Ketika membacanya pertama kali, saya langsung berkomentar singkat: Wow. Sungguh, ini baru benar-benar breaking news yang paling seksi tentang Medsos di awal tahun 2021: keputusan perusahaan Twitter pada 8 Januari 2021 untuk menutup secara permanen (permanently suspended) akun Twitter milik Donald Trump, Presiden Amerika, yang followernya mencapai 88,7 juta.
Dua hari sebelumnya, ketika terjadi pendudukan gedung Capitol (Gedung Kongres Amerika) oleh pendukung fanatiknya, akun Twiiter Donald Trump sempat di-suspend selama 24 jam pada Rabu, 06 Januari 2021.
Dan jauh sebelumnya, banyak sekali cuitan Trump yang diblock oleh Twitter, karena dianggap materinya masih berupa wacana yang diperselisihkan (disputed).
Singkat kata, Twitter menilai Donald Trump sebagai provokator dan suka meng-Twitt substansi/postingan, yang menurut Twitter: melanggar kode etik dan peraturan Twitter. Alasan utama penutupan itu, karena postingan-postingan Trump dianggap berpotensi memicu aksi kekerasan lebih jauh (the risk of further incitement of violence).
Dan bukan hanya akun Donald Trump, Twitter juga menutup akun Twitter milik Michael Flynn dan Sidney Powell, keduanya orang lingkaran terdekat (inner cycle) Donald Trump.
"Langkah berani" Twitter itu juga diikuti oleh platform media sosial lainnya. Facebook menutup sementara milik Donald Trump, "minimal" sampai tanggal 20 Januari 2021, ketika Trump harus meninggalkan Gedung Putih, yang figur yang digambarkan oleh majalah The Economist dengan "lame duck (bebek yang pincang)".
Catatan:
Pertama, saya tidak pernah simpati pada gaya angkuh Donald Trump. Tapi jujur, saya termasuk yang menyayangkan penutupan akun Donald Trump. Selama ini, saya menikmati (bukan berarti setuju semua) postingan Trump di Twitter. Sebab suka tidak suka, cuitan Trump justru bisa menjadi salah satu sumber utama untuk membaca arah kebijakan Amerika cq Donald Trump.
Kedua, saya bahkan pernah menulis artikel tentang postingan-postingan Donald Trump, yang bagus dijadikan materi belajar bahasa Inggris. Kalimat-kalimatnya ringkas, padat dan mengena. Dalam berbagai postingannya, Donald Trump termasuk sangat jujur dalam mengungkap perasaannya: jika tidak suka kepada seseorang, dia akan mengutarakannya dengan jujur, tanpa tedeng aling-aling. Trump tidak suka dengan gaya basa-basi.
Ketiga, keputusan penutupan akun Donald Trump tentu saja memicu kontroversi, dan bisa dipastikan, wacananya masih berlanjut lama. Sebagian menyambut baik, bahkan menilai keputusan Twitter itu sangat telat.
Tapi sebagian lainnya menentang keputusan Twitter. Tokoh oposisi Rusia Rusia, Alexei Navalny bahkan berkesimpulan, keputusan Twitter itu berpotensi "...akan dieksploitasi oleh musuh-musuh prinsip kebebasan berpendapat di seluruh dunia (...will be exploiterd by the enemies of freedom of speech around the world).
Keempat, saya bisa membayangkan suasana batin Donald Trump ketika menerima perlakuan Twitter: sakit hati pasti, dan jengkalnya akan mencapai bahkan akan melampui ubun-ubunnya. Dan hampir bisa dipastikan, Donald Trump akan menemukan  "cara" untuk merespon keputusan Twitter tersebut.
Kelima, jika Twitter berani menutup akun Presiden Amerika Serikat, gimana terhadap akun-akun yang lain? Terkait ini, seorang politisi muda India meng-twitt: "if they can do this to POTUS, they can do this to anyone" (catatan: kata POTUSÂ adalah nama sandi untuk Presiden Amerika Serikat, yang biasa/pernah digunakan oleh SS/Secret Service, pasukan pengamanan presiden Amerika).
Keenam, tidak ada keputusan yang sempurna ketika berkaitan dengan upaya meredam suara-suara yang bising. Keputusan Twitter itu pasti akan memicu perdebatan soal standar ganda. Apakah Twitter akan konsisten menggunakan standar penilaiannya saat menutup permanen akun milik Donald Trump ketika menyikapi akun-akun lain, yang bahkan mungkin lebih brutal dibanding provokasi Donald Trump.
Ketujuh, dan ini yang penting, kasus penutupan akun milik Donald Trump mungkin bisa diposisikan sebaga sinyal awal sebuah era baru media sosial: pengelola platform media sosial bisa "lebih menentukan dan lebih berpengaruh" dalam membungkam pemimpin negara super adidaya dan adikuasa sekalipun.
Syarifuddin Abdullah | Den Haag, 11 Januari 2021M/ 28 Jumadil-ula 1442H.
Sumber foto: screen-shot halaman depan akun Twitter milik Donald Trump @realDonaldTrump pada tanggal 9 Januari 2021.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H