yakni penjelasan tentang Tuhan oleh beberapa ilmuan sains dan filosof di zaman Renaisans di Eropa, yang diwakili antara lain oleh Isaac Newton (Inggris), Descartes (Perancis).

Terkait dengan pencarian dan penjelasan tentang Tuhan, ada satu hal yang penting: Jika Tuhan ingin disembah oleh manusia, seharusnya Tuhan itu sederhana, sehingga mudah dikenali dan bisa diakses oleh semua orang.

Mungkin karena itulah, Descartes sampai menegaskan bahwa "jika seandainya Tuhan tidak ada, maka manusia harus menciptakan-Nya."

Tapi begitu Tuhan dinyatakan telah mati (tidak lagi diperlukan), muncul pernyataan yang sama vulgarnya: "Jika Tuhan belum mati, maka tugas manusia yang rasional untuk membunuh-Nya" (hlm 511).

Dan melalui buku ini, zat yang Maha dalam segala hal itu, diidentifikasi dengan beragam nama: El, Yahweh (YHWH), En Shof, Ruh Qudus, Tuhan Bapa, Tuhan Anak, Cahaya, Allah, Ilah, Atman, Wujud Tertinggi, Wujud berkecerdasan, Dasar Wujud, Sebab Pertama, Sebab yang Independen, Penggerak yang Tidak Digerakkan, Sumber Realitas, dan banyak lagi.

Proses pencarian yang belum tuntas itu, mungkin karena memang belum ada kecerdesan manusiawi, atau kosakata bahasa yang memadai, yang mampu menggambarkan zat dan eksistensi Tuhan.

Pengalaman spiritual merasakan kehadiran Tuhan, pada tahapan tertentu dalam proses kontemplasi, adalah pengalaman yang sangat personal dan subyektif. Ketika pengalaman itu coba diartikulasikan melalui bahasa lisan-atau-tulisan, pelaku umumnya gagal mendeskriprsikan pengalaman batin itu secara utuh. Akibatnya bisa diduga: pembaca dan pendengarnya semakin bingung.

Karena itu, para pencari Tuhan harus mempersiapkan mental-batinnya untuk menerima dan berangkat dari asumsi-asumsi yang paradoks. Melakukan konsentrasi total dengan cara memaksimalkan kemampuan berpikir abstrak dan simbolis.

Dalam Islam misalnya, seorang pencari Tuhan dituntut memaksimalkan imajinasi spiritualnya untuk memahami (lebih tepatnya: merasakan) kombinasi yang utuh, antara dua para varibel yang saling menegasikan (menurut logika normal), misalnya, antara sifat Allah Ar-Razzaq (Maha Pemberi rezki) versus Al-Mani' (Maha Pencegah rezki), atau antara Al-Mu'izzu (Yang Maha Memuliakan) versus Al-Mudzillu (Yang Maha Menghinakan).

Jika tidak mampu melakukannya, ada nasehat praktis: "Jangan memikirkan zat Allah, namun berpikirlah tentang (kehadiran Allah dalam) makhluk-makhluk-Nya".

Karena tak terjangkau oleh akal rasional, maka semua terminologi tentang pengalaman merasakan Tuhan semestinya tidak dipahami berdasarkan makna yang normal dari kata dan terminologi itu. Istilah-istilah itu mesti diposisikan sebagai metafora atau bahasa simbol: wahdatul-wujud (untuk sebagian kalangan sufi-tarikat Islam); inkarnasi atau tiga oknum dalam konsep Trinitas  (umat kristiani). En Shof (bagi Yahudi).

Memang ada pemahaman yang mengatakan, ilmu dan pengetahuan tentang Tuhan akan tercapai justru ketika seseorang mencapai puncak ketidaktahuan. 

Jika tangga pengetahuan tentang Tuhan diasumsikan pada skala 1 sampai 10, seorang pencari Tuhan yang tiba di skala 10, pada akhirnya akan berkesimpulan bahwa ia tidak tahu, dan ketidaktahuan yang muncul justru setelah mencapai puncak pengetahuan itu, akan mengantarkannya untuk merasakan kehadiran Tuhan.

Denga kata lain, ketika tiba di skala 10 itu, seorang hamba pencari Tuhan akan mengubah sukmanya menjadi seperti setetes air tawar, yang dibuang ke laut samudera. Lalu setetas air tawar itu tak lagi bisa dipilah dari air samudera. 

Samudera dan setetes air menyatu, tak terpisahkan dan tak terbedakan. Itulah mungkin makna wahdatul-wujud, yang menjadi salah satu tema dominan dalam hampir semua kajian pencarian dan identifikasi Tuhan oleh penganut agama-agama Samawi: Yahudi, Kristen, Islam.

Pada akhirnya adalah ketakjuban, dan tiap ketakjuban adalah pengalaman ketidaktahuan tentang sesuatu yang belum diketahui secara utuh.

Syarifuddin Abdullah | Jakarta, 13 Juli 2022/ 14 Dzul-hijjah 1443H

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Book Selengkapnya
Lihat Book Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun