Keempat, saya bisa membayangkan suasana batin Donald Trump ketika menerima perlakuan Twitter: sakit hati pasti, dan jengkalnya akan mencapai bahkan akan melampui ubun-ubunnya. Dan hampir bisa dipastikan, Donald Trump akan menemukan  "cara" untuk merespon keputusan Twitter tersebut.
Kelima, jika Twitter berani menutup akun Presiden Amerika Serikat, gimana terhadap akun-akun yang lain? Terkait ini, seorang politisi muda India meng-twitt: "if they can do this to POTUS, they can do this to anyone" (catatan: kata POTUSÂ adalah nama sandi untuk Presiden Amerika Serikat, yang biasa/pernah digunakan oleh SS/Secret Service, pasukan pengamanan presiden Amerika).
Keenam, tidak ada keputusan yang sempurna ketika berkaitan dengan upaya meredam suara-suara yang bising. Keputusan Twitter itu pasti akan memicu perdebatan soal standar ganda. Apakah Twitter akan konsisten menggunakan standar penilaiannya saat menutup permanen akun milik Donald Trump ketika menyikapi akun-akun lain, yang bahkan mungkin lebih brutal dibanding provokasi Donald Trump.
Ketujuh, dan ini yang penting, kasus penutupan akun milik Donald Trump mungkin bisa diposisikan sebaga sinyal awal sebuah era baru media sosial: pengelola platform media sosial bisa "lebih menentukan dan lebih berpengaruh" dalam membungkam pemimpin negara super adidaya dan adikuasa sekalipun.
Syarifuddin Abdullah | Den Haag, 11 Januari 2021M/ 28 Jumadil-ula 1442H.
Sumber foto: screen-shot halaman depan akun Twitter milik Donald Trump @realDonaldTrump pada tanggal 9 Januari 2021.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H